Sekejam-kejamnya Ibu Tiri
Sekejam-kejamnya Ibu Tiri
Kali ini emak-emak elit mojok di salah satu warung kopi franchise Amerika yang ada di tikungan Jl. Biliton-Jl. Sulawesi. Ini emak-emak karir yang bekerja utk mencari segenggam berlian, karena piring nasinya sudah dipenuhi suami-suami atau ayah-ayah mereka. Anak-anak mereka kebanyakan masih balita atau di bawah 10 tahun.
Merry, yang ibunya adalah ibu tiri dari anak bawaan papi tirinya, memulai percakapan sambil menunggu pesanan.
“Mamiku itu baik banget lo. Adik tiriku itu, bukan anak kandungnya lo ya, minta apa saja dituruti. Kuliah pindah-pindah, dari UK Petra ke Ubaya, terakhir ini mau pindah Ciputra.”
“Wow, mahal banget ongkosnya, Mer. Kampus top semua itu,” tukas Indah.
“Iya, sama mamiku dibayarin aja. Aku baru pindah sekali aja ngomelnya sampai bertahun-tahun.”
“Emangnya kamu pindah kuliah dari mana kemana?”
“Dari NSU ke ANU.” Merry berkata kalem sambil menggigit croissant butter.
“Hah?! Dari Singapura ke Aussie? Pantes emak lo manyun sampai sekarang,” kata Indah.
Sementara itu, Dewi dan Susan mengomentari cinnamon roll terenak di Surabaya yang ada di gerai ini. Dewi yang berkulit hitam manis dan berjilbab kelihatan agak kontras dengan Susan yang berambut model bob dan berwajah nonik-nonik.
Apa yang menyatukan keempat perempuan smart and cool ini, padahal mereka kelihatan sangat berbeda? Oh, mereka sama-sama bekerja di sebuah bank ternama. Habis gajian, mereka menghibur diri sendiri dengan makan enak dan ngobrol bebas. Tentu, sudah minta izin suami masing-masing, atau orangtua (dalam kasus Merry), mereka akan pulang agak terlambat sore ini. Mungkin bakda Magrib, sambil menghindari jam macet.
“Tapi Merry, mamimu tuh mami tiri teladan ya. Jarang lo ibu tiri baik begitu. Hampir semua ibu tiri kayaknya jahat …,” Susan menyambung, setelah menyeruput kopi Americanonya.
“Sekejam-kejamnya ibu tiri kayaknya gak ada yang ngalahin kejamnya ibu kosku deh, guys ..” kata Merry. Lalu dia mengisahkan betapa judesnya nyonyah India di Singapura, ibu kosnya, yang menjadi salah satu faktor dia pindah dari Singapura. Eh, di Sidney, dia indekos di keluarga Indonesia kenalan papinya, judes juga. Akhirnya orangtuanya membelikannya apartemen. High cost, kan?
Sambil menyendok avogatto –es krim vanilla disiram expresso yg pahit- Dewi menimpali: “Tapi yang paling kejam tuh ibukota. Aku dua tahun di Jakarta waktu ambil MBA, aku bilang “Enough!”. Transportasinya payah, makanan gak ada yang enak, tarip kamar kos selangit dengan fasilitas sering gagal fungsi. Wis, pokoke gak koyok nang Suroboyo yoo. Makanan terlezat di dunia nih, ada di sini.”
“Eh, ngomong-ngomong apa pendapat kalian dengan ibukota negara yang baru?” tanya Indah.
“Males ah, ngomongin politik. Kepalaku masih dipenuhi angka-angka rupiah dan dollar, mau kuambyarkan dulu …” ujar Merry yang kemudian menyeruput iced-moccachinonya.
“Aku sih membayangkan ibukota Indonesia di Penajam, Kaltim Utara, itu kayak kalau di Malaysia ibukotanya di Kuching,” kata Indah. Teman-temannya tertawa sampai tersedak.
“Awakmu isok ae Ndah … Iku lak nyebrang lautan …”
“Lha iya, ke Kaltim Utara kan juga nyebrang lautan? Jakarta memang juga nyebrang lautan, tapi kan aksesnya mudah terjangkau,” jawab Indah.
“Kalau aku mbayangkannya ibukota Amerika Serikat ada di Hawaii atau Alaska,” Merry mulai mbanyol.
Mereka berempat terawa-tawa, menertawakan rencana IKN pindah ke Penajam. Wacana itu tak masuk akal dan logika keempat emak smart and cool ini. Meski tak banyak mengikuti perdebatan di medsos, mereka gak ketinggalan wawasan.
“Lha iyo to, kalau mau pindah dari Jakarta kan banyak tempat lain. Serang, Sukabumi, Salatiga, Bandar Lampung, Sampit, Kendari, Makasar, yang semuanya terjangkau dari segala penjuru. Kalau di Penajam, yang paling mudah menjangkau ya Kapal Perang Asing.”
“Iya, aku pernah baca, cuma dua jam dari pelabuhan ke Penajam, dan cuma beberapa jam dari Laut Tiongkok Selatan. Di sana gak ada pangkalan militer pula. Mending di Singkawang, di Kalbar ada pangkalan militer ya kalau gak salah.”
Keempat perempuan itu kemudian menuntaskan kudapannya, butter croissant, cinnamon roll, cakalang pie, creamcheese bagel. Mereka mengunyah-ngunyah penganan enak dan mahal itu sambil mendorongnya dengan aneka minuman yang tak kalah mahal. Pendeknya, empat perempuan itu dalam satu sore bisa menghabiskan setengah juta rupiah. Itu bisa uang belanja dua minggu bagi emak-emak di kampung Dinoyo atau Lakarsantri.
Meski membahas IKN secara sambil lalu dan tidak serius, pemikiran para perempuan banker ini mungkin mewakili banyak perempuan pintar yang diam, the silent smart ladies. What is the urgency kepindahan IKN? Intinya kan itu? Kalau maksa pindah juga, kenapa di Penajam? Ibarat AS, ibukotanya di Hawaii atau Alaska. Bener-bener bikin ketawa.
Sirikit Syah, 23 Januari 2022