Semerbak Durian Seharum Kopi
Ini cerita blusukan. Ah, bukan. Blasakan saja deh. Kalau blusukan itu punya Pak Jokowi. Nanti dikira nyonto pula. Dikira tidak kreatif. Padahal ini zaman kreatif, sampai kita punya Badan Kreatif Nasional segala.
Blasakan itu bahasa lokal gaya mblitaran. Mblitaran itu istilah saja untuk menunjukkan bahwa benar-benar lokal asal dan dari Blitar.
Biasanya blasakan itu jadi kata sambung yaitu mblasak-mblasak. Mengacu pada tindakan memasuki sebuah wilayah/jalan tanpa mengerti arah. Tanpa mempertimbang navigasi. Penting ada jalan, lewat.
Jadi, tak jarang ketika blasakan itu kadang-kadang sampai kesasar nemu jalan buntu ke arah kuburan juga kebablasan hingga masuk tegalan orang.
Ini cerita blasakan. Ndilalah TKP-nya kok ya Blitar. Rencana cari warung kopi lokalan. Kopi sembarang. Pokoke warung kopi. Pokoke kena kafein.
Tidak masalah kafein gaya gempo. Kopi segenggam dengan campuran jagung sak tompo. Lagipula, mblasak-mblasak di tengah kampung begini mustahil bisa dapatkan singel origin. Tanya singel origin malah dikira wong gendeng malah repot.
Ditengah blasakan ndak karuan itu, disapa ramah pemilik suara menggetarkan di samping jembatan Dusun Kembangan, Desa Sumberejo, Kabupaten Blitar.
"Nak monggo durennya nak. Duren enggal niki wau, angsal saking dhawah enjing wau," ramahnya sembari memperlihatkan keompongannya.
Melihat kita merespon, rahang yang telah kisut itu menggetarkan suara berikutnya, "Wangi nak, lho niki monggo diambu," tangannya yang juga kisut bergerak seraya menyodorkan durian runtuh anyaran tersebut. Duri-duri dipojokannya bekas tertancap klaras, agar dibaui.
Klaras itu membuktikan kalau duren alias durian itu memang masak dan jatuh dari pohonnya. Sewaktu si buah jatuh, kulit berdurinya membentur tanah sehingga menimbulkan retakan panjang pada ujungnya. Retakan inilah yang mengabarkan bau wangi isi dalam kulit berduri.
Siang itu lengasnya bukan main. Namun suara menggetarkan itu cukup mampu mengubah lengas jadi suejuk.
"Pinten mbah durennya?" tanyaku sembari makin mendekat.
"Nun?" Simbah seperti minta diulang pertanyaanku karena mungkin kurang dengar.
"Mbah kulakane pinten, trus sakniki disade pinten?" Ulang pertanyaanku dengan memakai bahasa Jawa mlipis sebisanya.
"Wau kula tumbas selangkung Nak, niki regine sakniki tigang ndoso," katanya polos.
Singkat kata lupa sudah sama kopi. Kafein juga mengurai seiring terbelinya durian itu.
Harga deal 30 ribu. Rasa hati ini tak tega membelinya seharga itu. Tercabutlah uang 50 ribu dan meminta kepada simbah untuk tidak perlu ada susuknya.
Simbah itu rupanya disiplin tinggi. Tetap dicarikan susuk. Sibuk dia ngudari stagennya, dan di dalamnya ada 5 lembar lima ribuan kumal. Empat lembar lalu diberikan untuk susuk. Sesak rasanya nyemplung dalam adegan ini.
Nama pemilik suara menggetarkan itu Ramini, dari Desa Gleduk Kabupaten Blitar. Anak satu, sudah mati. Sekarang dia 81 tahun, dan tinggal bersama cucu. Si Cucu kerja serabutan, maka mbah Ramini tidak mau merepotkan dan mencari penghidupan sendiri.
Mbrebes mili rasanya. Spontan aku mau bertanya kepada simbah, "Kenal Pak Jokowi apa tidak mbah? Kalau panjenengan kenal, simbah sudah sepuh begini tidak perlu turut dalan nggendong gedhang dan duren untuk sesuap makan."
Eh, kok rasanya ndak tekan mau nanya begitu. Khawatir jawabannya pasti, "Ooo mboten tepang Nak, sinten to Pak Jokowi niku. Nek Pak Lurah kula asmane sanes niku Nak?" widikamidi