Sejarah NU dan Al-Azhar, Terjalin Jauh Sebelum Indonesia Merdeka
Duta Besar Mesir untuk Indonesia Ashraf Sulthan mengakui bahwa sebagai gerakan Islam yang mempunyai visi moderat, NU selalu berhubungan baik dengan Mesir.
Tradisi keilmuan yang dalam juga sama dengan Al-Azhar. Atas dasar kesamaan itu, NU sebagai tandemnya Al-Azhar dalam visi penyemaian Islam moderat.
Pengakuan tersebut diungkapkan saat ia berkunjung ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, pada Selasa 11 Februari 2020.
Berikut catatan penting dari pertemuan tersebut, ditulis A. Ginanjar Sya'ban, alumni Al-Azhar:
Pada Selasa siang, 11 Februari 2020, (berkesempatan) tabarrukan mengawal kunjungan Duta Besar Mesir untuk Indonesia yang baru (YM Asyraf Sulthan) ke PBNU. Kunjungan ini diterima langsung oleh Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj dengan penuh kehangatan dan keakraban.
Antara NU di Indonesia dan Al-Azhar di Mesir banyak dipertemukan bukan hanya oleh kesamaan manhaj berislam yang "tawassuth, tawazun, tasmuh dan i'tidal", kesamaan ideologi Aswaja yang dalam akidah menginduk kepada Imam al-Asy'ari dan al-Maturidi, dalam fikih kepada Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali), dalam tasawuf kepada Imam Ghazzali dan ulama sufi agung lainnya.
Tetapi juga lebih jauh dari itu; antara NU dan al-Azhar Mesir sama-sama dipertalikan oleh hubungan sanad keilmuan dan jaringan intelektual yang kuat dan kokoh.
Hubungan sanad keilmuan antara NU dan al-Azhar Mesir ini bahkan sejatinya sudah terjalin jauh sebelum Indoesia merdeka.
Salah satu pendiri NU pada 31 Januari 1926 adalah seorang ulama al-Azhar Mesir yang bermukim di Surabaya, yaitu Syaikh Ahmad Ghanayim al-Amir al-Mishri. Nama beliau juga tercatat sebagai mustasyar HBNO (Hoof Bestuur Nahdlatoel Oelama atau Pengurus Besar NU) sepanjang tahun 1926 sampai 1928.
Syaikh Ahmad Ghanayim al-Amir al-Mishri juga menjadi delegasi Komite Hijaz NU pada tahun 1928 bersama-sama KH. Abdul Wahhab Hasbullah pergi ke Makkah dan bertemu dengan Raja Abdu Aziz Saudi. Dalam pertemuan itu, delegasi Komite Hijaz NU berhasil mendesak Raja Abdul Aziz Saudi untuk mempertahankan diberlakukannya ajaran dan praktik madzhab empat fikih (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) di Makkah, selain mendesak agar wakaf-wakaf bangunan bersejarah Islam di Haramayn (Makkah dan Madinah) tidak dirusak atau dihancurkan.
Ulama al-Azhar Mesir lainnya yang memiliki pertalian hubungan dengan NU adalah Syaikh Muhammad b. Sulaiman Hasbullah al-Mishri, yang terkenal sebagai salah satu pemuka ulama madzhab Syafi'i di Makkah. Beliau adalah guru langsung dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari dan ulama-ulama pendiri NU lainnya (semisal KH. Maksum Lasem, KH. Asnawi Kudus dll) ketika masa pemukiman mereka di Makkah pada peralihan abad 19 M dan 20 M.
Salah satu guru utama tasawuf Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari di Makkah adalah Syaikh Abdul Syakur Surabaya. Beliau adalah menantu dari Syaikh Muhammad Syatha al-Dimyathi, seorang ulama al-Azhar Mesir yang kemudian bermukim di Makkah, sekaigus ayah dari Syaikh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi (w. 1890) sang pengarang kitab "Hasyiah I'anah al-Thalibin 'ala Fath al-Mu'in". Sosok Syaikh Abu Bakar Syatha al-Dimyathi ini juga adalah guru dari KH. Maksum Lasem, seorang pendiri NU lainnya.
Jauh ditarik ke belakang, Syaikh Nawawi Banten (w. 1897) yang menjadi guru dari para pendiri dan kiyai-kiyai NU adalah murid dekat Grand Syaikh al-Azhar ke-19, yaitu Syaikh Ibrahim al-Baijuri (w. 1860). Keduanya sama-sama mengarang "hasyiah" atas kitab "Fath al-Qarib". Syaikh Ibrahim al-Baijuri menulis "Hasyiah al-Baijuri", sementara Syaikh Nawawi Banten menulis "Tausyikh 'ala Fath al-Qarib".
Lebih jauh ke masa sebelumnya lagi, Grand Syaikh al-Azhar ke-12, yaitu Syaikh Abdullah al-Syarqawi adalah guru utama dari Syaikh Abdul Shamad Palembang, Syaikh Arsyad Banjar, dan ulama Nusantara lainnya yang hidup di abad ke-18 M. Syaikh Abdullah al-Syarqawi menulis "Hasyiah al-Syaqawi 'ala Syarh (al-Hudhudi 'ala) Umm al-Barahin", sementara Syaikh Nawawi Banten menulis "Dzari'ah al-Yaqin fi Syarh Umm al-Barahin".
Hingga saat ini, kitab-kitab karangan ulama al-Azhar Mesir masih dipelajari dan diajarkan di pesantren-pesantren NU di Nusantara. Pun demikian halnya, beberapa kitab karya ulama NU hingga saat ini juga dikaji di al-Azhar, semisal kitab "Siraj al-Thalibin 'ala Minhaj al-'Abidin" karya KH. Ihsan Dahlan Jampes Kediri (kakak dari KH. Marzuqi Dahlan Lirboyo Kediri), kitab "Faidh al-Barakat fi Sab'i al-Qira'at" karya KH. Arwani Amin Kudus.
Belakangan, seorang ulama al-Azhar yang masih hidup, yaitu Syaikh Musthafa Ridha al-Azhari, menulis sebuah syarah atas kitab karya Syaikh Nawawi Banten. Syarah tersebut berjudul "Kasyf al-Ghuyum fi Syarh Mabadi al-'Ulum". Ketua Umum PBNU Prof. KH. Said Aqil Siradj sendiri masih tercatat sebagai murid dari Prof. Dr. Hamdi Zaqzouq; ulama al-Azhar, guru besar filsafat, sekaligus mantan menteri wakaf Mesir.
Ketika beberapa ulama besar al-Azhar Mesir (seperti Syaikh Yusri Jabr al-Hasani, Syaikh Usamah Sayyid al-Azhari) datang ke Indonesia untuk menemui ulama-ulama sepuh guna menyambung sanad keilmuan dan meminta ijazah ilmiyah, maka yang ditemui oleh ulama-ulama al-Azhar itu di antaranya adalah KH. Maimoen Zubair Rembang (alm), Habib Luthfi b. Yahya Pekalongan, KH. Ali Mas'adi Mojokerto (beliau menjadi sekretaris pribadi Syaikh Yasin Padang Makkah selama kurang lebih 13 tahun).
Semoga Allah SWT senantiasa menjaga NU dan al-Azhar, serta terus memberikannya berkah kemanfaatan untuk semesta alam.
Jakarta, Jumadil Akhir 1441 H
Alfaqir A. Ginanjar Sya'ban
Advertisement