Sejarah Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria: Gereja Katolik Tertua, Saksi Bisu Pertempuran Surabaya
Sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia, Surabaya terkenal sebagai daerah melting pot atau tempat berkumpulnya orang dari berbagai latar belakang. Tak terkecuali, masyarakat Katolik yang telah menjadi penghuni Kota Pahlawan sejak kolonial Hindia-Belanda bercokol di tanah air.
Salah satu gereja Katolik tertua di Bumi Surabaya adalah Gereja Kelahiran Santa Perawan Maria, yang terletak di Jalan Kepanjen, Kecamatan Bubutan. Tampak luar, gereja ini memiliki gaya bangunan khas Gothic, di mana tampilan ini bisa ditemukan pada bangunan-bangunan di Eropa.
Louisa Sharon Ghea Yulida, Katekis Paroki Santa Perawan Maria Kepanjen, menjelaskan, sejarah panjang Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria berawal dari kedatangan Pastor Hendrikus Waanders dan Pastor Phillipus Wedding yang datang dari Belanda.
Pastor Waanders menerima penugasan untuk melakukan pelayanan di Batavia atau Jakarta, sementara itu Pastor Wedding menetap di Surabaya dan mendirikan gereja Katolik pertama di Jalan Gatotan.
"Berdasarkan buku baptis tahun 1810, saat pelayanan mula-mula Pastor Wedding, sudah ada umat Katolik yang tercatat dibaptis untuk pertama kali. Kemungkinan besar keturunan Belanda, yang bernama Jan George," ucapnya saat ditemui Ngopibareng.id di kantor Sekretariat Paroki Kelsapa.
Pada tahun 1815, Surabaya sudah dijadikan sebagai stasi kelima di Hindia-Belanda, setelah Batavia, Semarang, Ambarawa, dan Yogyakarta. Pada tahun yang sama pula, stasi Surabaya sudah dijadikan sebagai paroki.
"Namun, setelah 7 tahun, Paroki Surabaya belum memiliki gedung gereja yang permanen. Pastor Waanders lalu membangun gereja pertama dan diresmikan pada 1822 yang terletak di antara Roomsche Kerkstraat dan Comedienplein atau Jalan Merak dan Cendrawasih sekarang," ungkap Ghea.
Dengan semakin berkembangnya jumlah umat Katolik di Surabaya, kapasitas gedung gereja tersebut sudah tidak mencukupi. Ghea menjelaskan, pihak gereja telah membeli tanah di Tempelstraat atau yang sekarang dikenal dengan nama Jalan Kepanjen.
"Daerah ini seluruhnya dulunya masih belum diperhatikan. Masih merupakan tanah berlumpur. Lalu pemasangan pilar mulai dilakukan pada 1899, dan 790 batang kayu Galam dari Kalimantan didatangkan untuk dijadikan fondasi gereja," ungkapnya.
Seluruh interior dari bangunan gereja, termasuk tembok yang terbuat dari bata, bahan dasarnya didatangkan langsung dari Eropa. Untuk bangunan kayu, khusus menggunakan kayu jati, sedangkan kap dan puncak menara dipakai sirap dan kayu besi. Tanggal 5 Agustus 1900, gereja lalu diberkati oleh Mgr Edmundus Sybrandus Luypen, SJ dan gereja diberi nama "Onze Live Vrouw Geboorte" atau Kelahiran Santa Perawan Maria.
Tak berhenti pada masa Kolonial Hindia-Belanda, di masa selanjutnya Paroki Kelsapa juga menjadi saksi bisu dari pertempuran hebat yang terjadi di Surabaya pada awal November 1945. Ghea menjelaskan, gereja sempat dijadikan sebagai tempat pengungsian bagi para korban perang.
"Namun, mungkin karena gereja ini jadi tempat pengungsian, gereja lalu mengalami kerusakan yang hebat. Belum dapat dipastikan, apakah itu dibom atau dibakar secara sengaja. Yang tersisa dari kebakaran itu hanya tembok-tembok gereja," ungkapnya.
Di tengah suasana yang berduka karena gereja terbakar habis, jemaat Paroki Kelsapa tidak menyerah. Pada sekitar tahun 1950-an, Pastor Bastiansen lalu memimpin renovasi gereja yang dimana arsitekturnya tetap dipertahankan seperti awalnya, tetapi tanpa pembangunan menara.
"Setelah 46 tahun gereja hasil renovasi berdiri, baru pada tahun 1996, menara gereja dapat dibangun kembali. Gereja kami juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Surabaya," katanya.
Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria melayani umat Katolik yang tersebar di wilayah Surabaya Pusat hingga Utara, mulai dari Bulak Banteng, Sidotopo, Wonoasri, Ampel, Jagalan, Ambengan, hingga Peneleh.
Umat paroki Kelsapa juga akan segera menyambut kedatangan uskup baru Keuskupan Surabaya, yakni RD Agustinus Tri Budi Utomo atau yang lebih dikenal dengan nama Romo Didik. Penunjukannya juga dianggap umat sebagai kado Natal pada tahun ini. Banyak harapan umat Katolik Surabaya disandarkan kepada Romo Didik saat resmi ditahbiskan sebagai Uskup Surabaya nantinya.
"Semoga dengan Uskup yang baru ini, semangat dari para umat itu lebih dalam pelayanan, berbagi dan lain-lain. Romo Didik juga sosok yang sangat sederhana. Kami percaya bahwa ada teladan baik yang akan disampaikan oleh Romo Didik, harapannya untuk umat semuanya semakin bersukacita karena kami hampir dua tahun lebih ya kehilangan sosok uskup, sede vacante atas meninggalnya Mgr Vincentius Sutikno Wicaksono," pungkasnya.