Sekularisasi Bola
Saya setuju dengan Ellyasa KH Darwis. Mantan aktifis IAIN Sunan Kalijogo Jogjakarta ini menyebut bola sebagai spritualisme baru. Seperti agama, ada ritus (upacara), syariat (seperangkat aturan), reward and punishment (pahala dan hukuman).
Karena itu, bola yang sekarang dipertandingkan dalam Piala Dunia di Qatar seperti agama. Ada fanatisme berlebihan pada suporter dan pendukungnya. Juga seperti halnya agama, sepakbola tidak jarang dimanfaatkan untuk kepentingan politik para penguasa.
Tentu ia tidak menyebut bola sebagai agama. Ada kesamaan dalam beberapa hal. Juga ada kesamaan dalam hal fanatisme pengikutnya. Inilah sebuah industri yang kemudian bisa menciptakan komunalisme baru yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip industri. Yang agama pun pernah mengalami fase seperti itu.
Bedanya, reward dan punisment dalam agama bola bersifat langsung. Mereka tersiksa seperti gambaran di neraka ketika kalah. Mereka penuh kegembiraan seperti di surga ketika menang. Untuk kalau dan menang itu, setiap klub atau timnas harus menjalani ritual sesuai dengan syariat dalam dunia bola.
Bayangkan ribuan orang rela mengeluarkan uang untuk datang ke Qatar. Dari berbagai negara. Hanya untuk menyaksikan tim pujaannya bertarung melawan tim pujaan dari negara lain. Ini bukan sekadar pesta. Tapi sudah mendekati ritus atau ritual dengan motif yang berbeda-beda.
Qatar sebagai sebuah negara rela menginvestasikan miliaran US Dollar untuk menggelar ritual itu. Ritual dunia. Yang menjadikan para penganut timnas masing-masing seperti menjalani tahapan ibadah haji. Piala Dunia menjadi ritual empat tahunan untuk menasbihkan negara yang unggul dalam mengolah bola di lapangan hijau.
Orang bisa menangis dan tertawa saat menyaksikan pujaannya kalah atau menang. Ia terkadang mengaduk-mengaduk emosi melebihi emosionalnya seorang hamba kepada Tuhannya. Pertandingan adalah ritualnya, regulasi pertandingan adalah syariatnya. Dan kalah maupun menang merupakan reward and punishment-nya.
Sebagaimana agama, dalam sepakbola lahir sekte-sekte. Mazhab-mazhab. Satu pola dari tafsir akan aturan yang berkembang dalam cabang olah raga itu untuk mendapatkan kemenangan. Para pelatih adalah nabi-nabi baru, para pewaris nabi atau ulama. Mereka yang menerjemahkan teks atau aturan ke dalam praktik permainan.
Tapi lebih dari semua itu, bola berkembang sesuai dengan ekosistem yang melingkupinya. Dalam ekosistem tertentu, ia bisa sangat maju. Namun, dalam ekosistem yang lain, ia bisa sangat terbelakang. Mana ekosistem yang cocok, itulah yang harus dipilih oleh masing-masing masyarakat bola.
Dari ekosistem bola yang menunjukkan kemajuan selama ini adalah ekosistem yang sekuler. Yang telah memisahkan bola dengan politik. Yang telah menjadikan bola ini sebagai industri. Yang berkembang berdasarkan pilihan-pilihan rasional: untung-rugi, pemenang-pecundang, dan melepaskan dari jaring-jaring kekuasaan.
Sepakbola di Eropa telah menjelma menjadi ekosistem hebat merupakan hasil sekularisasi bola sejak sekian lama. Mereka tidak lagi menjadikan identitas alamiah dalam pengelolaan bola. Siapa yang mampu dan memiliki modal, maka ia akan memiliki klub bola andalan. Tidak peduli asal-usul pemiliknya. Yang penting mereka bisa mengantarkan prestasi klubnya.
Mereka tidak memasukkan pertimbangan identitas sebagai bagian dari pengembangan industri bola. Ini yang memungkinkan para miliader dari berbagai negara bisa memiliki klub bola di Inggris. Juga di beberapa negara di Eropa. Ada Sheikh Mansoer dari Uni Emirat Arab di Manchester City. Ada Pangeran Mohammad bin Salman dari Arab Suadi di Leeds, dan seterusnya. Mereka bukan dilihat dari asal dan agamanya, tapi kemampuan finansialnya dalam membesarkan klub.
Bahwa hasil dari investasinya tak hanya memberikan keuntungan finansial, bisa saja terjadi. Namun, itu bukan tujuan utama. Keuntungan yang bersifat non material menjadi semacam bonus bagi mereka yang telah menaruh uangnya untuk menguber prestasi. Untuk menggapai reward and punisment dalam dunia bola. Sebut saja itu sebagai bonus. Ia adalah kelebihan dari nilai material yang ditanamkan dalam klub tersebut.
Eropa –khususnya Inggris– berhasil membangun ekosistem industri bola setelah ratusan tahun berkembang. Namun, model yang dikembangkan tentu tidak harus menunggu ratusan tahun pula untuk dikembangkan di daerah atau wilayah lainnya. Jepang adalah contohnya. Ia bisa membangun ekosistem sepakbolanya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Hasilnya, kini ia bisa masuk 16 besar Piala Dunia.
Bisakah kita di Indonesia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Jepang maupun negara lainnya? Kenapa tidak. Tentu yang paling utama yang harus dikedepankan adalah koimtmen bersama. Komitmen untuk membangun sepakbola sebagai salah satu industri olahraga. Ini artinya harus memisahkan mereka dari kekuasaan. Seperti sekularisasi agama, memisahkan antara negara dan agama.
Dalam sejarah, menjadikan kompetisi sebagai bagian dalam memuaskan massa adalah keniscayaan. Seperti ketika lahirnya stadion besar untuk pertandingan gladiator dalam sejarah Romawi Kuno. Inilah masa ketika olahraga yang mematikan menjadi bagian dari membangun legitimasi baru seorang raja atau kaisar.
Dua dekade lalu, saya pernah mengelola klub bola yang menyatu dengan politik. Ketika masih dibiayai oleh APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Apa yang terjadi? Manajemen tidak bisa sepenuhnya fokus kepada pengelolaan yang profesional. Melainkan harus mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik di balik kucuran APBD tersebut.
Mengusung ide bola sebagai industri saat itupun menjadi barang aneh. Seperti Wright bersaudara menggagas pesawat terbang di abad 18. Atau seperti para penulis skenario film fiksi yang memvisualkan mobil tanpa sopir beberapa dekade lalu. Atau saat para penemu telpon seluler sebelum terjadi revolusi digital.
Industri bola di Indonesia menjadi keharusan sekarang. Namun, sayangnya, industri itu berkembang dalam ekosistem yang belum mampu sepenuhnya menopang kehidupan cabang olahraga dengan penggemar terbesar di dunia ini. Ia memasuki sistem industri setengah hati. Ia masih sering menjadi alat politik bagi sebagian orang yang ingin pansos dari industri itu.
Barangkali jargon ‘’Islam Yes, Partai Islam No’’ yang diteriakkan Cak Nur di tahun 1980-an perlu ditransformasikan di dunia bola Indonesia sekarang. Jargon yang diteriakkan ketika ia berjuang untuk memisahkan penggunaan agama dalam mobilisasi politik di negeri ini. Saatnya kini diteriakkan: ‘’Sepakbola Yes, Politik Sepakbola No.’’
Dus, ‘’sekularisasi bola’’ adalah langkah awal membangun ekosistem yang bisa melahirkan industri bola kita. Melalui ekosistem baru industri bola, maka nilai-nilai, syariat, dan prestasi dalam industri itu akan melahirkan prestasi kolektif yang bisa gemilang. Juga bisa melahirkan para pemain bola andalan.
Masak kita tidak bisa?