“SAYA INI ORANG DESA,” kata Yahya Muhaimin
Oleh Hamid Basyaib
Sejak Pak Yahya Muhaimin menjabat Menteri Pendidikan Nasional saya hanya satu kali berjumpa dengannya. Waktu itu ia baru beberapa bulan menjabat (era Presiden Gus Dur, 1999-2001); kami bertemu di rumah Nono Makarim, pengacara dan aktivis 66 yang menjadi sahabatnya sejak mereka sama-sama belajar di Amerika (ia belajar ilmu politik di MIT, Nono mengambil studi hukum di Harvard).
Kami membahas peluang yang mestinya diberikan juga kepada anak-anak Indonesia agar bisa belajar di Jakarta International School; sebelumnya JIS eksklusif untuk warga asing. Direktur JIS juga hadir dalam pertemuan delapan mata itu.
Sepanjang yang saya kenal sejak pertengahan 1980an di Jogja, ia bukanlah orang yang tegar dan tahan terhadap tekanan—termasuk tekanan pekerjaan. Karena itu, mengingat beratnya tugas yang dipikulnya sebagai menteri pendidikan, saya mencoba menghiburnya dengan semacam antisipasi permakluman.
Ada tokoh yang bilang, kata saya, bahwa urusan pendidikan kita begitu ruwetnya sampai-sampai siapa pun yang menjadi menteri pendidikan tidak akan berhasil. Implikasinya: jika ia tidak sukses selama lima tahun menjabat, jangan kuatir, publik akan memaklumi. Mengurus pendidikan SD hingga universitas, dengan 60 jutaan murid/mahasiswa yang tersebar di begitu luas wilayah dengan tingkat kemajuan yang sangat bervariasi, memang adalah kerja raksasa yang butuh waktu lama untuk membuatnya beres. Lima tahun pasti bukan masa yang cukup untuk itu.
Tanggapan Yahya di luar dugaan.
“Sebenarnya masalahnya tidak terlalu rumit,” katanya, dengan suara khasnya yang pelan. “Kalau kita telusuri masalahnya satu per satu, akan terlihat gambarannya dengan jelas.”
Saya terdiam, tak ingin mendebatnya. Waktu itu saya simpulkan dengan cepat (mungkin terlalu cepat): ia tidak cukup menghayati serba-masalah yang membelit pendidikan kita — dari mulai kondisi gedung sekolah di daerah-daerah terpencil yang kebanyakan tidak memenuhi syarat, kurikulum yang berganti-ganti seiring pergantian menterinya, sampai lulusan perguruan tinggi yang tidak siap-pakai, penyediaan buku teks oleh pemerintah yang menjadi lahan bisnis para kroni penguasa dst. Atau barangkali kami berbeda pemahaman dalam memaknai pendidikan sebagai sistem nasional.
*
Dalam renungan belakangan, optimisme dan confidence-nya itu saya pikir karena profesi abadinya sebagai guru. Ia bukan hanya mengajar selama puluhan tahun di Fisipol UGM, dan pernah menjadi dekannya, tapi seminggu sekali tetap mengajar di SMP yang bernaung di bawah yayasan keluarganya di Bumiayu. Pasti sekolahan itu satu-satunya yang punya guru SMP bergelar doktor ilmu politik lulusan Amerika.
Jika saya menemuinya di ruang dosen di UGM, kadang ia menerima telepon dan bicara tentang hal-hal yang sangat teknis tentang proses belajar-mengajar di sekolahan itu; bahkan juga tentang fasilitas sederhana di sana yang terganggu; mereka harus melaporkannya kepada Yahya karena ia ketua yayasan.
Begitulah, setiap Kamis sore ia pulang ke kampung halamannya untuk mengajar bahasa Inggris dan mengurus hal-hal lain di sekolah di sebuah kecamatan di Jawa Tengah. Saya tidak tahu apakah kewajiban mengajarnya tetap ia amalkan setelah ia menjabat Mendiknas. Ia kemudian memperluas yayasannya dengan mendirikan Universitas Peradaban yang kini cukup maju, dengan menekankan studi tentang isu-isu lokal.
Optimismenya, juga keikhlasannya — misalnya berupa kesediaan mengajar di SMP kecil itu — tampaknya didorong oleh semangat dan pemahaman keagamaannya yang bersahaja. Ia melihat dan menempatkan diri sebagai warga Muhammadiyah biasa, dengan segenap concern masyhurnya dalam urusan pendidikan, dan menjalankan kewajiban-kewajiban standar seperti diajarkan oleh ajaran baku. Ia tak pernah tertarik membahas isu-isu besar dalam agama, apalagi tentang seluk-beluk fikih yang bersumber dari literatur abad pertengahan.
Baginya, beragama berarti menjalankan saja semua perintah pokok agama sebisa-bisanya, lalu terus berusaha menjadi manusia terbaik, yaitu manusia yang berguna untuk sebanyak mungkin orang lain.
Dalam hampir semua hal—apalagi dalam isu khilafiyah keagamaan—ia cenderung memilih sisi yang mapan dalam suatu kontroversi. Ia, misalnya, mengikuti posisi mainstream dalam isu bunga bank. Selama kuliah di Amerika ia menitipkan dana beasiswanya ke rekening bank Nono Makarim, karena takut pada tambahannya berupa interes. Ia hanya mau menerima dana sejumlah nominal beasiswa tersebut, dan merelakan bunganya kepada pemilik rekening yang dititipinya — yang dengan senang hati menerima hibah interes itu.
Begitu pula sikapnya dalam kontroversi di seputar disertasinya yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh LP3ES Jakarta, berjudul “Bisnis dan Politik di Indonesia”. Buku itu, yang dianggap banyak kemiripan dengan karya Richard Robison (Universitas Murdoch, Australia), memunculkan kehebohan politik. Ia mengungkap jalinan koneksi bisnis dengan kekuasaan. Bisnis para konglomerat bisa begitu besar, katanya, adalah berkat klientelisme dan patronase dari penguasa politik.
Banyak pengusaha besar yang jengkel pada pengungkapan itu, dan salah satunya sampai menggugat ke pengadilan: Probosutedjo, adik tiri Presiden Suharto yang di pertengahan 1980an itu sedang di puncak kekuasaan. Semua sahabatnya lebih dari siap untuk membelanya di pengadilan. Inilah peluang emas untuk menunjukkan bahwa kaum aktivis, civil society, tidak akan tinggal diam menghadapi tekanan politik yang menggunakan topeng hukum.
Barisan dirapatkan, konsolidasi dirapikan di Jakarta, dan kantor LP3ES dijadikan posko perlawanan. Risiko dari perlawanan ini dirasa tidak terlalu gawat, meski yang dihadapi tak kurang dari adik Presiden Suharto. Setidak-tidaknya, isunya adalah isu bisnis, bukan isu politik.
Sebagai pengacara bereputasi tinggi, Nono Makarim siap mengerahkan segenap pengetahuan dan pengalamannya sebagai corporate lawyer. Semangat kaum intelektual itu pun dilandaskan pada isu fundamental berupa kemerdekaan akademis. Semua bidang sudah terkooptasi dan dijinakkan.
Jika kemerdekaan akademis pun dibekuk, tak ada lagi prinsip dan keluhuran apa pun yang tersisa di Indonesia. Gugatan terhadap disertasi Yahya Muhaimin memenuhi semua elemen itu; sebuah karya akademis yang mau digugat dengan tuntutan nilai uang yang tak mungkin dipenuhi, bahkan kalaupun penulis buku itu menjual seluruh aset keluarga besarnya. Gugatan Probosutedjo tidak bisa ditafsirkan lain kecuali sekadar cara memiskinkan dan menyengsarakan penulis buku dan keluarganya, dan sikap kapoknya pasti akan membuat jera siapa saja yang mau coba-coba bikin ulah serupa.
Genderang perang dari barisan aktivis sudah ditabuh bertalu-talu, semua persiapan untuk perang legal sudah matang. Lalu terjadi anti klimaks. Yahya Muhaimin menyatakan minta maaf atas hal-hal yang ditulisnya, khususnya tentang Probosutedjo dan bisnis-bisnisnya. Buku ditarik dari peredaran. Case closed. Hidup kembali berjalan dengan sepenuh kedamaian—terutama bagi Yahya Muhaimin dan keluarganya.
Kami di Jogja, yang mengikuti perjalanan kasusnya dengan berdebar dan emosional, ikut kecewa berat. Saya mendatangi Pak Yahya di kantornya di kampus UGM, dan ia dengan kalem menceritakan inti urusannya.
“Saya sudah siapkan semua dokumen pendukung untuk dihadirkan di pengadilan,” katanya, menyebut timbunan dokumen bahan disertasinya, yang semuanya masih tersimpan rapi. “Tapi kemudian ibu saya melarang (meneruskan perkara). Jadi saya hentikan (upaya perlawanan).”
Menurut Yahya, Nono Makarim termasuk yang sangat kecewa. “Tapi saya bilang pada Nono: saya ini orang desa, No. Saya bukan orang kota seperti kamu. Saya tidak terbiasa berkonflik seperti ini. Dan ibu saya melarang saya…”
Lawyer paling tangguh dan pendukung paling militan pun tentu tidak berdaya jika yang harus ditentang adalah perintah ibunda.
*
Berhenti dari jabatan Mendiknas RI, ia kembali ke Bulaksumur. Gairah terbesarnya adalah pendidikan—ia pernah menjabat atase pendidikan di Kedubes RI di Washington; mengetuai majelis pendidikan tinggi di PP Muhammadiyah, selain mendirikan pusat studi Jepang dan pusat studi perdamaian di lingkungan UGM.
Ia pasti punya lebih banyak waktu untuk menghitung berapa meja-kursi kelas yang harus diganti di yayasan keluarganya di Bumiayu, kota kecil yang semua warga mengenal keluarga besarnya sebagai saudagar lama yang terpandang.
Ia sangat mengurangi keterlibatan politik. Ia, seorang murid tokoh besar ilmu politik Lucian Pye di MIT, menekuni politik sebagai ilmu, bukan sebagai “seni”, dan justru tak pernah bisa nyaman hidup di ruang realpolitik yang identik dengan konflik dan power struggle. Ia tetaplah santri Muhammadiyah dengan segenap puritanisme sosialnya yang bersahaja.
Rabu pagi ini, sekitar pukul 10 pagi, ia terlelap abadi di Purwokerto, tiga bulan menjelang usia 79.