Pantang Menyerah, Warga Madura Modal Dengkul Merantau di Ibu Kota
Tekad pemuda asal Madura yang mengadu nasib di Jakarta sebagai penjual kopi keliling dengan sepeda pancal patut diacungi jempol. Mereka memiliki semboyan "pantang pulang sebelum punya uang".
Semboyan itu menjadi pemicu semangat bagi sekitar 750 penjual kopi panas dan es teh manis keliling asal Madura tersebut tetap bertahan di tengah pandemi Covid-19,
meskipun penghasilan mereka merosot.
"Sebelum ada corona penghasilan saya setiap hari tidak kurang dari Rp200 sampai Rp250 ribu. Bahkan kalau ada unjuk rasa penghasilan saya bisa lebih besar," kata Surdi, asal Sampang.
Apalagi, kalau ada unjuk rasa, yang butuh minum pasti banyak. Kopi panas segelas plastik air mineral harganya Rp 3.500. Sedang es teh manis dalam gelas plastik ukuran lebih besar dijual dengan harga Rp4.000.
"Keuntungan yang diperoleh pergelas sekitar Rp2.000. Setiap harinya bisa menghabiskan 100 gelas kopi dan teh, tinggal hitung saja," katanya.
Tapi, setelah pandemi corona pengasilanya merosot seiring dengan resesi ekonomi. Untuk mendapatkan Rp100 ribu perhari berat sekali. "Sekarang ini pagi sampai sore cuma Rp75.000. Bahkan pernah hanya dapat untung Rp50.000," katanya.
Merosotnya penghasilan pemuda berusia 19 tahun ini karena dampak pandemi Covid-!9 serta diberlakukannya Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) yang sekarang diperluas melalui Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan masyarakat (PPKM) yang diikuti Work From Home (WFM).
Kebijakan ini merekomendasikan hanya sekitar 30 persen karyawan yang diizinkan bekerja di kantor. Sisanya, 70 persennya lagi harus bekerja dari rumah, untuk menghindari kerumunan.
Surdi yang hanya berpendidikan SMP, merupakan sosok di antara ratusan pemuda asal Madura yang ingin "menaklukkan" Jakarta dengan berjualan kopi panas. Sebab untuk menjadi pegawai kantoran di Jl Sudirman, Jl MH Thamrin sangat tidak mungkin, jauh dari angannya, tidak nyambung dengan pendidkannya.
Surdi mengaku, hanya mengantongi ijazah SMP. Tapi, Surdi melihat di sekitar perkantoran yang menjulang dan mentereng tersebut ada peluang yang bisa digarap untuk dijadikan pundi-pundi uang.
Dalam angannya orang-orang yang berurusan di beberapa kantor itu tentu ada yang butuh munum dan ini merupakan pasar bagi penjual kopi keliling seperti dirinya.
Sebab itu, ketika ada teman yang mengajaknya ke Jakarta untuk menjadi penjual kopi kelling, Sardi tidak berpikir panjang, langsung mengiyakan. "Sudah hampir dua tahun saya menaklukkan Jakarta dengan kopi panas," katanya dengan logat Madura yang medok.
Selama dua tahun di Jakarta ia sudah bisa membelikan sebuah sepeda motor buat adiknya, dan mengirim uang untuk ibunya. Sekarang, 4 orang saudara mengikuti jejaknya sebagai penjual kopi keliling di kawasan perkantoran Kuningan, Jakarta Selatan.
Tapi tidak semua pedagang kopi keliling bernasib baik seperti Surdi. Masih ada bahkan jumlahnya cukup banyak yang belum menikmati manisnya berjualan kopi keliling. Penghasilan mereka tiap hari hanya cukup untuk makan, bahkan terkadang harus ngebon di warung.
Di antara yang belum beruntung itu adalah Syarif, asal Bangkalan. Bapak dua anak ini ikut jualan kopi di Jakarta karena terpaksa, sebagai tanggung jawab pada istri dan dua anaknya di kampung.
Waktu bertemu ngopibareng.id di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, sebelum libur tahun baru Imlek, Syarif menceritakan tentang kerasnya hidup di Jakarta.
"Saya baru tiga bulan mengadu basib di Jakarta. Sebelumnya menjadi TKI di Malaysia bekerja di perkebunan kelapa sawit," kata Syarif.
Ia dipulangkan ke Madura, karena terkena razia Polisi Diraja Malaysia. Syarif masuk ke negara jiran secara ilegal. "Saya masuk ke Malaysia melalui jalur tikus di Nunukan Kalimantan Utara, bersama beberapa TKI," cerita Syarif.
Ia ditangkap polisi dan dipulangkan setelah bekerja di kebun kelapa sawit milik orang Malaysia selama lima tahun. "Waktu akan kembali ke Malaysia ada pandemi Covid-19. Malaysia menutup pintu rapat-rapat bagi buruh migran dari Indonesia," kata Syarif, sambil menghela nafas panjang.
Berbulan-bulan menganggur dan menjadi rasan-rasan tetangga, Syarif akhirnya ikut temannya ke Jakarta hanya bondo nekad, tidak tahu akan bekerja sebagai apa. Ia akhirnya bergabung dengan juragan kopi keliling di daerah Tanah Abang.
Di Jakarta terdapat beberapa jurugan kopi keliling asal Madura. Selain di daerah Tanah Abang, juga ada di daerah Kebayoran, Kwitang, Senin, Jakarta Pusat, dan Jati Bening Bekasi. Para juragan masih ada hubungan sudara, yang mereka sebut "Tretan dibik" (saudara sendiri).
Modal yang diperlukan untuk menjadi penjual pedagang kopi keliling di Jakarta hanya kemauan dan semangat. Semua kebutuhan operasional, dari sepeda, barang dagangan, termos sampai tempat tinggal disiapkan oleh sang juragan. Totalannya baru dilakukan setelah pulang dari keliling, waktu berangkat yang dibawa apa saja, kemudian laku berapa, baru dibayar.
Syarif ikut juragan Madrai di daerah Tanah Abang bersama 35 orang temannya.
"Meskipun pekerjaan ini tidak saya sukai, tapi malu kalau nganggur terus. Orang di kampung kan tidak tahu saya di Jakarta bekerja sebagai apa," katanya.
Syarif mengaku sempat ragu ketika berangkat ke Jakarta. Hatinya terusik ketika membaca tulisan di bak sebuah truk yang berbunyi "Kejamnya ibu tiri tidak sekejam Ibu Kota".
Tulisan disertai ilustrasi gambar perempuan cantik tersebut seakan mengingatkan dirinya bahwa hidup di Jakarta itu karas. "Akan saya jalani dulu, sambil mencari peluang. Malu kalau pulang tidak membawa uang," kata Syarif yang hahya tamatan sekolah dasar.
Para pedagang kopi keliling biasanya berangkat dari pangkalan pada pagi hari. Kembali, pada sore harinya.
Mereka berkeling dengan sepeda ontel sambil menjajakan minuman ringan san rokok eceran di daerah Minas, perkantoran Sudirman, Kuningan, Kebayoran, Senin dan kebayoran yang telah mereka kuasai.
Peralatan yang menyertainya berupa tiga termos untuk menyimpan air panas, satu termos untuk menyimpan es batu. Peralatan itu ditempatkan di boncengan. Sedang, barang dagangannya digantung di setir, Kelihatan rame mirip sepeda hias yang akan ikut karnaval.
Musuh pedagang kopi keliling adalah Satpol PP. Kalau sampai terkena razia urusannya jadi panjang. Barang dagangan dirampas dan sepeda disita. "Kalau dirampas yang ngurus biasanya sang juragan. Barang-barang yang dirampas akan diserahkan setelah membayar kepada petugas," katanya.
Para pedagang kopi keliling merasa senang kalau ada unjuk rasa degan jumlah peserta yang banyak. Sebab yang akan minum pasti banyak, dan ini sebuah keberuntungan.
Sementara itu, ada seorang perempuan pedagang kopi yang membeberkan kecurangan yang dilakukan oleh beberapa temannya. Satu bungkus nutrisari untuk satu gelas direkayasa menjadikan tiga gelas.
"Kalau satu gelas harganya Rp5.000, karena jadi 3 gelas bisa dapat Rp15.000. Yang beli kan tidak tahu dibohongi, yang penting hausnya ilang bisa ikut orasi lagi," kata ibu yang tidak mau disebut namanya.
Para pedagang kopi keliling pendengarannya cukup tajam. Mereka selalu mengetahui kapan dan di mana pada hari itu ada unjuk rasa. Kalau penjual kopi itu berkumpul di sekitar Monas, Istana Merdeka atau di depan Gedung DPR Senayan, artinya di tempat itu akan ada unjuk rasa.
Ini adalah saat yang ditunggu bagi Penakluk Jakarta dengan kopi panas, mereka akan kebanjiran pembeli.
Advertisement