Sekolah Pukul 5 Pagi?
Pengantar Redaksi
Pemberlakuan jam masuk sekolah pukul 05.00 WITA ramai diprotes berbagai kalangan. Kebijakan Gubernur NTT Viktor Laiskodat itu, mendapat reaksi keras dari masyarakat. Publik menilai, aturan tersebut merugikan siswa dan orang tua.
Meskipun sebagai kepala daerah yang bertanggung jawab pada penyelenggaraan pendidikan di SMA/SMK baiknya kebijakan yang dikeluarkan harus berdasarkan kajian matang.
Belum ada kajian akademis dari kebijakan tersebut. Gubernur Laiskodat hanya menyampaikan ke kepala dinas pendidikan dan para kepala sekolah secara lisan. Kebijakan itu pun belum tersosialisasikan kepada para pemangku kepentingan pendidikan, baik tenaga kependidikan maupun para peserta didik.
Guru Besar hukum Universitas Australia, Prof Nadirsyah Hosen turut memberikan komentar atas kebijakan yang terkesan terburu-buru itu:
Di satu daerah ada kebijakan seorang gubernur yang menetapkan 2 sekolah sebagai sekolah unggulan, yang menjadwalkan siswa masuk pukul 5 pagi. Ramai sudah komentar banyak pihak yang menyesalkan kebijakan ini. Dampak terhadap proses belajar-mengajar siswa dan guru, serta sarana transportasi sepagi itu dan keamanan siswa berangkat di pagi yang masih gelap, dan efek sosialnya kepada orang tua dan guru, seolah belum dikaji lebih jauh sebelum kebijakan dikeluarkan.
Saya ingin sampaikan hal lain. Pendidikan itu seharusnya membuat siswa bahagia, bukan malah tertekan. Kalau siswa bahagia, maka dia akan senang untuk belajar. Belajar bukan lagi dianggap sebagai beban. Di negara-negara maju konsep pendidikan yang membikin siswa bahagia belajar itu diterapkan secara terukur dan berjenjang baik penyampaian materi, beban pelajaran maupun sarana dan prasarana-nya.
Misalnya, di tanah air terlalu banyak materi pelajaran yang diajarkan dan sejak SD pun materinya sudah berat. Sekarang ditambah lagi pas SMA harus masuk jam 5 pagi. Di negara maju rata-rata masuk sekolah jam 7.30 - 8.30 pagi.
Proses belajar itu juga jangan hanya fokus pada penyampaian materi, tapi yang lebih penting bagaimana siswa tumbuh rasa ingin tahunya. Nah memunculkan “curiosity” yang akan membuat siswa penasaran mencari tahu dan terus mencari tambahan info terhadap materi pelajaran. Ibarat orang jatuh cinta pada ilmu, sehingga terus kepo dan penasaran. Bukan sekadar menghafal dan menyalin pelajaran.
Selanjutnya, siswa juga harus diajarkan bagaimana cara mencari info yang benar tentang apa yang dia pelajari. Kalau masuk perpustakaan, apa yang mesti dia cari. Kalau pakai gadget, kemana dia harus mencari info yang sahih dan relevan. Ini soal manhaj keilmuan. Kita lemah soal ini.
Terakhir, ajari siswa untuk menilai info yang dia terima, baca dan dengar dengan kritis. Ini sangat berguna melatih daya analisis & aplikasi para siswa.
Jadi, kalau mau fokus pada sekolah unggulan: bikin siswa bahagia saat belajar, tumbuhkan rasa ingin tahunya, ajari cara mendapatkan info sahih dan ajak mereka berpikir kritis. Bukan soal mengubah jam sekolah jadi lebih pagi.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Advertisement