Sekolah Muhammadiyah Tampilkan Daya Tarik Tentang Keislaman
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, corak pendidikan yang dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang mengabungkan antara iman dan berkemajuan. Selain itu, juga pendidikan yang mengintegrasikan antara ilmu keagamaan dan ilmu pengetahuan.
"Di dalammnya, keberadaan pendidikan Islam modern yang dibangun oleh KH. Ahmad Dahlan adalah suatu pendidikan yang menyempurnakan atau mengkritik pendidikan tradisional yang masih banyak dianut oleh umat Islam saat itu," tutur Haedar Nashir dalam keterangan Senin, 5 Oktober 2020.
“Semua pendidikan Muhammadiyah memiliki dasar yang sama, yakni mengintegrasikan nilai-nilai dan ilmu pengetahuan keagamaan dengan ilmu pengetahuan umum, dan berbagai aspek kehidupan lainnya,” ungkapnya.
Selain itu, pendidikan Muhammadiyah juga mengintegrasikan antara sekolah, keluarga dan masyarakat konsep bisa disebut sebagai pendidikan holistik. Karena itu, sekolah-sekolah umum yang dimiliki oleh Muhammadiyah sudah seyogyanya bisa menampilkan dan mengekspresikan nilai-nilai ke-Islaman, keMuhammadiyahan, dan ilmu pengetahuan umum yang bisa menjadi bekal bagi generasi bangsa.
Baginya sekolah Muhammadiyah harus bisa menampilkan daya tarik tentang ke-Islaman, keMuhammadiyahan dan ilmu pengetahuan umum yang bisa memberi nilai lebih bagi siapa pun yang belajar di sekolah Muhammadiyah.
Menuju itu, Haedar menyarankan supaya ada usaha yang lebih kualitatif termasuk dalam pendidikan Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK).
“Mungkin tidak perlu sangat kuantitatif, tetapi membekas dalam jiwa subyek didik. Mungkin akan sulit menghadrikan anak-anak yang tahfidzul qur’an , tetapi didiklah mereka menjadi orang-orang yang cinta Al Qur’an, tetapi jiwanya jiwa Qur’ani,” tuturnya.
Karena ciri ajaran KH. Ahmad Dahlan dan orang Muhammadiyah bukan hanya soal hafal Al-Quran, tetapi paham dan mengamalkan Al-Quran. Ini menjadi pesan spesial KH Ahmad Dahlan, sebagai Muslim harus mampu memahami dan mengamalkan Al-Quran dalam realitas sosial. Namun tetap harus menghargai semangat Tahfidul Qur’an yang terjadi, sebagai wujud ar ruju’ ila qur’an wa sunnah. Tetapi porsinya tetap sebagaiamana mestinya.
“Jangan sampai hafal untuk hafal, tetapi melupakan pemahaman dan pengamalan Al Qur’an,” Imbuhnya.
Sementara, dalam konteks ke-Indonesiaan, Haedar menyebut etos keilmuan di Indonesia masih rendah. Dengan sistem yang lemah, pendidikan Indonesia sampai sejauh ini dalam kacamatanya masih tertinggal dari Negara tetangga. Bahkan, yang sangat disayangkan saat ini Indonesia meloncat menjadikan pendidikan seperti pabrik atau multinasional korporasi.
“Lupa bahwa pendidikan Indonesia dasarnya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, mecerdaskan akal budi, mendidik agar akal budi luhur, pikirannya cerdas, dan baru berkeahlian. Kalau hanya keahlian, pendidikan tidak lebih dari pabrik,” tegasnya
Advertisement