SBY, Mengapa Harus Wayang? Ini Anekdot tentang Kekuasaan
Wayang dan dunia perwayangan, adalah khas seni pertunjukkan rakyat di Nusantara. Wayang menjadi hiburan sekaligus sebagai tuntunan.
Wayang pun menjadi alat komunikasi efektif. Hal yang pernah dilakukan sejumlah tokoh bangsa, seperti HOS Tjokroaminoto, Bung Karno dan hingga kini masih tetap efektif.
Fachry Ali, pengamat sosial politik, berkisah tentang Susilo Bambang Yudhoyono, saat menjadi menteri hingga menjadi Presiden di Republik ini. Apa yang terjadi? Inilah anekdot khas Fachry Ali:
Pada 2000, saya masuk ke ruang kerja Mentamben (Menteri Pertambangan, Mineral dan Energi) Susilo Bambang Yudhoyono. Entah mengapa, saya diminta menjadi ‘penasihat’ sosial-budaya kementerian yang kini bernama ESDM itu.
Tapi, kami telah saling kenal satu atau dua tahun sebelumnya. Sebagai anak buah Panglima ABRI Wiranto dalam bidang sosial-politik (dulu namanya Kasospol yang di masa itu diganti, tapi lupa namanya), SBY banyak mengundang kaum cerdik cendekia mendiskusikan krisis politik awal reformasi 1998. Walau tak termasuk cerdik-cendekia, saya ikut diundang. Mungkin, karena itulah saya diminta menjadi ‘penasihat’ sosial-budaya ketika SBY menjadi Mentamben.
Tapi, ketika saya masuk ke ruang kerjanya itu, saya tidak bicara soal energi. Melainkan, hal-hal lain. Antara lain, SBY bercerita bahwa idealnya karir seorang prajurit Angkatan Darat (AD) sampai kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
‘Tetapi,’ katanya, ‘Presiden Abdurrahman Wahid memberi tugas lain. Harus diterima,’ tutupnya.
Saya pamit. Dia mengantar saya ke pintu. Sambil berjalan, saya beri komen tentang ruang kerjanya: ‘Mas, ruang kerja Anda sederhana sekali.’
SBY, sambil tetap berjalan, berkali-kali menengok ke belakang, ke tempat meja kerjanya —yang memang sederhana itu.
Lalu, saya pulang.
Di perjalanan, saya mengingat kembali apa yang saya sampaikan kepada SBY. Yaitu, sebuah kalimat: ‘Mas, Anda bisa menjadi pemimpin puncak nasional. Mulai sekarang belajarlah dunia pewayangan.’
SBY menatap saya dalam-dalam. Lalu ia bertanya: ‘Mengapa wayang?’
‘Karena,’ jawab saya, ‘mayoritas penduduk Indonesia berasal dari Jawa. Dengan menggunakan logika dan bahasa dunia perwayangan, Anda akan jauh lebih komunikatif berhadapan dengan mayoritas penduduk Indonesia.’
(Dalam petemuan selanjutnya, saya beri fotokopi buku saya —‘Refleksi Paham Kekuasaan Jawa dalam Indonesia Modern yang tetbit pada 1986— kepada SBY).
Mendengar jawaban saya di atas, SBY berkata: ‘Mengapa saya bertanya (tadi)? Sebab saya mau mencocokkan pikiran. Dan, pikiran kita sama,’ tutupnya.
Pembicaraan inti itu berakhir dengan kalimat pamungkas SBY. Sambil telunjuknya mengarah ke atas, SBY berkata: ‘Tapi tidak sekarang.’ Maksudnya, SBY tidak akan maju (menjadi pemimpin nasional) selagi Kiai Abdurrahman Wahid masih presiden.
Pada 2004, SBY maju —walau harus berhadapan dengan mantan atasannya: Wiranto dan Megawati. Hasilnya, kita telah tahu semua.
Advertisement