Selamat Jalan Bang Arief Munandar Sang Mujahid Dakwah Kosmopolit
Oleh: Ady Amar
Sekitar pukul 20.00 (14 Juli), kabar itu menyeruak di grup-grup media sosial, bahwa Dr. Arief Munandar telah dipanggil-Nya. Mengagetkan. Terakhir kontak beliau tanggal 26 Juni, tepatnya pukul 13.20. Ia mengabarkan bahwa dalam beberapa hari ini, ia berada dalam kondisi kurang sehat.
Setelah itu WA susulan yang saya kirim belum sempat dibacanya. Sampai akhirnya sebuah video yang sempat ia podcast di RSUD Pasar Minggu, mengabarkan kondisinya saat itu, ia positif Covid-19. Dengan memakai selang oksigen, ia tetap ingin bicara menyemangati kawan dan para viewersnya.
Perkenalan saya dengan Dr. Arief Munandar belum terlalu lama. Dan yang mengenalkan adalah Mas Hersubeno Arief, jurnalis senior Forum News Network (FNN). Meski belum terlalu lama, tapi persesuaian frekuensi tampaknya yang menjadikan semua jadi cair. Apa yang saya harap darinya mendapat respons dengan baik.
Kesan saya, bang Arief biasa dia dipanggil di podcast nya, adalah pribadi yang humble dan terbuka. Orangnya asyik, dan jika bicara runtut berisi, tidak meledak-ledak. Cenderung bisa mendengar lawan bicaranya dengan baik, tidak ingin "berbalapan" seakan menunjukkan kepintaran.
Itu bisa dilihat saat ia mewancarai Pak Anies Baswedan di rumahnya pada akhir pekan. Ia hanya menyodorkan beberapa pertanyaan, dan pertanyaan itu dijawab nara sumber dengan baik. Suasana yang dibangun menjadi asyik, itu karena ia tahu fungsinya dan tidak perlu harus mengemukakan pendapatnya, apalagi beradu argumen dengan nara sumber. Ia mampu membuat nyaman nara sumber menyampaikan apa yang ingin disampaikan.
Begitu pula saat ia mewancarai Tokoh Reformasi, Pak Amien Rais, ia pun melakukan hal yang sama. Menampilkan nara sumber selayaknya sebagai sumber untuk digali pendapatnya. Dan terkadang ia mencoba meluruskan meski halus tak terasa, dan itu pada kejadian '98 yang beberapa bagian lepas dari ingatan Pak Amien. Dan Pak Amien pun senang diingatkan dengan perangai santunnya.
Tidak tampak dari sikapnya ingin menonjolkan kemampuan dihadapan nara sumber. Tampak pribadinya jauh dari sikap itu. Ia memposisikan diri lebih sebagai "murid" yang bertanya dan menikmati jawaban-jawaban dari nara sumber yang diwawancarai. Itu setidaknya yang terkesan, melihatnya memberi keleluasaan pada nara sumber untuk menyampaikan apa yang diinginkan tanpa memotong-motong pembicaraan.
Bang Arief, jika berbicara selalu dengan intonasi terjaga, tidak mendaki-daki, datar-datar saja, dan selalu dihias dengan sungging senyum. Dalam beberapa obrolan Bang Arief yang saya ikuti, ia menghidangkan daging semua, dan viewers nya bisa menikmatinya dengan lahap.
Bersama jurnalis senior, Mas Hersubeno Arief ia "berduet" dalam obrolan "Off the Record". Duet maut yang membuat kita dimanjakan dengan informasi-informasi yang belum banyak diketahui publik. Perbincangan yang menunjukkan kelas sepadan di antara keduanya. Tidak ada yang ingin menonjolkan diri. Saling mengumpan, dan yang diumpan menggiring untuk memberikan infofmasi mencerahkan.
Sebuah "proyek kecil" sebenarnya sedang saya gagas dengan Bang Arief, tapi takdir berbicara lain. Tapi setidaknya niat baik darinya khususnya, sudah tercatat sebagai amal kebaikan. Niat saja untuk melakukan kebaikan, meski belum sampai terealisir, tetap akan diganjar sebagai amal kebaikan. Tidak ada rasa yang saya sesali, meski keinginan belum tersampai. Justru rasa kehilangan sosoknya yang bergayut di pikiran.
Memilih Hidup di Medan Dakwah
Bekal akhirat Bang Arief in Syaa Allah sangat cukup. Ia memilih hidup di jalan dakwah dan menyiapkan kader intelektual muslim yang kosmopolit.
Bang Arief ini masuk kategori Ustadz gaul dengan penguasaan dan pemahaman agamanya yang cukup, wawasan keilmuan terutama bidang sosiologi dan ekonomi juga mumpuni. Gaya hidupnya pun menarik. Lihat tampilannya dengan celana jeans dan kaos oblong yang dipakainya.
Rumahnya dibagi dua. Bagian belakang untuk asrama/pesantren mahasiswa. Ada 12 mahasiswa UI terpilih penghuninya. Ia seleksi, didik sendiri, dan beri beasiswa. Keren. Anak-anak ini ia siapkan sebagai pemimpin masa depan. Salah satu anak didiknya adalah Fajar, ketua BEM UI, sebelum yang sekarang, Leon.
Di rumahnya ada dua mobil, tapi ke mana-mana ia memilih naik taxi online. Istrinya Doktor Akutansi, staf pengajar du FE UI, kemana-mana dengan sepeda motor. Saat ini tengah mengurus gelar Profesornya. Bang Arief memiliki putri tunggal, yang memberinya 3 orang cucu.
Secara ekonomi Bang Arief sangat berkecukupan, karena ia juga memiliki kantor konsultan SDM, sebuah dunia yang sangat ia cintai. Setiap Idul Adha selalu berkurban dengan 2 ekor sapi limousin, yang harganya ratusan juta. Masya Allah.
Perjalanan Bang Arief yang singkat 51 tahun, ia lahir 15 November 1971, penuh manfaat. Bukan saja untuk dirinya, tapi untuk orang lain, bangsa dan negara. Semua yang mengenalnya, khususnya rekan-rekannya di FNN, tentu berharap Bang Arief terus membersamainya. Tapi Allah yang memilikinya punya rencana lain, dan in Syaa Allah itu indah buatnya.
Selamat Jalan Bang Arief Munandar, jejak tapak perjalananmu terukir indah dan sulit untuk bisa dilupakan, khususnya mereka yang ingin negeri ini berada dalam bingkai keadilan, sebagaimana yang selalu engkau kumandangkan. Dan kepada keluarga yang ditinggalkan, khususnya istri dan putri semata wayangnya, semoga Allah menguatkannya. Teriring doa syahdu mengiringi kepergianmu.
*Ady Amar, penikmat dan pemerhati buku, tinggal di Surabaya.
Advertisement