Selat Solo Kuliner Warisan Zaman Belanda, Lezatnya Bikin Ketagihan
Selat Solo makanan warisan zaman Belanda yang satu ini memang tidak sepopuler nasi liwet Solo. Tetapi kalau sudah mencicipi lezatnya 'selat solo', pasti akan penasaran.
Selat Solo ini memiliki cita rasa manis, asam, dan gurih. Makanan ini memiliki aroma rempah ringan yang khas. Warna kecokelatan yang mendominasi hidangan berbahan dasar daging ini berasal dari pemakaian kecap. Makanan yang kerap disebut bistik Jawa ini dahulu hanya dinikmati kalangan bangsawan. Sekarang makanan ini mudah ditemui di sejumlah restoran.
Presiden Jokowi pernah memboyong selat solo ke Istana Negara ketika ngobrol sore dengan wartawan. Pada saat itu Jokowi juga memborong nasi liwet khas Solo langganan keluarga Jokowi.
Mengingat belum banyak yang mengenal selat solo hampir tidak ada yang menyentuhnya. Semua melirik nasi liwet dengan opor ayam kampung yang aromanya membuat perut lapar seketika.
Tapi setelah presiden kelahiran Solo itu memperkenalkan masakan legendaris tersebut wartawan berebut mencicipi. "Ternyata enak! Kirain sayur semur yang manis-manis itu," celetuk seorang wartawan stasiun televisi nasional.
Selat Solo yang banyak dikenal di beberapa kedai. Seperti selat solo Tenda Biru Jalan Dr. Wahidin Solo. Isinya terdiri antara lain daging olahan yang telah digoreng atau daging yang dimasak dengan kuah encer khas Jawa.
Ada wortel rebus, buncis rebus, irisan tomat, daun selada, dan kentang goreng untuk memberikan rasa kenyang. Di atas daun selada bisanya diberi saus mustard dan ada pula yang menambah dengan irisan mentimun.
Ciri khas selat solo lainnya adalah adanya irisan telur rebus. Kombinasi ini menjadikan selat solo berwarna dan menggugah selera. Perbedaan selat solo dan steak Eropa adalah, steak Eropa biasanya disajikan selagi panas, sedangkan Selat Solo disajikan dalam kondisi dingin. Namun sejumlah rumah makan dapat menyajikan Selat Solo dalam kondisi hangat sesuai permintaan tamu.
Sejarah Selat Solo
Dikutip dari Indonesia.id nama selat diambil dari kata slachtje yang artinya salad. Kata slachtje juga bermakna hasil penyembelihan daging yang dijadikan dalam bentuk kecil-kecil.
Pada saat itu, masyarakat Surakarta atau Solo sulit menyebutkan kata slachtje, kemudian mereka kerap mengucapkannya dengan kata Selat.
Selat Solo berawal sejak pembangunan Benteng Vastenburg yang terletak di depan gapura Keraton Surakarta. Tempat tersebut kerap terjadi pertemuan antara pihak Belanda dan keraton. Dalam setiap pertemuan selalu disediakan makanan, namun makanan tersebut tidak sesuai dengan selera Belanda yang menginginkan makanan berbahan utama daging.
Sedangkan raja terbiasa makan dengan sajian sayur dan tidak terbiasa makan daging besar dengan olahan setengah matang. Maka daging yang semestinya dimasak setengah matang diubah menjadi daging cincang yang dicampur sosis, telur, dan tepung roti.
Bahan-bahan tersebut dicampur lalu dibentuk menyerupai lontong dan bungkus menggunakan daun pisang. Kemudian, daging yang sudah dicampur dikukus hingga matang. Daging yang sudah matang didinginkan, kemudian daging diiris tebal dan digoreng menggunakan sedikit margarine.
Pihak keraton kemudian memodifikasi masakan daging olahan dengan menu baru yang dikombinasikan dengan sejumlah bahan-bahan. Seperti aardappel (kentang), boon (buncis), wortelen (wortel), komkommer (ketimun), ei (telur), sla (slada), sojasous (kuah kecap), dan saus mayones.