Saya Indonesia. Saya Pancasila, Strategi Marketing Presiden Jokowi
SUDAH sempat mendengarkan lagu “Saya Indonesia. Saya Pancasila” yang dinyanyikan oleh Presiden Jokowi?
Rekaman lagu tersebut tersebar di sejumlah paltform media sosial (medsos) dalam sepekan terakhir, bersamaan dengan peluncuran kampanye dengan tagline yang sama, untuk menyambut Hari Lahir Pancasila 1 Juni.
Lagu berdurasi 33 detik itu dinyanyikan oleh Presiden Jokowi. Dalam partitur yang juga tersebar di medsos, lagu yang digubah oleh komponis Theo Sunu Widodo itu syairnya digubah sendiri oleh Jokowi.
Jadi selain bisa bernyanyi, ternyata Jokowi juga bisa menciptakan syair. Sebuah talenta luar biasa yang selama ini jarang diketahui publik.
Suaranya cukup merdu dan masuk kategori bariton. Jenis tengah suara pria antara tenor dan bass.
Suara Jokowi terdengar serius dan bersemangat ketika mengucapkannya. Ada sedikit nada gembira yang terasa. Syairnya sangat mudah berupa repetisi “Saya Indonesia. Saya Pancasila,” yang diulang sebanyak empat kali, dengan frasa yang persis sama. Seorang teman yang sempat mendengarkan berkomentar sambil tertawa, “Kok kayak lagu anak-anak ya?”
Benar. Beberapa anak usia pra sekolah—usia 3-4 tahun—yang mendengarkan, dengan cepat dapat menirukan lagu tersebut dengan tepat. Tidak ada satupun kesalahan kata. Ini sungguh luar biasa, sesuatu yang semula dikira hanya main-main, ecek-ecek, malah ada yang meremehkan dan menertawakan, namun sesungguhnya mengandung strategi marketing jempolan.
Tim kreatif yang merancang kampanye “produk” ini benar-benar memahami dan memanfaatkan semaksimal mungkin strategi dengan menggunakan _brand ambassador_ dengan target terciptanya _brand awareness._
Jokowi sebagai brand ambassador
Pemilihan Presiden Jokowi sebagai brand ambassador alias duta merek menunjukkan kampanye "Saya Indonesia. Saya Pancasila” adalah proyek atau program yang sangat serius.
Hari lahir Pancasila 1 Juni baru ditetapkan pemerintah sejak tahun 2016, setelah Jokowi berkuasa. Ini bukan barang baru. Ketika Soekarno berkuasa tanggal 1 Juni juga telah ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.
Tahun 1967 Soeharto mengambil alih kekuasaan, dan pada tahun 1970 peringatan itu ditiadakan. Sebagai gantinya kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada tanggal 1 Oktober. Yakni peringatan atas keberhasilan rezim Orde Baru “menyelamatkan” Pancasila dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Adagium “sejarah ditulis oleh para pemenang” sungguh benar adanya.
Kembali lagi ke soal brand ambassador, dengan memilih Presiden Jokowi, tim kreatif bertindak tidak tanggung-tanggung. Siapa lagi brand ambassador yang paling tepat untuk meng-endorse Pancasila sebagai idiologi dan dasar negara, kalau bukan seorang kepala negara?
Bila yang dipilih sebagai _brand ambassador_ adalah seorang artis, seperti kebanyakan produk-produk komersial, maka pesan yang akan disampaikan kurang mengena.
Tolong sebutkan siapa nama-nama artis tenar yang banyak digunakan sebagai brand ambassador?
Mulai dari Agnes Monica yang punya follower jutaan. Penyanyi Raisa yang tidak kalah populernya di kalangan anak muda, atau komedian seperti Sule.
Bila mereka yang dijadikan model, mungkin pesan yang diterima publik bisa salah.
Agnes Monica memang populer dan malah sedang mencoba Go internasional. Tapi kan target Pancasila yang paling penting saat ini adalah pasar domestik Indonesia.
Bila Raisa yang dipilih, jangan-jangan akan banyak yang kecewa. Belum lama ini acara lamarannya membuat banyak pria lajang, maupun pria yang merasa seolah-olah masih lajang, sak Indonesia patah hati dan terluka. Bagaimana dengan Sule? Pancasila ini soal serius, jangan dibawa becanda.
Pilihan terhadap para artis juga akan menjadikan target audience-nya lebih segmented. Padahal yang menjadi target kampanye adalah seluruh warga Indonesia.
Jadi Jokowi sebagai brand ambassador sudah tepat. Tidak ada figur lain yang bisa menjadi personifikasi simbol negara, selain seorang Presiden sekaligus Kepala Negara.
Strategi brand awareness
Pengulangan frasa “Saya Indonesia. Saya Pancasila” adalah sebuah bentuk majas/gaya bahasa repitisi. Dalam repitisi tujuannya adalah penekanan. Pengulangan seluruh kata atau bentuk lain yang mempunyai arti kata yang sama.
Tujuannya adalah brand awareness, pengenalan produk agar segera menancap di benak konsumen. Produk yang dikenalkan menjadi top of mind.
Dalam iklan, aplikasinya dalam bentuk _loop_ atau iklan yang diulang-ulang. Masih ingat iklan minuman larutan yang dibintangi oleh Deddy Mizwar “ yang ada badaknya ya” dilakukan berulang-ulang. Atau iklan obat sakit kepala “Sakit kepala? Ya minum Mixagrip.” Masih banyak contoh-contoh lain iklan looping, atau juga disebut iklan back to back.
Keuntungan iklan loop setidak ada dua. Pertama, membuat produk dapat segera menancap kuat di benak konsumen. Kedua, secara budget menjadi murah, karena durasinya yang pendek, hanya sekitar 5 detik.
Sementara dalam era digital, iklan yang pendek dan diulang akan mempunyai dampak word of mouth marketing, pemasaran mulut ke mulut yang kuat dalam bentuk Facebook to Facebook, WhatsApp to WhatsApp, Line to Line atau berbagai platform medsos lainnya.
Perhatikan lagu "Saya Indonesia. Saya Pancasila,” yang diulang sebanyak empat kali dalam durasi 33 detik. Bila dipotong bisa menjadi hanya 7-8 detik saja. Jadi dalam 15 detik frasa "Saya Indonesia. Saya Pancasila” bisa diulang dua kali. Strategi marketing yang cerdik, memperhitungan cost and benefit.
Kelemahan dari iklan model ini bisa menimbulkan kesal konsumen. Nyebelin, ngeselin. Apalagi bila yang menonton sedang putus cinta, atau malah sedang sakit gigi.
Pemilihan jam tayangnya tidak tepat, pesannya dianggap terlalu memaksa, atau malah dianggap sebagai brain washing, bisa membuat iklan semacam ini backfire.
Pesan yang salah
Iklan dengan tagline “Saya Indonesia. Saya Pancasila” secara brand awareness tampaknya sangat berhasil. Di platform medsos iklan itu berhasil menjadi content generator karena banyak pesohor maupun rakyat biasa yang ramai-ramai memasang fotonya di samping tagline tersebut, secara sukarela.
Sayangnya content yang sudah massif terbesar tersebut banyak yang mengkritisi. Frasa “Saya Pancasila” dinilai salah, tidak tepat karena bisa mengundang tafsir makna yang berbeda.
Pancasila dipersonifikasi dalam bentuk figur presiden, pejabat tinggi, artis, maupun rakyat biasa. Sementara kata “saya” bisa menjadi faktor pemecah belah karena lawannya adalah “kamu” yang tidak Pancasila.
Agar kampanye tentang Pancasila lebih tepat mengena, agaknya ada perlu sedikit revisi content-nya. Di medsos banyak alternatif yang bisa dipertimbangkan.
Misalnya “Saya/kita Pancasilais. Kamu/kalian juga khan.” “Kita Pancasilais. Kita Cinta Indonesia.” Jadi pesannya lebih merangkul. Pancasila menjadi milik semua.
Kalau mau merangkul kalangan umat Islam dan merangkul TNI sekaligus juga bisa diterima oleh sebagian besar bangsa Indonesia, bisa menggunakan frasa “Saya Pancasilais. Saya Anti Komunis,” atau “Kita Pancasilais Sejati. Kita Anti PKI.” Bukankah Presiden Jokowi pernah menyatakan akan menggebuk PKI?
Masih banyak frasa yang lebih merangkul, melibatkan dan menggerakkan bangsa Indonesia agar lebih mencintai Pancasila.
Bukankah Pancasila adalah dasar negara yang harus terus kita tancapkan di dalam dada semua anak bangsa? Bukan hanya di dadamu. Tapi juga di dadaku. end
*) Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik.
Advertisement