Selamat Jalan Cak Sabrot, Peno Wong Apik
Seniman sekaligus politikus Sabrot Dodong Malioboro, meninggal dunia Sabtu dini hari. Lelaki yang nama aslinya Sanoesi Soebroto dan lahir di Kampung Pengampon Surabaya tiga hari menjelang kemerdekaan, yaitu 14 Agustus 1945 ini, meninggal di RSAL dr. Ramelan Surabaya pukul 03.15 WIB.
Sabrot adalah seniman, tetapi dia pernah menjadi anggota DPRD Surabaya dari Fraksi PDI (Partai Demokrasi Indonesia), dari tahun 1992 sampai1999. Dia memang tokoh nasionalis dan Sukarnois sejati di Surabaya. Tetapi konflik yang terjadi di partai itu tahun 90an, antara kepemimpinan Soerjadi dengan Megawati di masa akhir Orde Baru, membuat Sabrot memilih mundur dari dunia politik, dan kembali masuk ke kehidupan seni.
"Gak pateken politik. Nggarai lara ati," katanya, ketika itu.
Dia kemudian aktif di kesenian, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, antara lain menjadi Ketua Dewan Kesenian dan pengurus Dewan Kesenian Jawa Timur. Sabrot memang multitalenta, tetapi basic berkesiannya adalah sastra.
Dia juga aktif jadi pengurus Pusura (Putra Surabaya), lembaga sosial pemuda Surabaya yang didirikan tahun 1936 antara lain oleh Dr Sutomo, Dr Soewandi, KH Mas Mansyur, Roeslan Abdul Gani dan Doel Arnowo.
Beberapa bulan terakhir ini, kesehatan ayah dari 4 anak dan kakek dari 11 cucu ini memang menurun. Terutama akibat diabet yang diderita. Dan ketika kondisinya benar-benar drop pada hari Minggu 28 Juni lalu, sore hari, dia oleh keluarga dibawa ke RS Darmo.
Mengejutkan, hasil tes gula darahnya 773. Rapid tess negatif. Tetapi dari hasil lab lainnya menunjukan dia mengidap pneumonia, atau infeksi paru, karena ada gumpalan dahak di paru-parunya. Celakanya, gejala ini di rumah sakit manapun dianggap covid. Padahal belum tentu. Maka Sabrot dimasukkan ke ruang isolasi RS Darmo.
"Pihak keluarga sangat sedih. Karena dengan masuk ke ruang isolasi, semua tidak dapat menjaga. Padahal saat itu kondisi Cak Sabrot justru memerlukan dukungan keluarga," kata Heroe Budiarto, Ketua Bengkel Muda Surabaya (BMS) yang secara inten ikut mendampingi keluarga Sabrot.
Karena biaya perawatan dan pengobatan di RS Darmo oleh keluarga dianggap tinggi, kata Heroe Budiarto, misalnya untuk APD para perawat yang dibebankan pada keluarga saja mencapai Rp 3,8 juta, maka keluarga berinisiatif untuk memindahkan Cak Sabrot ke rumah sakit lain.
"Tapi beberapa rumah sakit ternyata penuh. Termasuk RS Universitas Airlangga, RS Soewandhie, RS Haji dan RS Soetomo. Dengan bantuan seseorang, akhirnya tanggal 30 Juni Cak Sabrot bisa dibawa ke IRD RSAL dr, Ramelan Surabaya. Tapi melihat hasil lab sebelumnya yang menyatakan Cak Sabrot mengidap pneumonia, maka dia dimasukkan ruang ICU hingga akhirnya meninggal dini hari tadi," cerita Heroe lagi.
Surabaya kehilangan seniman yang tidak saja berkarya, tetapi juga bisa diterima semua kalangan. Sabrot mudah bergaul, dari kalangan yang tidak jelas sampai kalangan yang sangat jelas, termasuk birokrat, dari wali kota sampai gubernur.
Dengan ringan tangan dan hati Sabrot selalu menyiapkan waktu untuk membantu seniman, siapapun, dalam bentuk bantuan apapun. Kini orang yang ringan hati ini telah tiada.
Pukul 9.00, jenazah Sabrot akan diberangkatkan dari RSAL ke TPU Keputih untuk dimakamkan dengan protokoler covid. "Bagaimana lagi, negatif maupun positif, tetap akan dimakamkan dengan protokoler corona. Kami pihak keluarga ikhlas, dan siap menerimanya, karena kami memang tidak dapat membantahnya," kata Karana Anugerah, putra sulung Sanoesi Subroto.
Peno wong apik Cak, mugo husnul khotimah. (nis)