Sekolah Tatap Muka, DPRD Jatim: Jangan Buru-Buru
Wacana pembelajaran tatap muka sekolah SMA/SMK di Jatim masih terus menjadi perdebatan sejumlah pihak.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur, Anwar Sadad menyampaikan, saat ini pemerintah provinsi dan pemerintah daerah harus melakukan koordinasi dengan para ahli. Apapun hasil kajian dari para ahli itulah yang harus menjadi acuan dalam pembukaan sekolah.
“Saya rasa masalah ini policy (kebijakan) yang diambil pemerintah terkait sekolah dan lainnya haruslah berdasar rekomendasi dari ahli. Dalam konteks Covid-19 ini harusnya mendengarkan pendapat dari ahli, terutama yang membidangi pandemi mulai dari dokter, saintis, pakar epidemologi karena ini bukan sakit biasa," katanya ketika ditemui di Gedung DPRD Jatim, Surabaya, Jumat 14 Agustus 2020 siang.
Saat disinggung terkait langkah Pemprov Jatim yang akan membuka sekolah bagi daerah zona orange ke bawah, Sadad enggan memberi komentar, yang pasti semua kebijakan diambil harus mempertimbangkan saran dari para ahli.
“Menurut saya itu harus melibatkan banyak pihak. Saya rasa sekolah secara daring harus diakhiri karena tidak efektifnya. Tapi harus ada alternatif. Banyak hal yang bisa diujikan, misalnya tidak bersamaan mungkin hari ini kelas satu dan kelas tiga. Saya kira itu hal-hal yang bisa dieksperimenkan dengan menjaga kapasitas sekolah tidak berjubel, dan yang tahu ahli epidemologi, pendidik, dan IDI,” kata politisi Partai Gerindra itu.
Karena itu, ia meminta, agar pemerintah tidak terburu-buru untuk segera melaksanakan pembelajaran secara tatap muka, karena jika tidak didahului dengan komunikasi dengan ahli serta uji coba maka ditakutkan akan memunculkan klaster penyebaran yang baru.
Sementara itu, Pakar Epidemologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga, Dr Windhu Purnomo menyampaikan, untuk pembukaan sekolah ini pemerintah harus betul-betul mempertimbangkan segala risiko yang ada. Sebab, menurut data yang ia miliki berdasar angka case fatality rate (angka kematian) untuk anak usia sekolah cukup tinggi yakni sebesar 2 persen.
“Distribusi umur ini paling penting, kalau kita lihat 0-9 tahun ini 2 persen. Di luar Indonesia makin kecil umur makin kecil angka kematiannya. Tapi, di Indonesia umurnya 9 tahun ke bawah justru naik dibanding atasnya 10-19 tahun (0 persen). Itu yang berbahaya. Mungkin masalah status gizi atau masalah lingkungan gak sehat. Ini yang harus diwaspadai kalau mau membuka sekolah terutama SD," katanya.
Advertisement