Selama 2022-2023, 9 Pasien Leptospirosis di Probolinggo Meninggal
Leptospirosis masih menjadi penyakit yang mengancam kematian bagi warga Probolinggo. Terbukti, selama 2022, sebanyak enam orang di Kota Probolinggo terpapar Leptospirosis dengan satu kasus kematian. Sedangkan pada 2023 (hingga 8 Maret) dari lima kasus leptospirosis, satu di antaranya dilaporkan meninggal dunia.
Sementara di Kabupaten Probolinggo, selama setahun (2022) ditemukan 16 kasus leptospirosis dengan lima meninggal dunia. Pada 2023 ini sudah ada tiga pasien yang menderita leptospirosis, dua di antaranya meninggal dunia.
Musim hujan menjadi ancaman tersendiri karena air kencing tikus yang terinfeksi bakteri leptospira (penyebab leptospirosis) mudah tersebar melalui genangan air dan banjir. Pada tahun 2023 ini (Januari hingga 8 Maret), kasus leptospirosis masih bercokol di Kota Probolinggo.
“Tahun 2023 ini tercatat lima kasus leptospirosis dengan satu kematian,” ujar Kepala Puskesmas Kanigaran, Kota Probolinggo, dr. Ike Yuliana saat mengisi gelar wicara program kesehatan di Radio Suara Kota Probolinggo, Rabu, 8 Maret 2023.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Perlindungan Perempuan dan Keluarga Berencana (Dinkes P2KB) Kota Probolinggo, secara komulatif pada rentang tahun 2017-2023, Kecamatan Kanigaran menjadi wilayah dengan infeksi leptospirosis tertinggi yakni, sebanyak 17 kasus. Disusul Kecamatan Kedopok 16 kasus, Kecamatan Mayangan 14 kasus, Kecamatan Wonoasih sembilan kasus dan Kecamatan Kademangan tujuh kasus.
“Leptospirosis ini merupakan penyakit yang berbasis lingkungan, penyakit zoonosis yang ditularkan melalui hewan. Leptospirosis memang disebabkan oleh infeksi bakteri leptospira yang ditularkan oleh urine atau air kencing hewan yang terinfeksi, jadi bakteri leptospira itu masuk ke dalam tubuh manusia melalui kulit yang luka terbuka dan selaput lendir, bisa dari mata atau mulut,” kata dr. Ike.
Penyakit yang memiliki masa inkubasi 7-10 hari ini bisa ditularkan dari berbagai jenis hewan. Di antaranya kucing, babi, anjing, sapi dan kambing. “Namun sumber penularan utamanya berasal dari tikus yang terinfeksi oleh bakteri leptospira,” ujarnya.
Masih menurut dr. Ike, gejala klinis umum dari orang yang terinfeksi leptospira adalah demam tinggi 3-5 hari, nyeri otot betis, lemas dan kekuningan pada kulit. Jika keluhan terus berlanjut, masyarakat bisa memeriksakan diri melalui uji Rapid Diagnosis Test (RDT) yang sudah tersedia di puskesmas.
“Biasanya kami tanya paparan lingkungannya, yang bersangkutan sehari-hari sebagai apa, dia kontaknya dengan lingkungan itu berapa lama, kalau itu kami curiga (suspect), kemudian gejalanya positif, lingkungan positif, akhirnya kami lakukan RDT, itu cek untuk pemeriksaan Lepto, kami semua ada di puskesmas,” tambah dr. Ike.
Dokter Ike juga mengingatkan, masyarakat agar jangan menyepelekan infeksi bakteri leptospira ini, terlebih terlambat dalam pengobatannya karena dapat menyebabkan kematian. “Karena kalau terlambat penanganannya itu bisa menimbulkan kematian,” katanya.
Endemis pada 2021
Sementara itu Sekretaris Dinkes Kabupaten Probolinggo, Mudjoko menjelaskan, lepstospirosis sempat endemis pada 2021 silam. Saat itu pada kurun waktu tiga bulan, Januari-Maret 2021 terdapat enam kasus leptospirosis di Kabupaten Probolinggo dengan keenam pasien meninggal dunia.
"Di Kecamatan Dringu itu penyakit leptosipirosis endemis, sebab saat itu sering dilanda banjir. Banyak tikus keluar ke permukiman warga. Sehingga, menjadi endemis,” katanya.
Pada 2022, leptospirosis di Kabupaten Probolinggo dilaporkan sebanyak 16 kasus dengan lima meninggal dunia.
Mujoko mengingatkan, warga agar mengetahui gejala awal leptospirosis. Dengan demikian masyarakat bisa langsung berobat sehingga tidak terlambat penanganan medisnya.
"Kasus-kasus leptospirosis, gejala-gejala awal ini sudah ada, ngreges panas. Kalau sudah punya gejala ini segera periksa, biar dapat dilakukan pemeriksaan lebih detail," katanya.
Dengan deteksi tersebut, penanganan dapat betul-betul dilakukan. Sehingga kasus yang sampai menyebabkan pasien meninggal dunia, dapat diantisipasi.
“Jangan sampai terlambat, sudah 4-5 hari baru terdeteksi. Jangan menganggap biasa, kadang ada yang menganggap ini kasus biasa, pilek biasa. Akhirnya terlambat," kata Mujoko.
Karena itu munculnya tikus di lingkungan kita, kata Mujoko, jangan dianggap remeh. Sebab dari hal sepele, bisa menyebabkan penyakit yang berujung kematian.
"Dari hal sepele misalnya, ada makanan di rumah, kemudian dikencingi tikus, tetapi orangnya tidak tahu. Begitu dimakan, orangnya terpapar leptospirosis,” katanya.