Sekum Muhammadiyah Jadi Guru Besar, Ini Pidato Pengukuhannya
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, hari ini Rabu, 2 September 2020, dikukuhkan menjadi Gurub Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam pidato pengukuhan berjudul "Pendidikan agama Islam yang pluralistik basis nilai dan arah pembaruan", Mu'ti menyebutkan, Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman budaya, suku, dan agama.
Keragaman merupakan kekayaan dan modal sosial, politik, dan spiritual yang apabila dikelola dengan baik dapat menjadi kekuatan yang memajukan bangsa dan negara.
Sebaliknya, apabila tidak dapat dikelola dengan seksama, kemajemukan bisa menjadi sumber perpecahan dan memicu terjadinya berbagai tindak kekerasan.
Secara umum, umat beragama di Indonesia hidup berdampingan secara damai. Umat beragama bahkan dapat saling bekerja sama dalam berbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan, ekonomi, kemanusiaan, bahkan keagamaan. Hidup rukun dan damai adalah budaya yang mendarah daging bangsa Indonesia.
"Di berbagai forum internasional, Indonesia adalah champion dalam kerukunan intern dan antarumat beragama," tuturnya.
Akan tetapi, dalam satu dekade terakhir, ada gejala meningkatnya tiga bentuk intoleransi: ekonomi, budaya, dan agama. Indonesia mengalami masalah kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan sosial akibat perilaku ekonomi yang eksploitatif dan kapitalis.
Terdapat sekelompok kecil elite ekonomi yang menguasai sebagian besar aset ekonomi. Penguasaan akses informasi, media, dan jaringan kekuasaan juga menimbulkan terjadinya intoleransi budaya di mana kelompok tertentu—yang cenderung sekuler— dapat mengarusutamakan paham dan nilai budaya tertentu.
Yang mendapat sorotan tajam adalah intoleransi keagamaan. Secara umum, konflik dan kekerasan fisik antar dan intern umat relatif rendah, meskipun ada kecenderungan meningkat.
"Yang menunjukkan gejala peningkatan signifikan adalah kekerasan spiritual dalam bentuk ujaran kebencian, penyesatan paham keagamaan, dan penghinaan terdapat tokoh dan simbol-simbol keagamaan," tutur Mu'ti.
Yang juga meningkat adalah kekerasan politik bernuansa agama seperti kesulitan pendirian tempat ibadah, hambatan pelaksanaan ibadah, penyediaan lahan pemakaman, pembatasan perkawinan dan sebagainya.
Kekerasan keagamaan adalah fenomena global. Akar masalahnya sangat kompleks mulai dari masalah identitas, kesejahteraan, politik, dan teologi. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah adanya beberapa temuan penelitian bahwa intoleransi keagamaan di Indonesia sebagian disebabkan oleh faktor
pendidikan, khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI).
Penelitian PPIM (2018) menunjukkan muatan kurikulum PAI, paham Islamisme guru, materi keagamaan di internet, dan kinerja pemerintah berkontribusi terhadap sikap dan perilaku intoleran di kalangan murid.
"Tulisan ini menawarkan model PAI yang Pluralistis—selanjutnya disebut PAI Pluralistis - sebagai sebuah pembaruan sistem PAI yang diharapkan dapat membentuk murid yang berjiwa pluralis, yakni: memahami ajaran dan nilai-nilai Agama secara mendalam, taat beribadah, berakhlak mulia, dan bersikap toleran, serta menghormati, menerima, mengakomodasi, dan bekerja sama dengan pemeluk Agama dan keyakinan yang berbeda.
Murid yang berjiwa pluralis diharapkan dapat menjadi aktor dan pelopor dalam membangun kehidupan masyarakat yang rukun dan damai di tengah pluralitas budaya, suku, dan Agama berdasarkan atas nilai-nilai pluralitas dalam Agama Islam.
Basis nilai-nilai pluralitas dalam Islam terdiri atas nilai ketuhanan, kebebasan, keterbukaan, kebersamaan, dan kerja sama. Nilai ketuhanan mengandung pengertian bahwa sesuai fitrahnya, manusia adalah makhluk beragama.
Manusia sudah berikrar sejak dalam alam arwah bahwa mereka akan menyembah Allah. Manusia lahir ke dunia sebagai seorang Muslim. Meskipun banyak kritik dari para ilmuwan dan kaum Ateis, mayoritas manusia percaya kepada Tuhan dan menjadikannya sebagai landasan moral untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan.
"Sesuai nilai kebebasan, beragama adalah sukarela. Tidak ada paksaan dalam agama dan beragama. Dengan segala konsekuensinya, manusia memiliki kebebasan menentukan pilihan apakah mereka menjadi pemeluk
Agama yang teguh atau tidak beragama sekalipun.
"Konsekuensi dari nilai kebebasan adalah adanya pluralitas agama dan keberagamaan sebagai kehendak Tuhan, kata dosen UIN Syarif Hidayatullah Prof Dr Abdul Mu'ti.