Saya Pancasila, Kamu Siapa?
Oleh: Erros Djarot
Hari lahirnya Pancasila 1 Juni, baru saja kita rayakan. Lazimnya sebuah perayaan, suasana bernuansa festive dengan beragam seremoni yang lherrr dan wah, telah menghiasi dan mewarnai kehidupan kita pada hari itu. Hal yang sangat menarik adalah ketika ramai di berbagai WA group, ribuan bahkan mungkin jutaan, beredar ucapan selamat atas hari lahirnya Pancasila yang disertai foto pribadi berikut ucapan…’Saya Pancasila’.
Pernyataan diri ‘Saya Pancasila’ ini, dikirim oleh beragam manusia Indonesia dengan berbagai latar belakang kehidupan yang melekat pada dirinya. Dari mulai mereka yang berintegritas tinggi hingga yang rendah dan yang sangat rendah. Mereka yang dalam kesehariannya dekat dengan dunia yang serba hitam, turut pula meramaikan pembaptisan diri...’Saya Pancasila..!”. Para pecundang dan para koruptor pun dengan gagahnya tampil menepuk dada dan seraya berseru..’Saya Pancasila..!”.
Luar biasanya, semua bisa menerima tanpa sedikit pun ada rasa yang terusik. Proklamasi diri ‘Saya Pancasila’ ini dianggap wajar dan biasa-biasa saja, bahkan menjadi hal yang membanggakan dan seakan asyik untuk dilakukan. Sekali pun, bagi mereka yang masih menggunakan kacamata batin dan nalar yang jernih, peristiwa pengakuan diri secara massal sebagai..’Saya Pancasila”, merupakan adegan yang dalam bahasa panggungnya dikenal sebagai sebuah sajian bitter comedy yang luar biasa.
Agaknya, menyatakan diri sebagai..’Saya Pancasila’ secara publik yang meluas, telah dijadikan tolok ukur keberhasilan membumikan Pancasila. Sebagai ukuran keberhasilan menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup masyarakat luas. Terkesan kuat ‘negara’ atau para pemangku/pejabat pada institusi yang menangani masalah ideologi Pancasila (BPIP), berada pada pilihan tersebut. Sementara dalam kehidupan nyata, tak satu pun ruang percontohan dan perilaku para elite yang bisa dijadikan tempat atau sosok di mana keteladanan dapat diikuti, dicermati, dan dijadikan percontohan.
Begitulah bila kita sebagai bangsa yang selalu terjebak untuk membanggakan kulit ketimbang isi. Terbiasa membesarkan dan mengagungkan seremoni ketimbang substansi. Maka sosialisasi kata ‘Saya Pancasila’ di awal kehadirannya yang menurut sang penggagas agar kaum milenial mudah mengerti dan akrab dengan kata ‘Pancasila’, sungguh menyedihkan. Demi millinealisme, negara tak ambil peduli bangsa ini menjadi kehilangan pemahaman dan pengetahuan tentang dunia bahasa dan implikasinya ketika peran ‘subyek, obyek, dan predikat’ dimasukan ke dalam tong sampah.
Akibatnya, kedudukan dan pemahaman tentang apa, siapa, mengapa, dan bagaimana, menjadi tak penting. Yang penting segalanya berjalan sesuai jargon ‘pokoke’! Apalagi ketika sikap, pikiran, dan pandangan yang kritis, disingkirkan dan terpenjara dalam kegelapan. Sebagai dampak, perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, belakangan ini bukan malah menurun, tapi justru berkembang begitu masif. Korupsi berjamaah pun sudah menjadi hal yang biasa. Menebar kebencian hal yang rutin dilakukan oleh kaum yang menamakan diri kelompok ‘Kadrun’ di satu sisi, dan ‘Cebong’ di sisi lain yang saling berseberangan, bermusuhan.
Tragisnya para petinggi negeri di jajaran pemerintahan dan partai politik, seakan membiarkan hal ini berkepanjangan terjadi. Seperti membiarkan rakyat terus ribut dan rusuh agar lupa akan hal-hal penting dan yang lebih substansial dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nah, ketika rakyat berseteru dan usreg di ruang konflik, para elite dan petinggi negara lebih merasa santai bagi-bagi hasil rampokan kekayaan negara. Apalagi bila para wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat, ikut secara berjamaah mengamankan zona nyaman ini.
Bangsa ini pun menjadi kumpulan manusia yang merasa tidak penting lagi menyelaraskan antara ucapan dan tindakan. Yang menjadikan kebohongan dan manipulasi sebagai cara paling efektif untuk secepatnya mancapai tujuan mewujudkan impian. Di mana pembenaran lebih mengemuka ketimbang menjunjung tinggi kebenaran. Pendeknya, terbangunlah dunia yang bertumpu di atas nilai serba paradoks dan salah kaprah.
Oleh karenanya, jadikan setiap hadirnya 1 Juni, hari lahirnya Pancasila, sebagai hari untuk mengkaji dan secara jujur menilai diri, sejauh mana kita sebagai bangsa telah memenuhi amanat dari cita-cita revolusi Indonesia 1945? Intinya, senantiasa mempertanyakan; apakah sebuah kehendak kebudayaan bangsa yang berpijak pada nilai-nilai Pancasila, telah terbangun di jalan yang semestinya? Bukan yang dibangun dengan spirit dan agenda terselubung di seputar rumusan dan pemikiran UUD 2002.
Sebagai ajakan, setiap 1 Juni jadikan hari di mana rakyat wajib mempertanyakan; sejauh mana pemerintah dan para elite penyelenggara negara telah benar-benar menjalankan dengan sungguh-sungguh amanat UUD 1945. Jadikan penilaian ini sebagai tolok ukur pemahaman dan penghayatan mereka terhadap Pancasila?! Hanya dengan demikian rakyat akan paham dan bangun dalam kesadaran bahwa setinggi, seluas, dan selebar apapun gedung-gedung dan jalan-jalan dibangun, tidak ada artinya dan tetap harus dianggap sebagai kegagalan. Tentunya bila tugas utama sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD'45 dilupakan!
Seperti bila dalam kenyataan rakyat menjadi bertambah bodoh karena biaya pendidikan semakin tinggi dan kehilangan budi pekerti; rakyat semakin miskin karena sekelompok warga yang sangat teramat kecil semakin menjadi kaya, sementara mayoritas rakyat menjadi semakin miskin; warga papa, para janda, dan para lansia tak terurus oleh negara; dan terutama kesejahteraan dan keadilan sosial semakin jauh dari kehidupan rakyat!
Tugas utama dari setiap pemerintah di republik ini adalah menjadikan apa yang diamanatkan oleh UUD 1945 berdasarkan Pancasila menjadi tugas pokok dan kewajiban utama. Bukan bangunan yang ini yang itu, bahkan pindah ibu kota pun harus ditempatkan sebagai tugas berikut, tugas sekunder bahkan tertier, setelah tugas utama diselesaikan! Pembangunan infrastruktur sekalipun, harus tetap dipertanyakan secara kritis; berikan jaminan dan pembuktian bahwa semua itu dirancang untuk memenuhi tuntutan pelaksanaan amanat UUD’45 sebagaimana terjabar di atas. Utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bukan malah mempertinggi kesejahteraan para pemilik modal, keluarga penguasa, dan para Cukong!
Tanpa kejelasan jawaban terhadap pertanyaan di atas, layak untuk dipertanyakan; legacy apa dan untuk siapa gencarnya pembangunan semua ini? Sekalipun ‘Saya Pancasila’ digemakan dan telah menggema di seantero langit Nusantara!
*Dikutip sepenuhnya dari Watyutink.Com
Advertisement