Sego Lemeng dan Kopi Uthek Perkaya Kuliner Banyuwang
AJANG promosi wisata tahunan Banyuwangi Festival (B-Fest) konsisten mengangkat seni dan tradisi lokal masyarakat Bumi Blambangan. Kali ini, pemkab menghadirkan Festival Sego Lemeng dan Kopi Uthek yang diselenggarakan di Desa Banjar, Kecamatan Licin, Banyuwangi.
Atraksi budaya ini konsisten digelar, agar tradisi itu langgeng hidup dan terus berkembang. Bahkan Menpar Arief Yahya menyebut: "Budaya itu semakin dilestarikan, semakin mensejahterakan," kata Menteri Arief Yahya. Budaya, tradisi itu adalah aset atraksi yang harus dipertahankan.
Festival makanan dan minuman khas Desa Banjar tersebut berlangsung meriah Sabtu hingga Minggu lalu. Hujan yang mengguyur Kecamatan Licin dan sekitarnya tidak menyurutkan langkah ratusan warga untuk berbondong-bondong memadati lokasi acara.
Sego lemeng adalah nasi berisi lauk pauk –seperti daging ayam, ikan tuna, dan lain-lain– yang dibungkus daun pisang layaknya kue lemper. Untuk menambah cita rasa, nasi lemeng dimasukkan ke batang bambu dan lantas dibakar di tungku dengan memanfaatkan kayu bakar.
Sedangkan yang dimaksud Kopi Uthek adalah seduhan kopi tanpa gula yang disajikan bersama dengan gula aren merah. Ada beberapa cara menikmati kopi uthek tersebut. Ada yang meminum kopi tanpa gula dan lantas menggigit gula aren merah. Ada pula yang terlebih dahulu memakan gula merah lantas meminum kopi.
“Saat digigit, gula merah itu mengeluarkan bunyi tek. Karena itu, kopi yang diminum bersama gula merah itu disebut kopi uthek,” ujar Siti Maswiyah, salah satu peserta Festival Sego Lemeng dan Kopi Uthek.
Seremoni pembukaan Festival Sego Lemeng dan Kopi Uthek dilakukan Wakil Bupati (Wabup) Yusuf Widyatmoko di panggung yang didirikan di kawasan persawahan Desa Banjar. “Festival ini digelar agar wisatawan tahu dan bisa mencicipi keragaman kuliner khas Banyuwangi. Festival ini tumbuh dari bawah dan diprakarsai masyarakat,” ujarnya.
Selain untuk memperkenalkan keragaman kuliner kepada wisatawan, imbuh Yusuf, Festival Sego Lemeng dan Kopi Uthek itu tuja bertujuan untuk menjaga kelestarian kuliner khas masyarakat Banyuwangi.
“Festival yang berangkat dari bawah seperti ini sengaja digelar di tempat aslinya. Tidak diboyong ke pusat Kota Banyuwangi,” kata dia.
Konon, sego lemeng adalah maka nan yang menjadi bekal para gerilyawan yang sedang melakukan perlawanan terhadap penjajah Kolonial Belanda. Saat berjuang merebut kemerdekaan, banyak warga yang berjuang dan bersembunyi di hutan.
Di sana lah, mereka membuat sego lemeng untuk bertahan hidup. “Ini menarik. Kalau kita padukan antara cita rasa kulinernya yang khas, kisah historis, dan potensi alamnya Banjar yang indah, ini akan menjadi paket wisata komplet. Kami optimistis akan banyak wisatawan yang berkunjung ke Desa Banjar,” cetus Wabup Yusuf.
Selain bisa menikmati wisata kuliner, pengunjung bisa menikmati keindahan Desa Banjar. Beragam hiburan pun disuguhkan, seperti barong, kuntulan, musik akustik, dan gandrung. Haini, 50, warga sekitar mengatakan, cara memasak yang unik membuat daya tarik sendiri terhadap para pengunjung yang belum mengetahui.
Di Desa Banjar, sego lemeng terbungkus daun pisang yang dimasak dengan cara dibakar tersebut berubah warna menjadi hitam. “Banyak masyarakat yang heran dengan teknik atau cara pengolahan tersebut. Karena tidak semua warga yang bisa memasak dengan cara seperti ini,” katanya.
Haini membeberkan, setiap orang yang memasak sego lemeng tersebut rasa dan bentuknya akan berbeda-beda. Ini ditimbulkan karena setiap orang yang memasak pasti mempunyai resep atau cara masak yang berbeda pula.
“Sego lemeng menjadi makanan khas warga Desa Banjar, karena sego lemeng ini sudah turun menurun dari nenek moyang kita,” bebernya. Kades Banjar, Nur Hariri menga takan, sego lemeng sudah men jadi warisan budaya dari leluhur.
Nasi yang dibungkus dengan daun pisang itu biasanya dibuat bekal oleh warga Desa Banjar saat pergi ke kebun. “Sego lemeng mulai zaman penjajahan Belanda sampai sekarang di Desa Banjar tetap ada. Sekarang bukan hanya warga sekitar yang dapat menikmati sego lemeng, warga masyarakat lain juga dapat bisa memesan kepada para warga sini,” katanya.
Nur Hariri menambahkan, kopi “uthek” bukannya kopi yang terbuat dari otak. Biasanya orang beranggapan “uthek” adalah “otak”.
Tetapi di sini bukan seperti itu. Kopi uthek yaitu kopi yang kopi yang cara meminumnya dengan menggunakan gula aren atau biasa disebut gula merah. “Saat minum kopi dengan menggunakan gula aren itulah, kita menggigit gula tersebut berbunyi “thek”, itulah mengapa disebut kopi uthek,” pungkasnya.(*)
Advertisement