Sempat Berhenti Operasi Pasca Jepang Invasi
Dokter Deutman memimpin Soerabaiache Oogheelkundige Kliniek hingga tahun 1942. Ketika tentara Jepang menginvasi atau menduduki Surabaya dalam Perang Dunia Kedua.
Jepang mengambil alih penguasaan bumi nusantara setelah Belanda diduduki Nazi Jerman. Langkah ini sebagai respon terhadap keputusan pemerintah Hindia Belanda yang mengalihkan ekspornya dari Jepang ke Amerika Serikat dan Inggris.
Begitu Nazi Jerman berhasil menduduki Belanda Mei 1940, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan keadaan siaga. Juga mengambil keputusan dagang yang merugikan Jepang. Pengalihan ekspor ini mengganggu persediaan bahan bakar pesawat negeri tersebut.
Upaya negosiasi Jepang dengan pemerintah Hindia Belanda untuk mengamankan bahan bakar gagal. Maka, penguasa negeri Sakura itu memutuskan untuk menaklukkan Asia Tenggara. Mulai akhir tahun 1940, tentara Jepang masuk ke Sumatra.
Negeri Matahari Terbit akhirnya mengalahkan secara penuh pasukan Belanda di bumi Nusantara pada tahun 1942. Demikian pula penguasaan Hindia Belanda terhadap kota Surabaya. Semua warga Belanda dimasukkan kamp, termasuk Deutman dan keluarganya.
Untungnya, jauh hari sebelum itu dokter di Soerabaiache Oogheelkundige Kliniek tidak hanya para dokter berkebangsaan Belanda. Sejak tahun 1928 ada dokter China berkewarganegaraan Belanda bergabung dengan Deutman. Namanya Dr I H Go. Ia juga spesialis mata.
Ketika tentara Jepang menyerbu Surabaya dan menangkap semua dokter berkebangsaan Belanda, kepemimpinan diambil alih Dr Go. Ia tidak ikut ditangkap karena berkebangsaan China. Hanya orang Belanda yang disasar.
Di masa pendudukan Jepang, perjalanan klinik tak bisa berjalan baik. Pelayanan tidak bisa diberikan secara optimal. Pasokan obat tidak segampang sebelumnya. Apalagi tenaga medis dan dokter berkebangsaan Belanda ada dalam kamp tawanan Jepang.
Setelah tentara Jepang mundur karena kalah dalam Perang Dunia Kedua, situasi tidak segera membaik. Apalagi saat tentara Gurka Inggris datang ke Surabaya. Setelah Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Saat tentara Inggris datang, klinik terpaksa tutup. Itu terjadi 25 Oktober 1945. Semua personel klinik mengungsi keluar kota. Semua peralatan medis dikumpulkan dan dikunci oleh petugas terakhir yang meninggalkan klinik. Petugas itu adalah Suster Poei.
Perlawanan hebat terhadap kehadiran tentara Inggris ini terjadi di Bulan November 1945. Inilah pertempuran terhebat pasca proklamasi kemerdekaan. Puluhan ribu, bahkan ada yang mencatat ratusan ribu jiwa gugur. Komandan pasukan sekutu Jenderal Malaby ikut tewas dalam pertempuran ini.
Inilah perlawanan sengit dari rakyat Indonesia terhadap ancaman kembalinya kolonialisme. Klimaksnya tanggal 10 November yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Usai pertempuran itu, dukungan rakyat Indonesia dan dunia internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia semakin kuat.
Kawasan klinik termasuk menjadi ajang pertempuran sengit antara tentara Inggris dengan rakyat Indonesia. Dokter dan karyawan klinik mengungsi ke luar kota. Sebagian ke Mojokerto, sekitar 50 kilometer dari Surabaya. Ikut juga mengungsi Dr Go yang memimpin klinik.
Begitu pertempuran selesai dan situasi Surabaya mulai normal kembali, mereka kembali. Menurut catatan sejarah, Suster Poei-lah yang kali pertama masuk Kota Surabaya. Kunci yang dibawa diserahkan ke yang berhak. Klinik baru buka kembali 8 Januari 1946.
Tidak diketahui nasib dokter Deutman sejak ditangkap tentara Jepang. Setelah dibuka kembali, klinik tetap dipimpin dokter Go. Baru tahun 1947, seorang dokter spesialis mata wanita berkebangsaan Belanda bergabung. Dia adalah Dr J Ten Doesschate.
Tak banyak juga catatan tentang kinerja klinik di awal kemerdekaan Republik Indonesia ini. Hanya disebutkan, selain dari donatur, pembiayaan klinik mulai mendapat bantuan dari pemerintah daerah tingkat satu, dua dan pemerintah pusat. Pemerintah pusat membantu dana pelengkap sampai dengan 1950. (Arif Afandi/Bagian 5/Bersambung)