Sekeping Surga Bernama Merauke, Tanah Toleransi dan Persaudaraan
Tanah Papua, Tanah Papua, tanah yang kaya, surga kecil jatuh ke bumi, seluas tanah sebanyak madu, adalah harta harapan.
Sepenggal lirik lagu berjudul Aku Papua karya Franky Sahilatua, bukan sekadar majas dan pengandaian berlebihan. Serpihan surga itu terasa ketika kaki menginjak di bumi Merauke, wilayah berjuluk Papua Tanah Damai.
Merauke, Papua Tanah Damai
Memang, di sudut-sudut kota, nampak tentara menyandang senjata, berjaga. Rasanya resah dan khawatir melihat pemandangan itu. Juga mengingat kabar tentang kebrutalan kelompok kekerasan bersenjata (KKB) dan kerusuhan antar etnis, sering terdengar meletus di Papua.
Namun, beberapa lama berada di Merauke, Papua Tanah Damai itu semakin terasa benar adanya. Semua rasa resah dan takut, terpatahkan ketika berada di provinsi paling timur Indonesia ini.
Di masa lalu, Merauke adalah sasaran program transmigrasi. Orde Baru mengirim banyak petani dari Jawa dan pulau lain, untuk membuka hutan, membuat sawah, dan bertanam padi di antara penduduk asli penyuka sagu.
Meski program itu cukup kontroversial, kehadiran peserta transmigasi diterima dengan tangan terbuka dan penuh persahabatan oleh warga Suku Marind, suku asli Merauke. Tak ada pertumpahan darah dan kebencian yang datang dari penduduk Merauke.
Persaudaraan dari Suku Marind
Kini, kondisi yang sama bisa dirasakan di Merauke. Jika berputar-putar di kota yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini ini, terlihat toleransi yang tinggi antara penduduk di dalamnya.
Mayoritas transmigran yang tinggal di wilayah kota merasakan persaudaraan dan penerimaan yang besar dari penduduk Suku Marind. Bahkan, beberapa orang Merauke, juga bisa berbahasa Jawa.
Dani, perantau dari Sulawesi Selatan mengaku, sudah 15 tahun berada di Merauke. Kota ini, juga mempertemukannya dengan istrinya, orang Trenggalek, anak dari transmigran.
Selama 15 tahun hidup di Papua, Dani mengaku sangat betah tinggal di Merauke. Bahkan selama 15 tahun, ia tidak pernah pulang kampung halamannya, Maros, di Sulawesi Selatan. Toleransi yang tinggi dari warga Papua, membuatnya tak ingin pulang ke tanah kelahirannya.
“Di sini saya bilang paling aman dibanding daerah lain di Papua. Saya 15 tahun di sini tidak pernah ada kejadian apapun. Malah sekarang saya punya rumah dan pekerjaan di sini,” ungkap Dani. Sehari-hari ia mengais rizki di Merauke, dengan menjual air tangki.
Dani menilai, warga asli Suku Marind adalah orang yang ramah. Pengalaman Ngopibareng.id yang berada di Papua bersama kontingen PON Jatim, mereka akan tersenyum bahkan melambaikan tangan ketika berpapasan di jalan. Ketika disapa, senyuman tak pernah lepas dari wajah mereka, sambil membalas sapaan.
Jika sudah kenal, Suku Marind, kata Dani, akan saling menjaga, layaknya saudara seibu. “Memang orang-orang Suku Marind toleransinya sangat tinggi. Ketika kami ada Idul Fitri mereka jaga kita, ketika mereka ada kegiatan keagamaan kami bantu jaga. Terus kalau sudah kenal, meski orang minum (mabuk) mereka pasti jaga kami. Jadi kami betah di sini karena toleransi tinggi,” ungkap Dani.
Bukan hanya Dani yang terkesan dengan keraman suku asli Papua. Adi, anak dari pasangan transmigran asal Banyuwangi dan Grobogan, tak pernah merasakan konflik sejak ia lahir di Merauke, hingga saat ini.
“Di sini paling damai Mas, nek misale sampai Merauke bergejolak, berarti wes parah Mas,” aku Adi dengan berbahasa Jawa.
Ia pun tak pernah berpikir meninggalkan Merauke, untuk pulang ke Banyuwangi, tanah kelahiran ayahnya. “Wes nyaman nang kene Mas (sudah nyaman di sini mas),” ujarnya.
Indahnya Papua
Tak hanya damai, Papua dan Merauke memang salah satu surga di bumi yang memiliki sejuta keindahan panoramanya. Merauke memang tak seperti wilayah Jayapura, Mimika, atau Wamena. Kota besar yang nyaris tak menyisakan pesona gunung dan lembah.
Namun, Merauke menyimpan pantai-pantai indah, seperti Pantai Buti, Pantai Lampu Satu, Pantai Onggaya, lalu Musamus tempat wisata rumah semut yang tingginya bisa hampir 2 meter.
Kemudian, ada pula Sota, salah satu distrik di Merauke yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Jaraknya sekitar 70 kilometer saja dari Kota Merauke, atau sekitar 1-2 jam perjalanan saja.
Selama perjalanan, kita akan disuguhi pemandangan hutan belantara dan rumah-rumah semut yang sangat indah di kanan pun kiri jalan. Ada pula Taman Nasional Wasur, rumah dari satwa endemik khas Papua, Burung Cendrawasih. Di sana, ada tempat nongkrong di atas rawa-rawa yang sering digunakan untuk sekadar istirahat atau juga memancing.
Usai melewati pemandangan alam yang membuat takjub, kita akan sampai di Tugu Titik Nol Sabang-Merauke. Dulu, titik yang dipopulerkan lewat lagu berjudul Dari Sabang Sampai Merauke ini, jadi spot wisata populer.
Namun kini ada Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Sota tepat di titik perbatasan negara yang memiliki pos beberapa ikon. Pos ini jadi spot yang lebih populer. Pengunjung bisa berfoto di tugu 0 Kilometer Sabang-Merauke, sekaligus bertemu dengan patung Presiden Pertama Indonesia, Ir Soekarno.
Advertisement