Saya, Kita dan Indonesia
SAMPUL majalah Time edisi 25 Desember 2006–1 Desember 2007 itu agak berbeda dengan sampul edisi khusus Person of the Year tahun-tahun sebelumnya. Biasanya pada sampul edisi khusus semacam itu kita akan mendapati gambar seorang atau sekelompok orang yang dipandang Time layak ditokohkan tahun itu. Namun, untuk edisi akhir 2006 itu tak ada sepotong pun wajah di sampul Time.
Alih-alih, yang kita sua adalah gambar monitor komputer personal. Khusus pada bagian layar monitornya, cetakan dibuat khusus menyerupai cermin. Walhasil, siapapun yang memegang sampul majalah itu akan melihat pantulan wajahnya sendiri di layar monitor komputer itu. Ya, hanya itulah yang tergambar di sampul Time. Di tengah layar monitor itu tertera secara menyolok: “You.”. Lalu, di bawah gambar komputer itu tertulis, “Yes, You. You Control the Information Age. Welcome to Your World.”
Ya. Menurut Time, Andalah yang mengendalikan era informasi ini, menjadi pemilik dari dunia yang Anda kendalikan sendiri itu. Maka, “Anda” adalah “Tokoh Tahun Ini”.
Menurut hemat saya, Time telah melakukan pilihan “tokoh” yang sangat tepat. Di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat, setiap orang memang dipersilakan menyusun sejarah hidupnya sendiri. Di tengah era komputer, internet dan kemudian teknologi mobile yang begitu maju, “Anda” berkesempatan menjadi tokoh yang menentukan cetak biru wajah dunia.
Dengan pilihannya itu, Time menegaskan bahwa zaman orang-orang besar yang di-pahlawan-kan telah berakhir. Sebagai gantinya, datanglah zaman orang-orang biasa. Setiap orang mendapat kesempatan menjadi pahlawan, setidaknya untuk jalan hidupnya sendiri. Setiap orang menjadi penentu jalannya sejarah.
Peranan kesejarahan itu bahkan diemban oleh setiap orang dengan cara yang sangat sederhana dan mudah: Dengan satu, dua, atau beberapa jentikan jari pada tuts keyboard atau keypad komputer. Sejarah pun berjalan seperti paradoks: Ketika teknologi berkembang begitu canggih, hidup jadi semakin sederhana. Ketika hidup semakin modern dengan melibatkan variabel tak terhingga, ketika itulah setiap orang diberi kesempatan menghela sejarahnya masing-masing.
Dulu, berlaku adagium bahwa sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Sang Pemenang di zaman dulu adalah seseorang atau sekelompok kecil orang yang memiliki sumber daya cukup untuk merebut kendali atas orang banyak. Sekarang, adagium itu boleh jadi tetap belum tergoyahkan. Sejarah tetap saja ditulis oleh para pemenang. Tetapi, tiap orang mengendalikan sendiri hidupnya lewat akses yang ia miliki terhadap teknologi informasi dan komunikasi yang semakin personal. Orang tak lagi susah payah berebut kendali atas orang lain, tetapi merebut kendali atas dirinya sendiri.
Maka, di zaman ini, setiap orang memproklamasikan sendiri kemerdekaannya serta merayakan kebebasan mereka dengan menentukan sendiri jalan hidup mereka.
Inilah zaman kita. Di zaman semacam ini, setiap orang memiliki keleluasaan untuk mengekspresikan dirinya tanpa tergantung pihak lain. Dalam keadaan inilah setiap orang berpotensi melakukan dan menjadi apapun yang mereka kehendaki: penyair, perupa, demonstran, penggugat kebijakan, dan seterusnya.
Dalam zaman semacam inilah kita selayaknya memaklumatkan tempat saya, Anda dan kita dalam Indonesia. Saya, Anda dan kita adalah anak-anak zaman kini.
Di zaman lampau, Indonesia dirumuskan duluan. Jadilah Indonesia itu sebuah satuan besar yang kepadanya saya, Anda dan kita (yang hidup di zaman lampau itu) berorientasi. Sebagai satuan besar, Indonesia juga menjadi semacan standard. Lalu, kita diseragamkan ei bawah standard itu.
Maka di zaman lampau, sentralisasi seolah tak terhindarkan. Bukankah bagi upaya penyeragaman di negeri sebesar Indonesia, sentralisasi menjadi satu-satunya opsi?
Di zaman lampau pun sejarah menjadi hikayat orang besar. Sepanjang sejarah persekolahan saya, sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, ruang-ruang kelas tempat kami belajar dipenuhi oleh gambar para pahlawan. Kurikulum sejarah pun mengajarkan bahwa orang-orang besar itu adalah penghela sejarah Indonesia. Jika tak ada mereka, begitulah menurut narasi zaman itu, maka Indonesia tak akan pernah sebesar sekarang (saat itu).
Zaman kini menawarkan narasi sangat berbeda. Seperti digambarkan jitu lewat sampul majalah Time itu, setiap orang lah, orang per orang, yang membentuk corak dan wajah satuan-satuan besar. Bukan sebaliknya seperti di zaman lampau.
Walhasil, di zaman ini kita tak bisa menunggu Indonesia membentuk kita. Alih-alih, kita lah yang mesti bergerak aktif, proaktif, membentuk Indonesia. Setiap orang dituntut ikut memberi corak, warna dan perwajahan Indonesia.
Jika demikian, saya, Anda dan kita berhadapan dengan sebuah pertanyaan sungguh mendasar: Lalu, apa lagi yang kalian tunggu?
(Jakarta, 15 November 2013 - 5 Agustus 2017)
*) Eep Saefulloh Fatah adalah budayawan dan owner PolmarkIndonesia
Advertisement