Sehat Yes, Panik No! Ini Pesan Islam Perspektif Spiritual (1)
Dalam Maqashid Syariah, terdapat tujuan Hifdzun an-nafs (Menjaga Jiwa). Inilah yang relevan dalam kondisi Pandemi COVID-19, kita harus melakukan social distancing dan physical distancing, sesuai protokol kesehatan.
Kita tahu, Maqashid syariah bila diartikan secara bahasa adalah tujuan syariah. Tujuan utama dari maqashid syariah adalah merealisasikan kemanfaatan untuk umat manusia (mashâlih al-’ibâd) baik urusan dunia maupun urusan akhirat. 1) Hifdzun ad-diin (Menjaga Agama); 2) Hifdzun an-nafs (Menjaga Jiwa); 3) Hifdzun Aql (Menjaga Akal); 4) Hifdzun Nasl (Menjaga Keturunan); dan 5) Hifdzun Maal (Menjaga Harta).
Terkait hal ini, Haidar Bagir, seorang aktivis tasawuf, berpesan agar "Sehat Yes, Panik No! " Berikut kami sajikan tulisan tersebut dari ceramahnya soal tasawuf di youtube, alam bagian awal:
Sudah merupakan suatu gejala yang umum, khususnya di perkotaan besar, apalagi di kalangan kelas menengah ke atas, adanya lifestyle untuk menjaga kesehatan. Hal itu termasuk pergi nge-gym, melakukan berbagai macam teknik diet, atau sebagian malah menjadi vegetarian. Macam-macam telah dilakukan, khususnya oleh generasi muda kelas menengah ke atas di perkotaan.
Gym-gym semakin banyak, semakin laku, kemudian dokter-dokter gizi yang memberikan nasihat-nasihat tentang diet yang bagus, yang paling sehat, juga makin lama makin laris. Belum lagi, saya kira, pola hidup mengkonsumsi makanan organik atau makanan semi organik, makanan non gluten (sejenis protein tidak beraturan yang biasanya terdapat dalam tepung terigu dan jenis gandum tertentu—red), dan lain sebagainya.
Tentu itu semua adalah satu kecenderungan yang sangat bagus, yang patut disebarluaskan dan ditiru bagi yang belum melakukannya, karena memang dipandang dari segi apapun kita wajib menjaga kesehatan tubuh kita. Tentu dengan tubuh yang sehat pikiran juga menjadi sehat, kehidupan juga menjadi nyaman dan kita bisa menjadi lebih produktif.
Juga jika dilihat dari sudut pandang agama, misalnya, tentu saja menjaga kesehatan tubuh atau badan adalah suatu akhlak yang mulia. Khususnya apabila kita ingat bahwa tubuh yang dikaruniakan kepada kita secara sempurna itu adalah karunia Allah swt. yang harus disyukuri, yaitu dengan akhlak yang baik kepada tubuh kita dengan cara memelihara kesehatan. Rasulullah saw. pernah memberikan nasihat agar kita menjaga kesehatan.
Dikatakan dalam sebuah hadis, Rasulullah mengajarkan agar kita meminta ‘afwu (ampunan) dan ‘afiyah (keselamatan) dari Allah swt. ‘Abdullah bin Umar ra. meriwayatkan sebuah doa:
“Ya Allah aku memohon kepada-Mu keselamatan di dunia dan akhirat, ya Allah aku memohon kepada-Mu ampunan, juga keselamatan dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku”.
Dua kata ini (‘afwu dan ‘afiyah) berasal dari akar kata yang sama, yaitu kebebasan atau pembebasan. ‘Afwu adalah pembebasan dari ganjaran keburukan yang diterima oleh orang yang berbuat salah. Jadi, Allah menghapus dan membebaskan orang itu darinya.
Sementara ‘afiyah itu artinya pembebasan dari bala dan penyakit. Bahkan Rasulullah Saw. mengatakan, “Tidak ada yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang setelah iman (keyakinan), kecuali ‘afiyah (keselamatan dari bala dan penyakit)” (HR Tirmidzi).
Jadi dipandang dari segi apa pun sesungguhnya menjaga kesehatan adalah sesuatu yang baik. Kecenderungan yang tadi saya sebutkan di atas, yang berlangsung di antara khususnya generasi muda di kalangan kelas menengah ke atas di perkotaan, juga sangat baik dan perlu kita dukung. Pemerintah juga perlu memastikan kesehatan keluarga dengan berbagai macam cara.
Tapi juga ada satu ekses, yaitu akibat negatif dari kecenderungan ini. Jadi, bukannya orang-orang kemudian menjadikan kesehatan itu sebagai sarana untuk meraih kenyamanan dan kebahagiaan hidup, produktivitas dan kreativitas, sebagian orang malah menjadi obsessed (terobsesi) kepada kesehatan itu sendiri.
Seolah-olah kesehatan itu adalah tujuan bukan sarana. Sikap obsessed ini kemudian menyebabkan dorongan untuk menjaga kesehatan, namun bukannya untuk mencari kebahagiaan, kenyamanan, produktivitas, atau kreativitas, tapi justru karena rasa takut: takut sakit, takut mati muda, dan lain sebagainya.
Kalau ini yang terjadi, dan saya sudah melihat kecenderungan adanya ekses ini di berbagai pergaulan—orang-orang yang datang ke dokter dengan kekhawatiran yang luar biasa terkena sakit jantung, tekanan darah tinggi, gagal ginjal, dan lain sebagainya—mereka kemudian bukannya menikmati kenyamanan, produktivitas, dan kreativitas akibat kesehatan tubuhnya, tapi justru mengalami ketegangan dan ketakutan kalau-kalau mereka sampai tidak sehat.
Pertama, yang terjadi adalah mengacaukan antara perspektif dan tujuan. Tujuannya harusnya adalah hidup bahagia, nyaman, produktif dan kreatif dengan kesehatan sebagai sarana.
Sekarang terbalik, sarana dijadikan sebagai tujuan, dan dorongan mencapainya adalah ketakutan. Akibatnya adalah: Pertama, tujuannya tidak tercapai, yaitu kita menjadi tidak bahagia, tidak produktif, tidak kreatif dan tidak nyaman, dan kedua, ketakutan yang menyebabkan lahirnya obsesi kepada kesehatan itu justru bisa menimbulkan penyakit-penyakit yang kontra produktif terhadap semua upaya kita untuk menjaga kesehatan.
Inilah hal pertama yang harus kita ingat.
Kedua, kita harus memahami bahwa semua resep-resep dan nasehat yang diajarkan oleh para ahli sudah pasti harus kita dengar, karena penting untuk mendengarkan pendapat para ahli. Tapi kita juga harus ingat bahwa ilmu kedokteran pun sebetulnya juga punya keterbatasannya sendiri.
Terbukti, misalnya, ada satu teori tentang persoalan kesehatan yang memakai pendapat A, belakangan kemudian diubah menjadi pendapat B. Pendapat A pun lalu ditinggalkan.
Tentu itu sesuatu yang normal dalam perkembangan ilmu pengetahuan, tapi yang ingin saya katakan bahwa kita perlu meninggalkan sikap obsessed terhadap kesehatan yang seperti itu. Allah swt sudah mengaruniakan kepada kita dan menjadikan kita sebagai ciptaan yang sempurna. (bersambung)