SBY: Penyelesaian Jiwasraya akan Selamatkan Negara dari Krisis
Nama Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY terseret dalam polemik PT Asuransi Jiwasraya. Sebab, masalah keuangan perusahaan pelat merah itu disebut terjadi sejak 10 tahun yang lalu. Melalui tulisan panjang di Facebook, SBY menjawab dan memberi pandangannya untuk masalah Jiwasraya.
Tulisan itu diunggah SBY di Facebook, Senin 27 Januari 2020. SBY berbicara soal kabar penjatuhan dua menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat rencana Pansus Jiwasraya. Di sisi lain, SBY mengenang pembentukan Pansus Century yang menurutnya juga menyasar dirinya ketika menjabat presiden. SBY sama sekali tak takut dengan pansus.
Berikut ini tulisan lengkap SBY soal Jiwasraya:
Sewaktu saya mendengar ada kasus keuangan yang menimpa PT. Asuransi Jiwasraya, salah satu BUMN kita, saya tak berkomentar apapun. Pikir saya, bisa saja sebuah korporat, termasuk Jiwasraya, mengalami masalah demikian. Pasang surut keadaan keuangan perusahaan, sehat-tidak sehat, boleh dikata lumrah. Namun, ketika dalam perkembangannya saya ketahui angka kerugiannya mencapai 13 triliun rupiah lebih, saya mulai tertarik untuk mengikutinya. Ini cukup serius.
Ketika Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa permasalahan Jiwasraya sudah terjadi sejak 10 tahun lalu, sayapun tak merasa terusik. Tesis saya, untung rugi dalam dunia bisnis bisa saja terjadi. Kalau mengetahui kondisi keuangannya tak sehat, korporat tentu segera melakukan langkah-langkah perbaikan. Bahkan ketika beberapa saat kemudian, Kementerian BUMN secara eksplisit mengatakan bahwa masalah Jiwasraya bermula di tahun 2006, saya juga tak merasa terganggu. Apalagi, di tahun 2006 dulu saya tak pernah dilapori bahwa terjadi krisis keuangan yang serius di PT. Jiwasraya.
Namun, ketika mulai dibangun opini, dan makin kencang, bahwa seolah tidak ada kesalahan pada masa pemerintahan sekarang ini, dan yang salah adalah pemerintahan SBY, saya mulai bertanya... apa yang terjadi? Kenapa isunya dibelokkan? Kenapa dengan cepat dan mudah menyalahkan pemerintahan saya lagi? Padahal, saya tahu bahwa krisis besar, atau jebolnya keuangan Jiwasraya ini terjadi 3 tahun terakhir. Karenanya, dihadapan staf dan beberapa tamu saya di rumah yang merasa tidak terima jika lagi-lagi saya yang disalahkan, saya sampaikan komentar ringan saya. Intinya, kalau memang tak satupun di negeri ini yang merasa bersalah dan tak ada pula yang mau bertanggung jawab, ya salahkan saja masa lampau.
Saat ini, krisis keuangan Jiwasraya ini telah menjadi pembicaraan dan perhatian rakyat Indonesia. Kegaduhan politik terjadi. Termasuk di kalangan parlemen, wakil rakyat. Rumor dan desas desus mulai berkembang. Menyasar ke sana ke mari. Fakta dan opini bercampur aduk. Terkadang tak mudah membedakan mana berita yang benar, dan mana yang “hoax” dan fitnah. Karena itu, seperti biasanya, saya tak mau ikut-ikutan berkata sembarangan. Main tuduh dan memvonis seseorang atau pihak-pihak tertentu sebagai bersalah bukanlah karakter saya. Di samping itu, saya juga percaya bahwa pada saatnya kebenaran dan keadilan akan datang. Datangnya mungkin lambat, tapi pasti.
Ada yang dibidik dan hendak dijatuhkan?
Awal Januari 2020, isu Jiwasraya makin ramai dibicarakan. Ditambah dengan isu Asabri. Bisik-bisik, sejumlah lembaga asuransi dan BUMN lain, konon juga memiliki permasalahan keuangan yang serius.
Di kalangan DPR RI mulai dibicarakan desakan untuk membentuk Pansus. Tujuannya agar kasus besar Jiwasraya bisa diselidiki dan diselesaikan secara tuntas. Bahkan, menurut sejumlah anggota DPR RI dari Partai Demokrat, yang menggebu-gebu untuk membentuk Pansus juga dari kalangan partai-partai koalisi. Tentu ini menarik. Meskipun belakangan kita ketahui bahwa koalisi pendukung pemerintah lebih memilih Panja. Bukan Pansus.
Ketika saya gali lebih lanjut mengapa ada pihak yang semula ingin ada Pansus, saya lebih terperanjat lagi. Alasannya sungguh membuat saya “geleng kepala”. Katanya... untuk menjatuhkan sejumlah tokoh. Ada yang “dibidik dan harus jatuh” dalam kasus Jiwasraya ini. Menteri BUMN yang lama, Rini Sumarno harus kena. Menteri yang sekarang Erick Thohir harus diganti. Menteri Keuangan Sri Mulyani harus bertanggung jawab. Presiden Jokowi juga harus dikaitkan.
Mendengar berita seperti ini, meskipun belum tentu benar dan akurat, saya harus punya sikap. Sikap saya adalah tak baik dan salah kalau belum-belum sudah main “target-targetan”.
Kepada para kader Demokrat yang menjadi anggota DPR RI dengan tegas saya larang untuk ikut-ikutan berpikir yang tidak benar itu. Punya niat dan motif seperti itu. Itu salah besar. Nama-nama yang sering disebut di arena publik, dan seolah pasti terlibat dan bersalah, belum tentu bersalah. Termasuk tiga nama tadi. Secara pribadi saya mengenal Ibu Sri Mulyani, Ibu Rini dan Pak Erick sebagai sosok yang kompeten dan mau bekerja keras. Kalau tingkat presiden, sangat mungkin Pak Jokowi juga tidak mengetahui jika ada penyimpangan besar di tubuh Jiwasraya itu. Prinsipnya, jangan memvonis siapapun sebagai bersalah, sebelum secara hukum memang terbukti bersalah.
Saya jadi teringat akan peristiwa politik yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Pasca Pemilu 2009, dunia politik digaduhkan oleh isu “bail-out” Bank Century. Berbulan-bulan politik kita tidak stabil. Namun, apa yang ingin saya katakan? Sama seperti sekarang ini, nampaknya ada yang dibidik dan hendak dijatuhkan. Saya sangat tahu bahwa yang harus jatuh adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan juga mantan Gubernur BI, Wakil Presiden Boediono. Jika bisa, SBY juga diseret dan dilengserkan. Memang cukup seram.
Rumor dan berita yang dibangun juga tak kalah seramnya. Diisukan jumlah dana 6,7 triliun dalam penyelamatan Bank Century semuanya mengalir ke Tim Sukses SBY dalam Pilpres 2009. Termasuk para petinggi Partai Demokrat. Dengan gegap gempita karenanya Pansusdibentuk, hak angket digunakan oleh DPR RI.
Namun saya tetap tenang. Saya juga tak takut dengan dibentuknya Pansus. Bahkan tak pernah menghalanginya. Padahal koalisi pendukung pemerintah cukup kuat waktu itu. Jumlah anggota DPR RI dari Partai Demokrat juga sangat besar, 148 orang. Mengapa saya tak takut dengan Pansus Bank Century?
Saya memegang fakta dan kebenaran mengapa dilakukan “bail-out” pada Bank Century. Ada alasan yang sangat kuat mengapa para otoritas keuangan mengambil keputusan yang berani tetapi berisiko tinggi. Dengan “judgement” mereka, yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, pilihan dan keputusan harus diambil. Sejarah menunjukkan bahwa setelah itu Indonesia selamat dari krisis. Pertumbuhan ekonomi kita hanya sempat turun satu tahun, dari 6% di tahun 2008, menjadi 4,6% di tahun 2009. Namun, tahun depannya (2010) naik lagi ke angka 6,2%, dan bahkan tahun 2011 menjadi 6,5%. Oleh dunia, Indonesia dinilai berhasil meminimalkan dampak krisis global tahun 2008 dulu. Jadi ada alasan yang sah. “Bail-out” Bank Century adalah solusi. Kalau kita kaitkan dengan jebolnya keuangan Jiwasraya sebesar 13,7 triliun rupiah saat ini, adakah alasan yang dapat diterima akal sehat mengapa itu terjadi? Inilah yang ingin diketahui oleh rakyat kita.
Saya juga sangat yakin bahwa dulu baik Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI Boediono tak punya niat buruk. Tujuannya adalah agar ekonomi Indonesia selamat dari krisis. Itu juga yang saya lakukan dan ikhtiarkan siang dan malam sebagai Presiden. Alhamdulillah, ekonomi kita selamat. Tidak jatuh seperti di tahun 1998 dulu. Saya yakin pula kedua pejabat itu (SMI & Boediono) tak melakukan korupsi. Meskipun untuk “bail-out” Bank Century itu tak perlu meminta ijin saya sebagai Presiden, tetapi keduanya diberikan wewenang oleh undang-undang untuk mengambil keputusan. Jadi, yang mereka lakukan sah dan kuat secara hukum.
Perihal tuduhan ada aliran dana yang besar ke Tim Sukses SBY saya justru mendorong dilakukannya audit oleh BPK. Silahkan dicek apakah memang ada aliran dana ke situ. Terhadap pihak yang melemparkan fitnah kepada sejumlah nama, yang dituduh menerima dana Bank Century, juga saya dorong untuk diselesaikan di mahkamah pengadilan. Saya berani “menantang” siapapun yang memfitnah. Ini penting agar secara terbuka dapat diketahui siapa yang salah dan siapa yang benar. KPK saya tahu juga sudah bekerja. Hasilnya, memang tak ada aliran dana apapun ke Tim Sukses SBY dan Partai Demokrat. Tak ada pula aliran dana Bank Century ke kantong saya. Itu haram. Saya ingin, baik melalui Pansus maupun jalur hukum semua proses dibuka, dan rakyat bisa mengikutinya. Kalau tidak, mungkin sampai sekarang masih ada yang menyangka ada korupsi dan aliran dana Bank Century ke tangan-tangan pihak yang berkuasa, termasuk ke jajaran Partai Demokrat.
Kita ingin Indonesia menjalankan politik yang berkeadaban. Jangan suka main tuduh, main fitnah dan “character assassination”. Selama 10 tahun saya mengemban amanah dulu, tak pernah henti saya menerima tuduhan, fitnah dan juga pembunuhan karakter. Sebagai manusia saya, dan juga almarhumah Ani Yudhoyono, sangat merasakan betapa menderita dan tidak adilnya perlakuan sebagian kalangan itu. Karenanya, saya menyeru janganlah cara-cara buruk itu terus kita jalankan di negeri ini. Tak perlu presiden-presiden setelah saya harus mengalami nasib yang sama.
Pintu gerbang untuk mencegah krisis keuangan yang lebih besar
Opini dan persepsi yang berkembang di masyarakat saat ini adalah pemerintah dituduh ingin menutupi dan melokalisasi kasus besar Jiwasraya ini. Mengapa ditutup-tutupi, kata mereka, karena pemerintah ingin mengamankan, melindungi dan menyelamatkan pihak-pihak tertentu. Gagasan untuk membentuk Pansus di DPR RI nampaknya juga mengalami hambatan dan bahkan seolah “ditutup” jalannya. Padahal, banyak pihak meyakini bahwa dengan digunakannya hak angket oleh DPR RI, penyelidikan dapat dilakukan secara menyeluruh kepada siapapun. Kepada pihak manapun yang punya kaitan dengan krisis keuangan di Jiwasraya. Bahkan terhadap yang melakukan penyimpangan di BUMN-BUMN yang lain.
Tentu saja persepsi publik seperti itu belum tentu benar. Bisa salah. Saya tidak tahu mengapa masyarakat (meskipun tidak semua) punya persepsi seperti itu. Saya juga tidak tahu apakah itu sebuah “halusinasi”, atau mereka merasa memiliki informasi yang sahih.
Tetapi, di sisi lain mungkin pula pemerintah punya alasan mengapa “tidak setuju” atas dibentuknya Pansus untuk menyelidiki mega skandal yang terjadi di Jiwasraya. Namun, perlu diingat, sebenarnya Pansus atau bukan Pansus itu sepenuhnya merupakan hak dan kewenangan DPR RI. Kewenangan lembaga legislatif. Bukan kewenangan pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Begitu bunyi konstitusi kita (UUD 1945). Saya kira semua juga setuju bahwa era di mana parlemen (DPR) hanya mengikuti kemauan pemerintah seperti di era otoritarian dulu sudah berakhir.
Dengan terjadinya krisis besar di Jiwasraya ini, ditambah informasi yang dapat dipercaya bahwa sejumlah BUMN yang lain juga mengalami permasalahan yang relatif serius, Asabri misalnya, saatnya negara melakukan koreksi besar. Melakukan perbaikan total. Atau bahkan bersih-bersih. Bisa saja kasus Jiwasraya ini ibarat sebuah “puncak dari gunung es”. Nampak kecil di atas permukaan, ternyata besar yang tidak kelihatan. Kalau secara kumulatif kerugian negara mencapai jumlah puluhan triliun, sebenarnya itu sudah tergolong krisis besar. Sangat bisa bersifat sistemik, terstruktur dan masif. Barangkali tidak keliru apa yang dikatakan oleh BPK bahwa krisis keuangan Jiwasraya ini bersifat sistemik dan “gigantic”.
Jika setelah dilakukan penyelidikan yang serius dan komprehensif ternyata ditemukan kesamaan “modus” penggelapan uang rakyat, negara tidak boleh menyepelekan kasus-kasus penyimpangan ini. Apalagi jika ternyata otak dan operatornya berasal dari kelompok yang sama. Apalagi pula jika kecerobohan dan penyimpangan itu dilakukan dengan metodologi yang sama.
Bagaimana jika modus investasi di “saham gorengan” ini juga terjadi di lembaga asuransi atau menyangkut dana pensiun di lembaga-lembaga yang lain. Misalnya jika ternyata juga terjadi di Asabri yang katanya potensi kerugiannya mencapai 10 hingga 16 triliun rupiah. Atau juga jika terjadi di PT. Taspen yang diinformasikan memiliki pertumbuhan investasi saham minus 23% dalam dua tahun terakhir. Mudah-mudahan informasi yang sangat mencemaskan ini tidak benar adanya. Artinya apa yang berkembang di masyarakat luas itu tidak benar. Benar atau tidak benar sesungguhnya dapat diketahui jika pemeriksaan dan penyelidikan terhadap kasus-kasus ini dilakukan secara “open, transparant and comprehensive”.
Masalah menjadi lebih serius jika ternyata keserampangan dan juga penyimpangan pengelolaan keuangan korporat ini terjadi di BUMN-BUMN lain. Maksudnya, bukan hanya lembaga asuransi dan dana pensiun semata. Ingat aset BUMN secara nasional lebih dari 8.000 triliun rupiah. Jangan sampai negara dan rakyat “kecolongan” bahwa miliknya banyak yang telah “raib”. Raib karena ketidak beresan dan penyimpangan yang terjadi di perusahaan-perusahaan itu.
Karenanya, saatnya telah tiba untuk melakukan koreksi dan perbaikan total. Membiarkan penyimpangan seperti ini terjadi, dan terus terjadi, menurut saya adalah sebuah kejahatan. Jika setelah kita lakukan penyelidikan jumlah uang negara yang raib ini tidak sebesar yang diduga banyak kalangan, tetap saja ada manfaatnya. Artinya, negara bisa melakukan pencegahan dan peringatan keras kepada siapapun yang tidak cakap dan lalai dalam mengelola keuangan BUMN. Tapi, jika ternyata jumlah kerugian keuangan negara itu sedemikian besarnya, tindakan yang tegas dan tuntas harus dilakukan. Tindakan demikian akan dapat menyelamatkan Indonesia dari krisis yang lebih besar lagi di masa depan.
Saya yakin, Presiden Jokowi juga ingin penyimpangan-penyimpangan serius ini bisa diungkap semuanya, dan yang bersalah diberikan sanksi yang adil. Pasti Presiden Jokowi tidak ingin ada permasalahan serius terbiarkan dan terus berlangsung, sehingga negeri ini menyimpan banyak “bom waktu”. Bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan mengakibatkan terjadinya krisis besar. Pasti pula presiden kita ingin mengakhiri masa jabatannya dengan baik dan tidak membiarkan terjadinya skandal-skandal berskala besar yang sangat melukai hati rakyat kita.