Sempat Diajak Ngopi, Sopir Angkot Diikat dan Dibuang
Soebhi (65), sopir angkutan kota (angkot) jurusan Surabaya-Sidoarjo yang menjadi korban perampokan di Kabupaten Probolinggo mengaku, masih trauma. Soalnya selama menjadi sopir angkot pria asal asal RT 3/RW 10, Kelurahan Tanah Kali Kedinding, Kecamatan Kenjeran, Kota Surabaya itu baru sekali ini menjadi korban perampok jalanan (begal).
Angkot yang disopirinya nyaris amblas digondol komplotan begal berusia remaja. Keempat tersangka begal itu, Ahmad Basori (21), Ahmad Zaelani (18) Halili (21) ketiganya warga Desa Wonorejo, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo, dan Usama (25), warga Desa Maron Kulon, Kecamatan Maron.
Perbuatan keempat tersangka ini sungguh kejam. Kedua tangan Soebhi dibebat dengan sebuah ikat pinggang, setelah itu pria usia senja itu dibuang di tepi jalan di Desa Sekarkare, Kecamatan Dringu, Kabupaten Probolinggo, Minggu dinihari, 16 September 2018. Keempat tersangka kemudian menggondol angkot berwarna kuning dengan nomor polisi (Nopol) W 7586 UN itu ke arah timur.
Rupanya perbuatan keempat tersangka begal itu langsung mendapat “balasan tunai”. Angkot itu saat melintasi Jalan Raya Curahsawo, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo berjalan oleng dan terbalik kemudian menabrak sepeda motor. Kasus kecelakaan itu menjadi akhir pelarian komplotan begal sekaligus membuka kedok kasus kriminalitas.
“Saya tidak menyangka bakal mengalami kasus seperti ini, menjadi korban perampokan,” ujar Soebhi. Kisah pilu itu bermuka ketika Sabtu malam, 15 September 2018, angkot yang sedang menunggu penumpang di Terminal Purabaya (Bungurasih), Sidoarjo itu didatangi empat penumpang. Soebhi pun mengaku, bisa tersenyum setelah sekian lama menunggu.
Soebhi mengaku, masih ingat saat itu sekitar pukul 23.00 ketika empat penumpang remaja itu memasuki kendaraannya. Mereka mengaku hendak ke Sidoarjo dan memberikan ongkos Rp 40 ribu.
Sesampai di Sidoarjo, keempatnya meminta Soebhi mengantarkannya menuju Porong dengan alasan akan kencegat bus atau mobil penumpang umum (MPU) di Porong. Keempat remaja itu kemudian menambah ongkos Rp 20 ribu.
Setiba di Porong, keempat penumpang itu tidak turun, tetapi minta Soebhi melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. “Saya minta ongkos tambahan Rp 150 ribu kalau minta diantarkan hingga Probolinggo. Tetapi ongkos tambahan Rp 150 ribu belum sempat dibayar, saya malah dirampok oleh mereka,” ujarnya.
Soebhi mengaku tidak curiga sama sekali dengan ulah empat penumpangnya. Apalagi dirinya harus membayar uang setoran Rp 80 ribu kepada pemilik angkot.
Selama perjalanan, empat penumpang itu juga tidak menunjukkan gelagat jahat. “Mereka mengajak ngobrol selama perjalanan. Bahkan saya sempat diajak ngopi di sebuah warung di dekat SPBU di Dringu, Probolinggo,” ujar Soebhi.
Usai ngopi, angkot kembali meluncur melewati Desa Sekarkare, Kecamatan Dringu. Tiba-tiba salah seorang penumpang meminta Soebhi menghentikan kendaraan dengan alasan kebelet buang air kecil.
Di tepi jalan yang jauh dari permukiman itu, Minggu dinihari sekitar pukul 03.00, Soebhi kemudian ditelikung, kedua tangannya diikat dengan ikat pinggang. “Saya pasrah, tidak melawan, tidak berteriak karena jauh dari permukiman, sepertinya di kawasan hutan,” ujar Soebhi.
Komplotan begal itu kemudian meninggalkan Soebhi. “Saya kemudian berusaha melepaskan ikatan sabuk (ikat pinggang) pada tangan saya. Setelah lepas, saya berjalan kaki hingga bertemu warga,” ujrnya.
Soebhi pun diantarkan ke Polsek Dringu untuk melaporkan kasus perampokan yang dialaminya. Usai shubuh, sekitar pukul 04.30, Soebhi dengan gemetar kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya kepada polisi yang memeriksanya.
Ditanya soal kecelakaan empat tersangka begal yang menggondol angkotnya, Soebhi mengaku, sedih sekaligus bergembira. “Saya sedih, angkot milik juragan itu hancur. Tetapi saya senang, perampoknya bisa tertangkap,” ujarnya. (isa)
Soebhi mengaku, masih ingat saat itu sekitar pukul 23.00 ketika empat penumpang remaja itu memasuki kendaraannya. Mereka mengaku hendak ke Sidoarjo dan memberikan ongkos Rp 40 ribu.
Sesampai di Sidoarjo, keempatnya meminta Soebhi mengantarkannya menuju Porong dengan alasan akan kencegat bus atau mobil penumpang umum (MPU) di Porong. Keempat remaja itu kemudian menambah ongkos Rp 20 ribu.
Setiba di Porong, keempat penumpang itu tidak turun, tetapi minta Soebhi melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. “Saya minta ongkos tambahan Rp 150 ribu kalau minta diantarkan hingga Probolinggo. Tetapi ongkos tambahan Rp 150 ribu belum sempat dibayar, saya malah dirampok oleh mereka,” ujarnya.
Soebhi mengaku tidak curiga sama sekali dengan ulah empat penumpangnya. Apalagi dirinya harus membayar uang setoran Rp 80 ribu kepada pemilik angkot.
Selama perjalanan, empat penumpang itu juga tidak menunjukkan gelagat jahat. “Mereka mengajak ngobrol selama perjalanan. Bahkan saya sempat diajak ngopi di sebuah warung di dekat SPBU di Dringu, Probolinggo,” ujar Soebhi.
Usai ngopi, angkot kembali meluncur melewati Desa Sekarkare, Kecamatan Dringu. Tiba-tiba salah seorang penumpang meminta Soebhi menghentikan kendaraan dengan alasan kebelet buang air kecil.
Di tepi jalan yang jauh dari permukiman itu, Minggu dinihari sekitar pukul 03.00, Soebhi kemudian ditelikung, kedua tangannya diikat dengan ikat pinggang. “Saya pasrah, tidak melawan, tidak berteriak karena jauh dari permukiman, sepertinya di kawasan hutan,” ujar Soebhi.
Komplotan begal itu kemudian meninggalkan Soebhi. “Saya kemudian berusaha melepaskan ikatan sabuk (ikat pinggang) pada tangan saya. Setelah lepas, saya berjalan kaki hingga bertemu warga,” ujrnya.
Soebhi pun diantarkan ke Polsek Dringu untuk melaporkan kasus perampokan yang dialaminya. Usai shubuh, sekitar pukul 04.30, Soebhi dengan gemetar kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya kepada polisi yang memeriksanya.
Ditanya soal kecelakaan empat tersangka begal yang menggondol angkotnya, Soebhi mengaku, sedih sekaligus bergembira. “Saya sedih, angkot milik juragan itu hancur. Tetapi saya senang, perampoknya bisa tertangkap,” ujarnya. (isa)