Selingkuh Hotel
Kali ini saya selingkuh dari Hotel Tugu Lestari. Yang sudah puluhan tahun menjadi langganan menginap setiap kali pulang kampung ke Blitar.
Inilah hotel kuno yang saat saya kecil punya mimpi bisa menginap di situ. Hotel yang di dalamnya ada kamar khusus tempat menginap Presiden Pertama RI Bung Karno.
Dulu namanya hanya Hotel Lestari. Baru setelah diambil alih pemilik hotel Tugu Malang berganti nama menjadi Tugu Lestari. Letaknya di Jalan Merdeka Blitar. Jalan utama kota itu.
Kok selingkuh?
Ya. Untuk kali pertama saya pindah ke hotel lain. Tidak jauh juga dari hotel yang juga menjadi langganan menginap Megawati Soekarnoputri dan Mantan Wapres Budiono setiap kali ke Blitar.
Gara-garanya sederhana. Saya ke Blitar bersama Mursyid Murdiantoro. Pengacara hebat Surabaya. Sayang, ia tidak suka menginap di hotel kuno. Apalagi hotel bersejarah seperti Tugu Lestari.
“Pasti banyak makhluk halusnya,” katanya sambil tertawa. Memang ada jenis manusia yang sensitif dengan makhluk halus seperti Mursyid. Saya sendiri selama hidup belum pernah ketemu makhluk halus.
Nama hotel yang menjadi selingkuhan saya itu Patria Palace. Di Jalan Mas Trip. Dulu kala gedung bioskop Irama. Ketika saya masih kecil. Belum lama juga saya tahu telah berubah menjadi hotel.
Tidak besar. Hanya 23 kamar. Bahkan muka jalannya juga terlihat sempit. Karena itu, saya sempat lupa kalau hotel ini dulunya gedung bioskop.
‘’Saya nggak tahu Pak kalau dulunya hotel ini gedung bioskop,’’ kata staf resepsionis. Sayang saya lupa menanyakan usianya.
Tapi bukan gedung bioskop yang berubah jadi hotel itu yang menarik perhatian saya. Justru perubahan kota Blitar secara keseluruhan yang membuat banyak orang berdecak.
Kota tempat makam Bung Karno ini sekarang menjadi bersih sekali. Di semua sudut kotanya. Bahkan, saya menyaksikan pedagang PKL yang ngepel bekas jualannya di pagi hari.
“Petugas kebersihan sudah bekerja sejak pukul 3 pagi. Mereka kembali membersihkan jalan pada sore hari jam 16.00,” kata alumnus Unair yang kini tinggal di Blitar Widya Pramana.
Di Madiun, suasana kotanya juga berubah dalam tahun-tahun belakangan ini. Walikota Maidi telah menyulap Jalan Pahlawan menjadi tempat cuci mata yang nyaman.
Sepanjang jalan penuh dengan tanaman bunga. Kanan kiri jalan juga dibenahi. Perubahan itu menjadikan jalan tersebut favorit untuk nongkrong anak-anak muda.
Pusat keramaian menjadi bergeser. Dari alun-alun ke Jalan Pahlawan. Jalan yang berjajar warung pecel khas Madiun yang nyamleng. Bersih dan nyaman.
Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko yang baru setahun memimpin juga menyulap Jalan HOS Cokroaminoto menjadi cantik. Punya pedestrian lebar dan lampu jalan yang antik.
“Akan saya sambung ke Jalan Jenderal Sudirman. Tahun 2022, Kota Ponorogo akan jadi kota yang indah,” kata bupati yang berlatar belakang orang marketing ini.
Bupati Magetan Suprastowo juga membuat berbagai inovasi yang membikin warganya senang. Meramaikan pasar tradisionalnya. Dengan hanya menjadikan pasar juga sebagai pusat layanan publik.
“Dengan demikian, pengunjung pasar menjadi tambah ramai. Sehingga para pedagang tradisional menjadi ikut senang,” katanya. Kebetulan pasarnya memang berada di tengah kota dan di jalan protokol.
Rupanya makin banyak kepala daerah yang telah dengan nyata bekerja keras untuk menyenangkan warganya. Mulai dari mempercantik kota sampai dengan memperbaiki layanan publiknya.
Bahkan mereka seakan berlomba menjadi lebih baik dari kota-kota di sekitarnya. Dengan berbagai terobosan yang tidak hanya mengandalkan kemampuan APBD-nya.
Fenomena seperti ini bisa terjadi setelah berlangsung pemilihan kepala daerah secara langsung. Mereka cenderung mengambil hati rakyat dengan memenuhi kebutuhannya.
Setidaknya ada semangat membuat perubahan untuk membedakan dengan pemimpin sebelumnya. Juga untuk memperkuat dukungan jika ia harus menjadi kepala daerah lagi. Atau untuk kepentingan politik lainnya.
Pemilihan langsung kepala daerah memang berbiaya mahal. Tapi juga membuat mereka yang ingin memimpin berpikir keras menyenangkan publik. Agar mereka terpilih lagi atau punya legitimasi kuat.
Selalu saja terjadi dilema setiap pilihan sistem politik. Tapi pemilihan langsung bisa memantik kepala daerah untuk membangun kotanya. Apa pun motifnya. Termasuk motif politik.
Problemnya tinggal bagaimana terus menyadarkan pemilih untuk tidak transaksional dalam memilih pemimpin. Sebab, terlalu murah menukar suara dengan hanya sekantong sembako tapi memilih pemimpin yang tak berkompeten.
Tidak hanya pemilih. Tapi juga mendorong politisi kita tidak mengambil jalan pintas dengan mengandalkan transaksi ketimbang menyodorkan gagasan. Masih terlalu sedikit aktor politik kita yang mengandalkan gagasan sebagai modalnya.
Sebagian besar masih mengedepankan transaksi. Makanya ketiga gagal menawarkan gagasan, akhirnya sembako yang disebar. Ini tidak hanya terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Tapi juga dalam kancah pertarungan kepemimpinan nasional.
Tampaknya masih butuh waktu untuk membangun peradaban demokrasi kita. Namun berpikir bahwa pemilihan langsung lebih merusak adalah lebih jauh dari akal sehat. Sebab, dengan itu akan makin banyak lahir pemimpin yang lebih baik.
Atau setidaknya, dengan pemilihan langsung akan tercermin tingkat peradaban politik pemilih dan para politisi kita. Masih dalam tahap pemilih emosional, pemilih transaksional, atau pemilih rasional.