Istri Guru Budi: Saya Sekarang Sendiri, Hanya Bersama Janin dalam Rahim Ini
Mukanya kuyu. Pucat. Sepertinya tidak kena asupan makanan sama sekali. Nyaris dua hari. Terhitung sejak suaminya pulang lebih cepat, lalu mengeluhkan sakit di kepala, kemudian dilarikan ke rumah sakit di Surabaya, dan dipulangkan lagi ke Sampang-Madura, hingga dimakamkan hari ini.
Padahal perutnya tengah membuncit hampir lima bulan. Sudah kelihatan membesar kehamilan itu. Maka keluarga pada takut, namun perempuan ini tetap tidak merasa lapar hingga suaminya, Achmad Budi Cahyono dikuburkan dengan benar.
Sianit Shinta nama perempuan ini. Mulutnya begitu pelan mengeja namanya. Seperti tak bertenaga meski hanya bersuara. Begitu keluar suara, suara itu mengambang dan tercekat di rongga dada. Ada serak begitu dalam yang tak mampu keluar bersama sedihnya yang tiada tara.
"Suamiku sudah dikuburkan mas. Saya sendiri sekarang, bayi ini juga akan sendiri nanti," suaranya beriring kesedihan.
Anit nama panggilan perempuan sederhana ini. Itu panggilan di rumah. Kala dia sekolah di MAN Sampang dulu, teman-temannya memanggilnya dengan Shinta.
Anit berkisah, tak ada firasat apapun yang mendahului bahwa dia bakal ditinggal Achmad Budi Cahyono untuk selamanya ketika tengah mengandung begini. Siang itu, dirinya sedang bersih-bersih di dapur. Anit hanya mendengar suara motor suaminya masuk halaman rumah.
Selesai bekerja di dapur, dia mencari suaminya untuk ditawari makan siang. Ternyata suaminya terlentang di kasur. Mirip orang sedang istirahat. Matanya terpejam tanpa melihat kedatangan sang istri.
"Makan Mas," suara Anit seperti biasa menawari makan bila Budi, suaminya ini, pulang dari mengajar di SMU 1 Torjun.
Budi saat itu hanya menggeleng pelan. Lalu membuka suara, tangganya memegangi kepala, "Kepalaku sakit habis dipukul murid." Lalu, dari terlentang pindah posisi miring menghadap tembok.
Rupanya itu posisi terakhir Budi berada di pembaringannya. Sambil memegangi kepala sebelah kiri dia lalu muntahkan cairan. Muntah itu berlanjut hingga Anit dan Muji (mertuanya) segera menggotong Budi ke Puskesmas Jrenggik, Sampang.
Anit hingga saat itu masih belumĀ berfirasat bahwa suaminya bakal seberat itu. Suaminya akan pergi selamanya.
Melihat situasi yang darurat itu, petugas Puskesmas dan dokter sigap melarikan budi sekencang mungkin ke RSUD Dr Soetomo, Surabaya. Tapi Gusti Allah berkehendak lain, guru Budi pergi selamanya meninggal istri yang tengah mengandung buah kasih sayangnya. (*)
Advertisement