Sekneg Lepas Kerja Sama, Temu Akbar III MBI Tetap Digelar
Meski tidak mendapat dukungan kerja sama dari Sekneg, penyeenggaraan Temu Akbar III Mufakat Budaya Indonesia (MBI) tetap berlangsung di Hotel Redtop, bilangan Gambir Jakarta, 23 - 25 November 2018. Sekitar 250 peserta, dari pelbagai kalangan, mulai dari intelektual, seniman, sastrawan, penulis hingga akademisi di Indonesia berkumpul untuk membahas pelbagai problematika yang dihadapi Indonesia dan merumuskan ancangan strategi bagi perbaikan kehidupan kebangsaan dan kemasyarakat negeri ini.
"MBI adalah sebuah forum pertemuan gagasan terbuka bagi para pemikir terkemuka Indonesia, baik dari latar belakang akademik, artistik, religius, tradisi, pemerintahan dan lainnya," kata Radhar Panca Dahana, koordinator MBI, saat mengawali sidang pertama dipimpin Teuku Kemal Fasya dari Aceh.
Memang, MBI berawal dari inisiatif Radhar Panca Dahana, yang kemudian menjadi koordinatornya, mengakomodir kegelisahan teman-temannya, para aktivis seni dan budaya, pada situasi negeri.
"Namun, entah dapat angin dingin dari mana, sekitar dua minggu lalu, ketika diskusi-diskusi publik berlangsung hangat dan disambut antusiasme publik yang datang melebih kapasitas kursi, datang pemberitahuan dari Sekneg: pihak Istana membatalkan kerjasama, karena tidak ada uang untuk itu," kata Radhar Panca Dahana.
Sebelumnya, kegiatan ini sempat menuai kritik karena dianggap mengurangi anggaran negara. Sehingga, ada beberapa kendala dihadapi forum yang telah tergelar untuk kali ketiga ini.
"Namun, entah dapat angin dingin dari mana, sekitar dua minggu lalu, ketika diskusi-diskusi publik berlangsung hangat dan disambut antusiasme publik yang datang melebih kapasitas kursi, datang pemberitahuan dari Sekneg: pihak Istana membatalkan kerjasama, karena tidak ada uang untuk itu," kata Radhar, yang lebih dikenal sebagai penyair dan penulis naskah drama ini.
"Saya tidak ingin berspekulasi atau su’udzon (berpikir negatif), namun menenteramkan hati agar ikhlas. Pemerintah dan Presiden boleh mundur dari kerjasama dan janjinya, tapi saya dan MBI tidak. Tidak bisa dan tidak mampu. Rencana ini sudah dirancang jauh sebelum 6 bulan lalu saya bertemu Presiden, dan kabar acaranya sudah begitu luas beredar di masyarakat, sementara ratusan tokoh utama republik ini sudah menyatakan kesediaannya untuk serta. Kami harus jalan terus, termasuk mengambil risikonya. Termasuk semua urusan kebutuhan penyelenggaraan, dana antara lain, yang sampai surat ini ditulis masih merupakan swadaya pribadi. Ini boleh jadi salah satu alasan 'kuota sangat terbatas' di atas," tegasnya pada ngopibareng.id, Sabtu 24 November 2018.
Panitia MBI tidak segera memberitahukan “pembatalan” tersebut pada peserta. Karena, ingin memperjuangkan nasib acara ini hingga di titik akhir.
"Titik dimana kami akhirnya tahu, perjuangan kebudayaan pada akhirnya (juga sejak awalnya) adalah perjuangan yang harus dilakukan “sendiri”(an), independen, tanpa ketergantungan atau acuan atau tautan pada pihak lain. Tidak swasta, tidak elit, tidak elemen-elemen masyarakat, tidak juga pemerintah yang notabene “hanya” satu dari sekian banyak pemangku kepentingan negeri atau bangsa ini.
"Bila pemerintah tampak begitu kuat, seksi, dan sering menampilkan diri sebagai “the sole problem solver” bagi negara dan bangsa ini, sungguh sebaiknya kebudayaan (dan pekerjanya) tidak tergiur untuk mendekat dan untuk pada akhirnya terjebak dalam pola relasi kuasa yang penuh dominasi. Masih banyak pemangku kepentingan negara yang harus diajak bekerjasama dengan para aktivis atau produsen kebudayaan di negeri ini. Itulah alasan utama, mengapa tokoh dari pelbagai kalangan, tak hanya cendekiawan, budayawan dan agamawan terhormat, tapi juga tetua adat, pebisnis, ilmuwan, politisi, pejabat daerah, hingga kaum milenial berkumpul di acara ini dan bekerjasama secara independen tanpa pengaruh govermental, intelijen atau kepentingan-kepentingan tendensius, baik dari dalam negeri maupun asing.
"Itulah pula alasan mengapa pembicara kunci (keynote speaker), yang pada awalnya, diberi ruang dalam acara ini (Bapak Joko Widodo, Bapak Jusuf Kalla, dan Sri Sultan Hamengku Buwana X), seperti saya jelaskan pada Presiden, bukan dalam posisinya sebagai petinggi eksekutif/pemerintah namun dalam posisi sebagai pemikir/intelektual –sama dengan peserta yang lain—hanya kebetulan memiliki pengalaman “lebih” dalam urusan kenegaraan. Presiden berposisi sebagai kepala eksekutif dilaksanakan saat ia menjamu peserta di Istana Bogor, sebagaimana rencana awal dan kesepakatan dengan beliau, semata untuk menegaskan komitmen pemerintah sebagai pemangku kepentingan pertama (juga utama) untuk melaksanakan apa yang telah dimufakatkan oleh Temu Akbar, dengan antara lain mengundang semua Kepala Lembaga (KL) untuk mendapat instruksi atau disposisi dari Kepala Eksekutif untuk implementasi dan diseminasi di bidang/lembaganya masing-masing.
"Saya sangat gembira dengan animo yang sangat besar dari para Sahabat, termasuk lebih dari 60 orang yang mohon maklum dan maaf tidak bisa terlibat karena sudah terikat dengan acara lain yang tak mungkin dihindarkan. Belum lagi anak-anak muda (20 tahun hingga 40 tahunan) yang penuh semangat berduyun mendaftarkan diri untuk diseleksi supaya menjadi peserta. Namun alangkah menyesalnya, karena kuota yang sangat terbatas, terpaksa hanya beberapa yang dapat disertakan.
“Kuota sangat terbatas” di atas boleh jadi adalah akibat perkembangan tak dinyana pada hari-hari akhir persiapan acara akbar ini.
"Sebagai latar belakang, bila boleh saya kabarkan, acara ini mulanya murni adalah gagasan dari MBI, sebagaimana dua Temu Akbar sebelumnya. Sampai satu ketika, saya yang mengajak dua puluhan aktivis MBI lainnya bertemu Presiden RI (April 2018) di halaman belakang Istana Merdeka, berkesempatan melontarkan gagasan Temu Akbar ini pada Presiden.
"Belum lengkap saya menjelaskan, Presiden nampaknya cepat menangkap inti dan ruh gagasan acara akbar ini dan dengan spontan mendukung penuh penyelenggaraannya. Bahkan beliau meminta waktu penyelenggaraan dipercepat (dari rencana Oktober) dan dilaksanakan di Istana Bogor, dengan biaya sepenuhnya dibantu kantor beliau, namun berkomitmen tidak mengganggu seinci pun materi serta proses pembahasan Temu Akbar kita.
"Tentu saya menyambut dengan baik. Bahkan berhasil mendapat janjinya untuk mengundang seluruh KL (kepala lembaga pemerintahan/negara) pada penutupan untuk mendapatkan instruksi langsung darinya dalam mengimplementasikan hasil-hasil dari Temu Akbar. Semua respon dukungan hingga janji implementasi yang diungkapkan tegas dan jelas di depan para menteri, staf khusus, ajudan, aspri dan tentu para budayawan, tentu saja mengisyaratkan masa tumbuh yang baik bagi kebudayaan di masa mendatang.
"Semangat para pekerja MBI meningkat luar biasa. Apalagi beberapa pertemuan menyusul dengan Mensesneg, staf khusus dan staf lainnya dengan MBI. Walau akhirnya waktu telat, kami sepakat pada tanggal pelaksanaan pada akhirnya juga kegiatan tambahan (berupa diskusi publik bekerjasama dengan lima lembaga publik terkemuka: Kompas, Media Indonesia-Metro TV, Gatra, Universitas Indonesia dan Universitas Islam Negeri Jakarta) sesuai usulan salah satu staf khusus."
Dengan latar di atas, dapat ditegaskan di sini, Temu Akbar MBI III sama sekali tidak ada urusannya, terlebih bertendensi mengambil profit –dalam bentuk apa pun—dari kekuasaan politik. Apalagi menciptakan tandingan bagi program kebudayaan yang dibuat pemerintah. Penyelenggaraan ini sejak yang pertama, murni adalah gagasan dan inisiatif swasta/publik yang didedikasikan seluruh dan sesungguhnya pada kepentingan negara, dan bangsa.
"Maka tegaklah kepala Temu Akbar ini, juga kepala para Sahabat mulia yang menjadi peserta untuk tetap bekerja keras, berpikir sekuatnya dan menelurkan gagasan dan memufakatkan ide-ide yang akan menjadi legacy (warisan) paling utama generasi kita pada generasi berikutnya, ketika kita telah gegabah, sadar atau tidak, pintar atau bodoh, menguras habis sumber daya alam negeri ini, meninggalkan restan yang hanya menjadi bencana bagi anak cucu kita.
Indonesia pada akhirnya nanti akan membuktikan kalau masa depan yang penuh ketidakterdugaan bisa diselesaikan dengan cara yang paling pasifis, damai, penuh cinta dan artistik, yakni: kebudayaan. Bukan dengan cara-cara konservatif tingkat global saat ini: ekonomi, politik, hukum dan militer yang ternyata kian menambah runyam keadaan di semua sudut bumi yang disentuhnya.
"Inilah urgensi sekaligus argumentasi idealistik mengapa TA-MBI III ini perlu dilaksanakan di saat ini, untuk realitas pragmatis kita yang diharu biru oleh kekacauan akal dan spiritual yang mengancam soliditas sosial dan koherensi nasional, baik sebagai bangsa maupun negara," tutur Radhar Panca Dahana.
Dan kebudayaan yang menjadi pokok dalam acara ini adalah kebudayaan yang esensial, bukan yang sensasional atau yang preferensial (personal). Bukan kebudayaan “jejadian”, formal, melulu akademis (rasional-kognitif) apalagi sekadar govermental. Tapi kebudayaan yang hidup dan dihidupi (juga) oleh ruh dan imajinasi serta spritualitas dari pemiliknya: bangsa dan rakyat yang menjadi konstituennya.
Maka, yang harus terjadi, terjadilah. Kita berharap, pertemuan akbar kita ini menjadi energi kolektif yang positif dan konstruktif, karena dilambari oleh niat yang lurus, kerja yang bagus dan batin yang tulus. Kita sama percaya, Dia yang Maha Memahami, akan berpihak pada makhluknya yang sungguh-sungguh dalam berupaya dan ikhlas pada (apa pun) hasil akhirnya.
"Kepada negara kita mengabdi, pada negeri kita memberi. Bukan pada siapa lagi. Saya, juga mewakili semua teman pekerja, para Sahabat yang mendukung (juga sejak awal) menyampaikan penghargaan setingginya dan terima kasih sedalamnya untuk kesungguhan dan ketulusan Sahabat (peserta) yang mulia," kata Radhar Panca Dahana. (adi)
Advertisement