Sebelum Keringat Buruh Kering, Ada Larangan Merokok
Norma sosial mengajarkan agar seorang juragan membayar upah burunya sebelum kering keringatnya. Faktanya, bila membayar upah pekerja ya seminggu sekali, atau sebulan sekali.
Tentu, keringat para buruh sudah kering dan tak lagi meleleh, saat akhir bulan atau akhir pekan. Tapi, di sinilah letak nilai humornya, seperti berikut.
1. Bayarlah Upah Buruhmu Sebelum Kering Keringatnya
Amrin Pembolos, Tokoh Humor Kita, adalah seorang karyawan bawahan di sebuah perusahaan. Ia sedang bersemangat ikut dalam sebuah training menjadi enterpreuner yang diikuti semua karyawan.
Pembicara dalam training tersebut memang seorang enterpreuner yang telah sukses memiliki beberapa perusahaan besar. Tapi juga seorang yang taat dengan aturan-aturan agamanya yakni seorang Muslim.
Kemudian tibalah sang pembicara training tersebut membahas mengenai hak karyawan dan kewajiban seorang pengusaha dalam upah sambil berjalan-jalan di depan peserta seminar.
Pembicara : "Bayarlah upah buruhmu sebelum keringatnya kering. Memang kalimat tersebut sangat bermakna sekali dalam kehidupan berbisnis."
Amrin kemudian mendalami apa yang pernah dialaminya sebagai karyawan tentang pemberian upah yang mulai terlambat. Kemudian Amrin bertanya dengan mengacungkan tangannya agar terlihat oleh pembicara seminar.
"Akhir-akhir ini upah yang saya terima sering terlambat. Apakah hal ini di karenakan ruangan tempat kerja saya yang ber-AC? Dingin banget, Pak. Sampai-sampai keringat saya tidak pernah keluar..."
Ha ha ha...
Larangan Merokok di Pesantren
Di salah satu pondok pesantren, santri-santri dilarang keras merokok. Dan sang kiai pengasuh pondok pesantren itu tidak segan-segan memberikan takzir (hukuman) berat pada santri yang ketahuan melanggar aturan merokok di pesantren itu.
Namun tentu saja ada santri nakal yang nekat melakukan pelanggaran. Bahkan, sering beberapa santri yang tidak tahan ingin merokok mencari-cari kesempatan di malam hari. Pada saat gelap di sudut-sudut asrama atau di gang-gang kecilnya, atau di tempat jemuran pakaian atau di pekarangan sang kiai.
Bahkan ada juga yang tidak jijik merokok di dalam WC sambil pura-pura sedang BAB.
Satu hari, saat malam telah larut, salah seorang santri perokok ingin kembali melakukan aksi terlarangnya. Meski sudah agak mengantuk karena kelamaan menunggu waktu yang aman untuk merokok, ia pun bergegas ke kebun belimbing, di belakang salah satu gedung pesantren itu. Santri itu lalu mendekati seseorang temannya di kejauhan yang sedang menyalakan rokok. Suasana di sekitar yang jauh dari lampu penerangan membuat tempat itu memang agak gelap dan aman untuk merokok.
"Kang, minta rokoknya... Sekalian dengan api-nya...sup." katanya sambil menyodorkan jari tengah dan telunjukknya.
Temannya langsung menyerahkan sebungkus rokok yang dipegangnya. Santri perokok itu tanpa memperhatikan temannya itu langsung buru-buru mengisap rokok.
"Alhamdulillah, asyik sup..." katanya.
Diteruskan dengan isapan kedua, sambil memejamkan mata seakan menghayati isapan rokoknya.
Rokok semakin menyala, dan... dalam gelap dengan bantuan nyala rokok itu lama-lama kelamaan si santri mulai sadar dengan siapa dia sebenarnya saat itu sedang merokok bareng. Namun santri belum yakin betul dan diteruskan dengan isapan selanjutnya...
Isapan yang dalam sehingga membuat rokok itu semakin menyala terang. Dan...
Ternyata... yang dia mintai rokok adalah kiainya sendiri.
Bukan main, si santri itu sangat kaget dan ketakutan. Dia langsung kabur. Lari tunggang langgang tanpa sempat mengembalikan rokok yang dipinjamnya.
Sang kiai pun marah besar sambil berteriak :
"Hei rokok saya jangan dibawa. Itu tinggal satu-satunya, Kang..."