Sebagian Warga Jember Langganan Krisis Air, Ini Solusi Gus Fawait-Djoko
Calon Wakil Bupati Jember nomor urut 02, Djoko Susanto menyinggung persoalan krisi air yang sering terjadi di beberapa titik di Kabupaten Jember. Krisi air tersebut diakibatkan karena adanya penurunan resapan air akibat sejumlah faktor.
Hal ini disampaikannya dalam debat publik kedua Pilkada Jember yang berlangsung pada Sabtu, 9 November 2024, di Gedung Edelweis Cempaka Hill.
Dalam sesi tanya-jawab yang dipandu oleh moderator, Djoko Susanto diberikan pertanyaan seputar infrastruktur publik terkait kebutuhan air bersih di Jember.
Menurut data yang diungkap dalam debat, kebutuhan air layak konsumsi masyarakat Jember mencapai 219 juta meter kubik per tahun. Alih fungsi lahan kini menjadi salah satu penyebab penurunan air tanah sehingga mempengaruhi ketersediaan air bersih.
Djoko menanggapi hal tersebut sebagai akibat dari inkonsistensi pemerintah dalam proses harmonisasi regulasi. Inkonsistensi tersebut dapat dilihat dalam Perda Nomor 3 tahun 2012 tentang pengelolaan air tanah dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nomor 1 tahun 2015.
“Telah terjadi inkonsistensi dalam pelaksanaan dua peraturan penting, yakni Perda Nomor 3 tahun 2012 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nomor 1 tahun 2015, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan resapan air tanah terganggu,” tuturnya.
Karena itu, salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan air bersih, harus melakukan harmonisasi peraturan. Sehingga tidak ada lagi peraturan yang bertentangan dengan peraturan lainnya yang justru memperparah kondisi lingkungan Jember.
Setelah melakukan harmonisasi regulasi, langkah selanjutnya adalah melakukan upaya nyata. Upaya yang dapat dilakukan adalah perbaikan di daerah hulu sungai, dengan tujuan meningkatkan daya serap air tanah di wilayah tersebut.
“Kita nanti akan membangun sumur berbasis komunitas melibatkan masyarakat untuk mengatasi krisi air. Ini menjadi program prioritas kami jika terpilih pada pilkada,” tambah Djoko.
Tak hanya itu, upaya lain yang akan dilakukan adalah membangun embung atau waduk kecil, yang berfungsi sebagai penampung air hujan. Termasuk pembuatan biopori, pemasangan jalan paving, serta reboisasi hutan dan lahan kering.
Kendati demikian, terkait upaya reboisasi akan mengalami banyak tantangan. Sebab hutan kota saat ini telah berubah menjadi hutan beton. Hal ini merupakan dampak dari maraknya pembangunan perumahan di kawasan perkotaan.
Namun, Djoko menegaskan pembangunan perumahan juga tidak bisa dijadikan alasan untuk terus meningkatkan resapan air. Sebab, pembangunan perumahan juga merupakan program dari pemerintah pusat untuk memenuhi kebutuhan papan masyarakat.
“Urusan pangan dengan urusan papan tidak bisa dibenturkan. Karena selain butuh makan, masyarakat juga butuh tempat tinggal. Apalagi program pembangunan tiga juta rumah merupakan program pemerintah pusat,” pungkasnya.
Sementara itu, calon Wakil Bupati Jember nomor urut 01, Gus Firjaun mengatakan, sejauh ini tidak ada inkonsistensi regulasi di Kabupaten Jember. Semua regulasi yang sudah ada akan berdampak baik apabila diterapkan.
Namun, yang terjadi saat ini adalah komitmen untuk menaati regulasi masih rendah. Sejauh ini Pemkab Jember telah melakukan pengetatan perizinan pembangunan perumahan melalui Dinas PTSP.
“Kita telah melakukan pengetatan perizinan. Namun, yang terjadi saat ini ada pengembang saat melakukan aktivitas pembangunan rumah mengabaikan resapan air,” ujarnya.