Sekitar 3.000 Pendeta Prancis Lakukan Pelecehan pada 200.000 Anak
Hari ini, Selasa 5 Oktober, hasil penyelidikan komisi independen yang dibentuk oleh Gereja Katolik Prancis mengumumkan temuan yang mengejutkan. Yaitu terdapat sekitar 216.000 anak-anak yang diperkirakan telah dilecehkan secara seksual oleh para imam Katolik Prancis sejak 1950.
Jean-Marc Sauve, ketua komisi yang menyusun laporan penyelidikan tersebut mengatakan, pelecehan di Prancis adalah sistemik dan telah dilakukan oleh sekitar 3.000 imam dan pejabat gereja lainnya.
Rincian yang dipublikasikan pada hari Selasa adalah yang terbaru, setelah serangkaian skandal pelecehan seksual di seluruh dunia, yang sering melibatkan anak-anak, selama 20 tahun terakhir.
Berbicara di depan publik dengan presentasi online, Jean-Marc Suave menambahkan, “Gereja telah menunjukkan ketidakpedulian yang dalam, total dan bahkan kejam selama bertahun-tahun, melindungi dirinya sendiri daripada para korban,” katanya.
“Gereja tidak hanya gagal untuk mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan, tetapi juga menutup mata terhadap pelecehan dan kadang-kadang secara sadar menempatkan anak-anak berhubungan dengan pemangsa. Konsekuensinya sangat serius,” kata Jean-Marc Sauve. “Sekitar 60 persen pria dan wanita yang mengalami pelecehan seksual menghadapi masalah besar dalam kehidupan sentimental atau seksual mereka.”
“Anda adalah aib bagi kemanusiaan kami,” kata Francois Devaux, yang mendirikan asosiasi korban La Parole Liberee, yang artinya Firman yang Dibebaskan. Dia mengatakan kepada perwakilan gereja yang juga hadir pada presentasi secara daring tersebut.
“Di neraka ini, ada kejahatan massal yang keji. Tetapi ada yang lebih buruk lagi, pengkhianatan kepercayaan, pengkhianatan moral, pengkhianatan terhadap anak-anak,” kata Francois Devaux.
Christopher Lamb, koresponden Vatikan untuk The Tablet, sebuah publikasi yang berfokus pada Gereja Katolik, mengatakan bahwa dampak langsungnya akan membuat Gereja dipermalukan dan para penyintas menderita "rasa sakit yang luar biasa".
“Hanya ketika Gereja mulai menghadapi kebenaran tentang apa yang terjadi di masa lalu, barulah ada penyembuhan. Apa yang sayangnya memicu krisis penyalahgunaan ini, dan kesalahan penanganannya, adalah gagasan bahwa otoritas entah bagaimana, tidak dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu, terjadi penyalahgunaan kekuasaan,” katanya kepada Al Jazeera. “.
Dokumen setebal 2.500 halaman yang disusun oleh komisi independen yang diketuai Jean-Marc Sauve itu muncul saat Gereja Katolik di Prancis, seperti di negara-negara lain, menghadapi rahasia memalukan yang telah lama ditutup-tutupi.
Berbicara setelah Sauve pada presentasi hari ini, Uskup Agung Reims dan kepala Konferensi Waligereja Prancis, Eric de Moulins-Beaufort, meminta maaf dan berjanji untuk bertindak.
Komisi independen yang mengungkap kasus tersebut dibentuk oleh para uskup Katolik di Prancis pada akhir 2018, untuk mengungkap informasi tentang adanya pelecehan dan memulihkan kepercayaan publik terhadap Gereja pada saat jumlah jemaat berkurang.
Komisi ini bekerja secara independen dari gereja ke gereja selama dua setengah tahun, mendengarkan para korban dan saksi, serta mempelajari arsip gereja, pengadilan, polisi dan pers sejak tahun 1950-an.
Menurut Jean-Marc Sauve, komisi itu sendiri telah mengidentifikasi sekitar 2.700 korban melalui panggilan untuk kesaksian, dan ribuan lainnya yang telah ditemukan di arsip.
Jean-Marc Sauve mengatakan, ada 22 dugaan kejahatan yang sekarang ini masih bisa dikejar dan bisa diteruskan ke kejaksaan untuk diadili. Ada lebih dari 40 kasus yang dianggap terlalu lama untuk dituntut di bawah hukum Prancis, tetapi melibatkan pelaku yang diduga masih hidup. Informasi-informasi ini kata Jean-Marc Sauve, telah diteruskan ke pejabat gereja.
Komisi mengeluarkan 45 rekomendasi tentang bagaimana mencegah penyalahgunaan. Ini termasuk melatih para imam dan pimpinan gereja lainnya, merevisi Hukum Kanon, kode hukum yang digunakan Vatikan untuk mengatur gereja, dan mendorong kebijakan untuk mengakui dan memberi kompensasi kepada para korban, kata Jean-Marc Sauve mengakhiri presentasinya. (*)