SBY Sudah Mewujudkan Mimpinya
Pak SBY bermimpi. Dirinya naik kereta api bersama Megawati dan Jokowi, dari Stasiun Gambir. Dari Jakarta, kereta meluncur ke arah timur, melalui jalur selatan, melewati beberapa stasiun; Cirebon, Purwokerto dan Yogyakarta. Sesampainya di Stasiun Balapan Solo, Jokowi turun dari kereta, terus pulang ke rumahnya di daerah Colomadu. Rumah ini disiapkan negara sebagai hadiah kepada setiap presiden yang purnatugas. Dari Solo, kereta api melanjutkan perjalanan, dengan membawa SBY dan Megawati di dalamnya. Sampai Stasiun Madiun, SBY turun dan melanjutkan perjalanan dengan mobil ke arah selatan sejauh sekitar 100 Km, sampai di kampung halamannya di Pacitan. Sedangkan Megawati meneruskan perjalanannya dengan kereta itu sampai ke Blitar.
Mimpi SBY itu bukan berupa kembang tidur. Tetapi adalah harapan, keinginan, atau lebih tepatnya khayalan. Disebut khayalan karena mustahil akan menjadi kenyataan. Dia berkhayal, Jokowi yang setahun lagi akan mengakhiri jabatannya sebagai Presiden RI, bersedia ikut bergabung dengan dirinya dan Megawati, berbincang-bincang di atas kereta api sambil minum kopi. Dia juga berkhayal, Megawati sendiri sudi bergabung.
Sebagai orang tua, mereka bertiga gak perlu lagi ngurusi politik. Serahkan saja pada anak-anak yang lebih pintar dan lebih energik. Kebetulan, masing-masing juga memiliki anak yang punya potensi, dan sudah dipersiapkan jalan agar suatu saat nanti dapat mengikuti jejak mereka, berkantor di istana. Jadi, sudahlah, pulang kampung saja sebagai orang tua yang bijak.
Kalau punya sawah ya bertani. Tapi kalau punya uang berlebih, ya bisa membangun hotel, atau mal. Lebih bagus lagi kalau yang dibangun di kampung halaman adalah rumah sakit atau perguruan tinggi. Menebar amal sambil merasakan betapa bahagianya bisa mengantarkan atau menjemput cucu dari sekolah, misalnya. Gak usah ikut cawe-cawe ngurusi jalannya pemerintahan. Selain memang sudah tidak berhak, nanti malah merusak.
Pak SBY sudah pulang kampung dan kini hidup di Pacitan. Dia memiliki tanah seluas 1,3 hektar di Kelurahan Ploso, Kecamatan Pacitan, tak jauh dari Laut Selatan. Di lahan ini dia membangun sebuah rumah, berbarengan dengan itu di sebelahnya dibangun pula sebuah gedung yang jauh lebih besar, agak ke depan. Bangunan besar itu sangat megah, terdiri dari dua lantai, diberi nama Museum & Galeri SBY*Ani. Bagian depan museum ada enam tiang besar seperti bagian depan Istana Negara yang menghadap ke Jl. Veteran di Jakarta. Selama 10 tahun, 2004-2014, SBY tinggal dan berkantor di Istana Negara.
Persis tanggal 17 Agustus lalu, museum sekaligus galeri itu diresmikan dalam suatu acara yang mewah dan resmi. Kedua putra, menantu dan cucu-cucu SBY hadir, duduk di kursi barisan depan, bersama mantan kedua wakilnya ketika jadi presiden, Jusuf Kalla dan Budiono. Para menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu yang namanya sudah jarang disebut-sebut, bersama istri mereka yang dulu tergabung dalam SIKIB atau Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu, juga duduk di barisan depan. Tidak ketinggalan para pengurus Partai Demokrat, baik tingkat pusat maupun daerah, beberapa pengusaha termasuk bekas menterinyanya juga, Chairul Tanjung, serta bacapres yang diusung Partai Demokrat berkoalisi dengan Nasdem dan PKS, Anies Rasyid Baswedan. Teman-teman SBY semasa sekolah hingga SMA di Pacitan juga diundang, dan cukup banyak yang datang.
Di rumahnya itu, di samping museum, SBY tidak lupa juga membuat sebuah studio untuk melukis. SBY kini memang jadi pelukis. Kesibukan baru itu ditekuninya sejak pertengahan 2021. Enam bulan melukis, pada bulan Oktober tahun yang sama, dia menggelar pameran tunggalnya di halaman rumah Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pada pameran tunggal pertamanya itu SBY memamerkan 54 karya yang dibuatnya selama 6 bulan. Sekarang ini, lebih dari setengah waktunya dihabiskan untuk melukis. Melukis adalah rutinitasnya sehari-hari. Seseorang mengatakan, Pak SBY produktif sekali dalam melukis. Sejak pagi hingga siang beliau melukis, nanti malamnya dilanjutkan melukis sampai larut. Pak SBY sedang merencanakan untuk menggelar pameran tunggalnya yang kedua.
Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih
Pacitan terkesan daerah terpencil, dan miskin. Tapi itu dahulu, sekitar tahun 80an. Tahun 90an, bersama daerah tetangganya di sebelah timur yaitu Trenggalek, perekenomian rakyat Pacitan meroket, ketika kedua daerah itu menjadi sentra produksi cengkih di Jawa Timur. Hampir semua merk produk rokok kretek membutuhkan cengkih, padahal tidak semua daerah bisa ditanami cengkih. Karena itu harganya cukup tinggi, di tingkat petani saja sudah mencapai Rp 18 sampai Rp 20 ribu/Kg. Pada masa itu, petani cengkih di manapun bisa hidup makmur. Tidak hanya di Pacitan dan Trenggalek.
Tetapi kemakmuran rakyat itu akhirnya malah dihancurkan sendiri oleh pemerintah. Jangan dikira pemerintah itu selalu berbuat baik pada rakyatnya. Kadang-kadang pemerintah juga berbuat buruk, bahkan bisa dikatagorikan jahat, ketika kebijaksanaan yang dikeluarkan sebenarnya bermuatan conflict of interest. Tahun 1992, pemerintahan Presiden Soeharto mengeluarkan regulasi untuk mengatur tata niaga cengkih dengan membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC), melalui Keppres no 20/1992. Badan ini dipimpin oleh putra bungsu Presiden sendiri, yaitu Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, yang ketika itu berusia genap 30 tahun.
Dalam regulasi itu diatur, semua hasil cengkih rakyat dari seluruh Indonesia harus dijual kepada BPPC, kemudian dimasukkan ke gudangnya yang dibangun di semua daerah sentra produksi. Kalau industri rokok membutuhkan cengkih, maka dia harus membelinya hanya pada BPPC, tentu saja dengan harga berlipat. Perusahaan rokok tidak boleh membeli cengkih dari luar. Melalui Keppres ini juga ditetapkan harga pembelian di tingkat petani, yaitu Rp 12 ribu/Kg. Tentu para petani sangat dirugikan, demikian juga pabrik rokok.
Sejak itu produksi cengkih langsung anjlok, karena lebih dari setengah lahan cengkih di Pacitan dan Trenggalek, beserta semua wilayah penghasil cengkih di seluruh Indonesia, ditebang habis oleh pemiliknya. Lalu mereka bakar. Mereka kecewa, atau lebih tepatnya marah, karena harga Rp 12 ribu itu hanya cukup untuk ongkos petik. Memanen bunga cengkih memang amat sulit, harus dipetik satu demi satu hingga ke pucuk pohon. Wajar ongkosnya mahal. Jutaan ribu pohon cengkih di seluruh Indonesia dibakar habis. Begitulah cara para petani cengkih memprotes kebijaksaan pemerintah yang buruk dan menghancurkan perekonomian rakyat, karena aturan dibuat atas dasar kepentingan putra mahkota dan kroni-kroninya.
Kini Pacitan tidak lagi terpencil, meskipun cengkih sudah lama hilang dari ingatan warganya. Bagi warga Pacitan, dan Trenggalek, cengkih adalah trauma. Sejak era semua orang membawa kamera, dan pada waktu yang bersamaan dapat langsung menyebarluaskan hasilnya melalui berbagai platform medsos, Pacitan seperti terbuka lebar. Keindahan pantai-pantainya membuat banyak orang terhenyak dan takjub. Dalam waktu singkat Pacitan menjadi destinasi wisata utama di Jawa Timur, disamping Kota Batu dan Banyuwangi.
Berwarna Biru
Jarak Pacitan ke Solo cuma 70 kilometer. Tapi kedua daerah ini memiliki perbedaan budaya. Hanya dari melihat cara warganya naik kendaraan saja, sudah nampak adanya berbedaan budaya. Di Pacitan, yang berpenduduk sekitar 200 jiwa, lalu lintas berjalan sangat tertib. Nyaris tidak ada pelanggaran lalu lintas, termasuk anak-anak yang berangkat atau pulang sekolah dengan sepeda. Ketika Lampu merah menyala, tidak ada roda kendaraan apapun yang menyentuh zebra cross. Semua pengendara menunggu dengan sabar sampai lampu hijau menyala. Padahal di Kota Pacitan banyak terdapat traffic light, jarak yang satu dengan yang lain tak terlalu jauh. Persimpangan jalan kecilpun dilngkapi traffic light. Tetapi tidak pernah terlihat adanya kendaraan yang melanggar lampu merah. Tidak pernah terlihat beberapa kendaraan menumpuk jauh di depan zebra cross seperti sering terlihat di kota-kota lain, siap melompat begitu lampu hijau menyala.
Jalanan di Kota Pacitan berwarna biru, bukan merah. Baliho bergambar kedua putra SBY, AHY dan Ibas, banyak menghiasi jalanan, berjajar dengan para caleg lokal. Sejak pagi hingga malam lalu tintas tidak terlalu padat, tetapi mengalir terus tak pernah sepi sebagaimana kota-kota di wilayah selatan Pulau Jawa lainnya. Jalanan bersih, termasuk dari guguran daun kering dari pohon-pohon besar di pinggir jalan. Usai Subuh, nampak petugas kebersihan secara berkelompok bekerja mengumpulkan sampah yang berserak di jalanan, lantas memasukkannya ke gerobak dan membawanya ke TPA. Ketika para siswa mulai berangkat ke sekolah, disusul setengah jam kemudian oleh para pegawai kantor yang berangkat ke tempat kerja, jalan-jalan di Kota Pacitan sudah nampak bersih.
Pacitan tenteram dan indah, dan sebentar lagi akan lebih berkembang. Ada 13 pantai indah yang biasa jadi jujugan para pelancong, masing-masing Pantai Klayar, Pantai Watu Karung, Pantai Srau, Pantai Banyu Tibo, Pantai Soge, Pantai Kasap, Pantai Pancer, Pantai Pidakan, Pantai Tawang, Pantai Siwil, Pantai Taman dan yang paling terkenal Pantai Teleng Ria. Pantai-pantai itu memiliki laut biru dengan ombaknya yang besar, khas ombak Samudera Indonesia di sepanjang Pantai Selatan yang mistis. Secara geografis dikelilingi pegunungan, sehingga Kota Pacitan seperti berada di sebuah mangkuk.
“Kini ada satu destinasi lagi di Pacitan, yang saya yakin akan jadi favorit bagi masyarakat tidak hanya dari Jatim tapi juga dari provinsi lain, termasuk Jakarta, bahkan dari luar negeri,” kata seorang praktisi pariwisata yang ikut terlibat dalam upaya meningkatkan kunjungan wisatawan ke Kota Batu. “Saya yakin kunjungan wisatawan ke Pacitan dengan adanya Museum dan Galeri SBY*Ani akan meningkat pesat. Belasan pantai indah yang ada di Pacitan sudah menjadi daya tarik, kini masih ditambah dengan museum milik Pak SBY, saya yakin beberapa tahun lagi akan melampaui Kota Batu, yang tahun lalu dikunjungi 7,4 juta wisatawan,” tambahnya. “Museum Pak SBY akan menjadi ikon baru Pacitan,” tambahnya.
Kota Batu memiliki panorama alam pegunungan yang indah, sebagaimana Pacitan memiliki banyak pantai. Untuk menunjang indahnya pemandangan alam, di Batu juga dibangun beberapa museum, tetapi semata-mata untuk tujuan komersial, meskipun dalam promosinya disebutkan untuk tujuan pendidikan. Lima diantaranya adalah Museum Angkut, Musium Satwa, Musium Tubuh Manusia, Museum Musik Dunia dan Omah Budaya Slamet. Museum dan Geleri SBY*Ani yang sejak Jumat 18 Agustus lalu sudah dibuka untuk umum, jauh lebih berkualitas dibanding museum-museum yang ada di Batu, baik secara fisik maupun substansi.
Abdul Hamid Sanusi, 73 tahun, pensiunan kepala KUA di salah satu kecamatan di Pacitan, dirinya juga sangat yakin sekaligus berharap setelah museum Pak SBY diresmikan, jumlah wisatawan yang datang akan meningkat. “Apalagi Pacitan lebih dekat dengan Wonogiri, Yogyakarta, Solo dan sekitarnya dibanding dengan Malang atau Surabaya, ” kata Abdul Hamid, yang sudah beberapa tahun ini membangun dan mengelola sebuah penginapan di Betulo, Bangunsari, Pacitan.
Kemegahan saat dilangsungkan peresmian hari Kamis malam pekan lalu, memang sebanding dengan kemegahan gedung dan lengkapnya koleksi Museum dan Galeri SBY*Ani. Dari bangunannya saja sudah istimewa, dibangun dari bahan-bahan berkwalitas dengan pengerjaan yang mahal dan profesional. Ruang-ruang yang ada didesain secara detail sejak masih berupa gambar arsitektur, berdasar pada konsep yang jelas, sehingga ruang-ruang yang ada tidak hanya terkesan kamar-kamar yang dipenuhi lemari kaca. Tata pencahayaannya pun sangat modern dan atraktif, sehingga tidak berlebihan kalau disebut sebagai yang terbaik di Indonesia untuk sebuah museum, milik pemerintah sekalipun.
Diperlukan waktu sekitar 2 atau 3 jam hanya untuk melihat secara sepintas apa saja isi museum. Seluruhnya terdiri dari tiga memori berupa informasi, catatan, benda, foto, tulisan-tulisan dan berkas-berkas lembar negara, lukisan-lukisan karya SBY, diorama berukuran besar, termasuk replika kamar SBY ketika jadi taruna dan prajurit, dan lain sebagainya. Ada diorama seukuran sebenarnya, saat SBY bersama keempat kawannya main band ketika SMA. Fotografi karya-karya almarhumah Ibu Ani serta batik dan sulaman koleksinya, juga diberi tempat khusus di museum. Tetapi kalau hendak melihat semua isi museum dengan lebih seksama dan teliti, diperlukan waktu lebih lama lagi, bahkan bisa sampai seharian. Belum lagi perpustakaan SBY yang berisi lebih dari 15 ribu buku, pengunjung dapat membacanya.
Secara umum museum ini tidak hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk melihat masa kini dan masa depan. Bisa dipastikan Museum & Galeri SBY*ANI kelak akan banyak melahirkan sarjana-sarjana dari berbagai strata. “Mengagumkan sekali apa yang ada di museum ini,” kata Emil Elestianto Dardak, Ketua DPD Partai Demokrat Jatim, yang juga Wakil Gubernur Jawa Timur. “Saya juga kagum, sangat detail apa saja yang ditampilkan dan bagaimana cara mengaturnya,” tambahnya. Diperlukan waktu khusus untuk menikmatinya.
Pablo Picasso
SBY, yang 9 September mendatang tepat berusia 74 tahun, sudah kembali ke kampung halamannya di Pacitan. Sementara dua nama yang dalam khayalannya ikut bersama naik kereta api dari Stasiun Gambir, masih berada di Jakarta. Masih ribet dan ruwet dengan berbagai persoalan yang harus diselesaikan. SBY sudah jadi pelukis, pekerjaan yang kini ditekuninya dengan amat serius. SBY kini jadi seorang seniman, jadi pelukis, tapi pelukis yang punya museum sekaligus galeri sendiri di sebelah rumahnya. Sesekali dia masih diundang untuk menjadi pembicara pada forum-forum internasional di luar negeri.
Mimpi SBY sudah menjadi kenyataan. Dalam sambutan peresmian, SBY mengaku sangat bangga bisa mewujudkan mimpinya ini, tapi sebenarnya ini bukan dari mimpinya sendiri, melainkan mimpinya berdua dengan istrinya, almarhumah Ani Yudhoyono.
Mengapa pilih melukis, dan membangun museum sekaligus galeri? Dikatakan, Indonesia harus terus menerus disiram dengan keteduhan dan keindahan. “Dunia estetika harus tetap hadir mendampingi dunia logika dan dunia etika. Politik seringkali panas, demikian juga dunia bisnis. Sebagai keseimbangan perlu dihadirkan seni dan budaya. Saya percaya, hadirnya seni dalam kehidupan masyarakat kita akan mendatangkan kedamaian, ketentraman, kasih sayang, dan rasa persaudaraan. Inilah peran para seniman dan budayawan di seluruh negeri, bahkan seluruh dunia. Kami berharap bisa menjadi bagian dari dunia seni dan budaya, agar negara kita makin indah dan makin tenteram. Menurut pelukis terkenal Pablo Picasso, seni itu bertujuan untuk menghilangkan debu yang tiap hari melekat pada diri kita, agar jiwa kita menjadi bersih,” katanya.
Pacitan memang bersih dan bersih. (m. anis)
Advertisement