SBY Sibuk Baliho Sobek, Jokowi-Prabowo Bertarung Sendiri
Presiden RI 2004-2014 Susilo Bambang Yudhoyono yang lebih populer dengan panggilan SBY tiba-tiba menjadi tranding topik. Ini setelah kasus penyobekan baliho Partai Demokrat di Pekanbaru mencuat.
SBY sendiri yang protes atas kasus penyobekan itu. Istri, anak dan menantunya juga ikut bereaksi. Mulai dari menangis, menyesalkan, sampai dengan mengungkapkan kekesalannya.
Salah satu petinggi Partai Demokrat besutan SBY langsung menuding PDIP atau partai pendukung penguasa ada di balik penyobekan itu. Dia bilang itu atas dasar pengakuan pelaku yang telah ditangkap aparat partai.
Narasi SBY pun juga langsung mengarahkan tulunjuknya ke Presiden Joko Widodo sebagai calon presiden 2019-2024. "Saya bukan kompetitor Jokowi," katanya tanpa penjelasan mengapa ia menyinggung nama itu.
Terang saja, tuduhan itu membuat PDIP meradang. Sekjen PDIP Hasto Kristianto mengelak dengan mengatakan tak mungkin kadernya melakukan itu. Riau bukanlah basis PDIP. Selain terkait disiplin partai, tak ada untung pihaknya melakukan hal itu.
Ia menyinggung jika rombongan SBY selama ini aman di daerah basis banteng. "Ketika bus kampanye Demokrat yang eksklusif, lux, dan mahal melintas di wilayah yang menjadi basis PDIP pun semua aman-aman saja," katanya ke media.
Ribut soal penyobekan baliho Partai Demokrat di Riau hanyalah salah satu kasus pertarungan antar partai menjelang Pileg dan Pilpres 2019. Bagaimana kelak ending dari kasus ini? Kota semua tidak tahu. Terbongkar dalangnya atau hanya akan menguap begitu saja.
Pertanyaannya, kemana senjata balasa penyobekan baliho bergambar SBY dan Partai Demokrat ini diarahkan? Untuk memainkan elektabilitas calon presiden atau sekadar untuk kepentingan partai. ANCAMAN PARTAI Yang pasti, pertarungan antar partai memang lebih mengemuka dan menjadi fokus para pimpinan partai saat ini. Mereka lebih sibuk dengan eksistensi partainya ketimbang pemenangan kandidat pilpres, meski mereka berada dalam satu koalisi. Sejumlah partai yang berada di ambang batas bawah relatif tak peduli dengan Pilpres. Mereka lebih sibuk dengan urusan partainya masing-masing, terutama yang sedang berjuang untuk bisa lolos masuk ke parlemen. Dalam sejumlah survei, ada 4 partai yang terancam tidak lolos parliamentary threshold 4 persen. Mereka adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Nasdem, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Tiga partai yang disebut diawal pendukung Jokowi. Sedang yang terakhir pendukung PAN. Sedangkan yang pasti tidak lolos sesuai survei ada 6 partai. Mereka adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, Partai Hanura, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan Partai Berkarya. PSI, PBB, Partai Hanura, dan PKPI mendukung Jokowi. Sedang Partai Garuda dan Partai Berkarya pendukung Prabowo. Tiga besar parpol pemenang pemilu berdasarkan survei LSI Deny JA adalah PDI Perjuangan, Partai Golkar, dan Partai Gerindra. Lalu disusul PKB, Partai Demokrat, dan PKS. Dari partai tersebut yang masuk dalam koalisi Jokowi adalah PDPI, Partai Golkar, dan PKB. Sedangkan dalam koalisi Prabowo diisi Partai Gerindra, Partai Demokrat, dan PKS. Peta perolehan suara masing-masing partai ini bisa untuk menjelaskan perilaku parpol dalam pilpres. Sejumlah partai bergabung dalam koalisi Jokowi karena berharap dapat "berkah" untuk mendongkrak elektabilitas. Sedangkan partai koalisi Prabowo berperilaku "aneh" juga karena perhitungan hal yang sama. Apa yang dilakukan Partai Demokrat yang seringkali tidak sejalan dengan Prabowo dan Gerindra bisa diduga dalam kepentingan mendulang perolehan suaranya sendiri. Partai yang pernah menjadi pemenang Pemilu saat SBY menjadi presiden ini malah sempat frontal terhadap Prabowo di awal pembentukan koalisi. Fenomena PSI yang belakangan sering melontarkan isu sensitif seperti penolakan terhadap Perda Syariah dan praktik poligami bisa dijelaskan dalam perspektif ini. Padahal isu tersebut bisa merugikan Jokowi yang sedang "dicap" sebagai pemimpin anti Islam oleh kelompok Islamist pendukung Prabowo. Dukungan PAN terhadap Prabowo yang mrotoli di berbagai daerah juga disebabkan oleh terancamnya elektabilitas partai tersebut. Sejumlah pengurus PAN dan calegnya di daerah berhitung akan lebih strategis untuk kepentingan suara mereka jika mendukung Jokowi. PRESIDEN TANPA PARTAI Pada dasarnya, pilpres yang berbarengan dengan pileg kali ini kurang menguntungkan kandidat presiden. Mereka tidak bisa memanfaatkan mesin partai yang seharusnya menjadi salah satu alat mendulang suara. Partai politik pada akhirnya hanya menjadi petugas loket yang memberi tiket masuk ke kandidat. Gerbong dan segalanya harus dijalankan sendiri, bahkan kalau perlu dibebani gerbong berisi caleg partai-partai pemberi tiket. Prabowo masih beruntung karena ia pendiri sekaligus pengendali Partai Gerindra. Mesin salah satu partai yang diprediksi masuk dalam tiga besar ini bisa menjadi pengungkit sia sebagai calon presiden. Partai lain dalam koalisi berkhianat pun, ia masih punya tumpuan. Yang kurang beruntung adalah Jokowi. Sebagai capres, ia adalah penumpang di semua partai pengusungnya. Tidak seperti SBY yang telah mempersiapkan partai sendiri sebagai kendaraan politik. Bahkan, dengan kekuatannya sebagai presiden pada periode pertama, ia bisa mengerek partai besutannya sebagai pemenang pemilu dan menjaga kekuasannya untuk periode kedua. Pilpres 2019 menjadi pilpres dengan para kandidat yang harus berjalan ssndiri. Mereka harus "pisah ranjang" dengan koalisi partai yang mengusungnya karena masing-masing sibuk dengan dapurnya masing-masing. Mereka lebih banyak berkepentingan dengan kemenangannya, bukan kemenangan capres yang diusungnya. Dalam konfigurasi demikian, Jokowi dan Prabowo pada dasarnya adalah calon presiden tanpa partai. Kemenangannya tak akan ditentukan oleh koalisi partai yang mengusungnya, tetapi lebih kepada kemampuan menampilkan citra diri sekaligus membangun jaringan relawan yang handal. (arif afandi)Advertisement