Satukan NU-Muhammadiyah dengan Ilmu
Tulisan ini, saya buat untuk sekedar memberikan kado kepada saudara Muhammadiyah. Ya... kado ulang tahun atau milad karena pada 8 Dzulhijjah kemarin, organisasi yang didirikan oleh Al-Mukarom KH Ahmad Darwis/KH Ahmad Dahlan ini, menurut hitungan kalender Hijriyah genap berusia 111 tahun. Angka yang cantik: “111” di tahun 1441. Umur yang sangat dewasa dan matang untuk sebuah organisasi. Semoga dengan angka cantik itu, kiprah dan peran Muhammadiyah untuk agama, bangsa dan negara kian cantik pula.
Ketika masih berprofesi sebagai jurnalis dulu, saya banyak bergaul dengan para tokoh Islam, dari NU, Muhammadiyah dan juga tokoh-tokoh yang secara kesejarahan dekat dengan Masyumi. Ini karena sejak tugas di Jakarta, pada awal 2000 saya ditugasi untuk mengikuti dinamika pemikiran tokoh-tokoh Islam. Baik soal keagamaan, sosial budaya dan juga politik. Maka sejumlah tokoh-tokoh agama sering saya temui dan saya wawancarai. Di antaranya; (alm.) Gus Dur, (alm.) KH Hasyim Muzadi, (alm.) Nurcholish Madjid, Buya Syafii Ma’arif, Amien Rais,Yusril Ihza Mehendra, (alm) Muslim Abdurrahman, dll.
Muslim Abdurrahman ini cukup spesial. Beliau yang asli Lamongan Jawa Timur itu, salah satu tokoh intelektual Muhammadiyah. Tapi, beliau sahabat Gus Dur dan pernah menjadi ketua DPW PKB DKI Jakarta. Jadi, beliau ini orang Muhammadiyah yang sangat paham budaya nahdliyin. Karena itu, ketika saya mengerjakan tesis mengenai NU di Ilmu Politik Pascasarjana UI, beliaulah yang ditunjuk sebagai pembimbing saya.
Tugas memantau berita para tokoh Islam ini sangat saya nikmati. Sebab sejak kuliah dan menjadi aktivis koran kampus di IAIN Walisongo Semarang, saya memang sangat konsen dengan masalah sosial dan politik keagamaan. Sudah hobi. Jadi, 4 tahun menjalani tugas itu benar-benar saya nikmati. Apalagi juga sangat memperkaya wawasan.
Saya santri. Saya nahdliyin. Orang tua saya, mbah-mbah saya NU. Anak-anak juga saya wanti-wanti agar tetap menjadi warga nahdliyin. Anak cucu saya kelak semoga juga mengikuti jejak kami. Namun, ke-NU-an saya ini tidak menghalangi saya bergaul baik dengan saudara-saudara muslim di luar NU, khususnya Muhammadiyah. Di Kantor Jawa Pos ada beberapa teman yang Muhammadiyah 24 karat. Dalam beberapa hal kami beda. Tapi, dalam banyak hal kami sama. Kami akrab. Bagai saudara. Sekarang di kampus IAINU Tuban, tempat saya mengajar, meski ini jelas-jelas kampus NU, ada juga mahasiswa Muhammadiyah, bahkan aktivis Muhammadiyah. Fenomena ini terjadi di mana-mana. Di kampus-kampus Muhammadiyah, juga banyak anak NU ikut kuliah. Bahkan, ketika saya ke Sorong Papua, saya dapat cerita kalau Universitas Muhammadiyah di sana, dosennya banyak yang alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.
Sejak dulu, saya memandang perbedaan NU-Muhammadiyah tidak terlalu prisinp. Ada di area furu’iyah. Aqidah yang berdasar dalil qoth’i, sama. Jika dalam praktiknya di lapangan ada perbedaan yang kadang sampai menimbulkan gesekan, saya rasa lebih bernuansa politik daripada agama. Istilah Gus Baha’ (KH Bahauddin Nur Salim, Rembang) politik identitas. Masing-masing ingin “di depan”. Bila toh ada perbedaan yang ‘’seolah-olah agama”, masih menurut Gus Baha’, itu karena kurang ilmu saja.
“Perbedaan qunut subuh. Memakai qunut, NU. Tidak qunut Muhammadiyah. Kapan Imam Syafii jadi Rais Syuriah PBNU? Dan, kapan Imam Abu Hanifah, jadi Pengurus Pusat Muhammadiyah?’’ seloroh Gus Baha' yang langsung disambut ketawa renyah para santri yang ngaji. Tidak kecuali Kang Rukin dan Kang Mustofa. Hehehe...Dua santri Gus Baha’ di Jogja.
Soal qunut subuh ini, saya punya pengalaman cukup menarik. Di musholla samping rumah, jemaahnya campuran. Mayoritas nahdliyin, tapi ada beberapa yang Muhammdiyah. Suatu ketika, saat ngimami salat subuh, saya lupa membaca qunut. Karena itu, sebelum salam, saya sujud sahwi.
Dugaan saya, beberapa jamaah bingung dengan kejadian itu. Maklum, dalam hal pengetahuan agama masyarakat di sekitar rumah saya masih agak awam. Karena itu, setelah salam, sebelum dzikir saya menjelaskan kejadian yang baru saja terjadi. Pertama, saya menjelaskan mengapa ada sujud tambahan setelah tahiyat akhir? “Itu namanya sujud sahwi,” jelas saya. “Sujud sahwi, saya lakukan karena tadi saya lupa tidak baca qunut. Menurut Imam Syafii, bila lupa baca qunut, maka kita sujud sahwi,’’ tambah saya.
Setelah menjelaskan itu, saya kemudian menimpali bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia adalah pengikut Imam Syafii. Karena pengikut Imam Syafii, maka dalam salat subuh disunahkan membaca qunut. “Jadi, yang qunut itu bukan karena pengikut NU. Tapi, orang yang mengikuti madzhab Imam Syafii tentu akan membaca doa qunut ketika salat subuh,’’ tandas saya.
Dalam Islam, lanjut saya, banyak sekali madzhab dalam fiqih. Hanya yang populer sampai sekarang adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal. Dan, keempat beliau itu tersambung sanad keilmuan sampai Rasulullah SAW. Karena mereka pernah berguru kepada imam yang lahir lebih dahulu. Imam Ahmad adalah murid Imam Syafii. Sedang Imam Syafi’i pernah menimba ilmu kepada Imam Malik.
“Njenengan harus tahu, bahwa pendiri NU KH Hasyim Asy’ari mengajarkan bahwa kita boleh memakai satu dari empat madzhab itu. Mereka semua adalah ahlussunah waljamaah,’’ jelas saya. “Cuma untuk warga NU, umumnya menggunakan Imam Syafii. Itu pun tidak selalu. Dalam hal tertentu, bisa memakai madzhab Imam lain, seperti saat thowaf di depan ka’bah”.
Jadi, lanjut saya, warga NU yang qunut itu karena mengikuti madzhab Imam Syafii. Sedang warga Muhammadiyah yang tidak qunut, juga ada contohnya, yaitu Madzhab Imam Abu Hanifah. “Jadi, perbedaan qunut tidak qunut itu, sudah ada sejak dahulu, ratusan tahun lalu. Sebelum NU dan Muhammadiyah lahir. Semua ada dasarnya. Semua mengikuti pendapat para ulama yang ilmu agamanya sangat luas,” tandas saya.
Para jemaah khitmad mendengarkan uraian saya. “Jadi ustadz dadakan,’’ kata saya dalam hati. Setelah itu jemaah bubar. Saya berjalan kaki menuju rumah yang jaraknya hanya 100 meter. Di luar dugaan, salah satu warga Muhammadiyah yang di kampung tergolong sesepuh menemui saya. “Matur suwun sanget Pak. Penjelasan njenengan tadi sangat bagus. Dengan penjelasan itu, orang tidak menjadi salah paham soal qunut subur,’’ ungkapnya serius. Saya tersenyum. Saya merasa sangat bersyukur jika penjelasan saya tadi bisa dipahami dengan baik dan dianggap sebagai pencerahan.
Setelah itu, hubungan kami semakin akrab. Hijab atau penghalang yang selama ini seakan membikin jarak runtuh seketika. Si bapak tadi juga semakin menikmati berbagai kegiatan musholla yang khas nahdliyin, seperti dzikir keras (jahar) setelah sholat –soal dzikir jahar itu juga pernah saya jelaskan kalau hal itu dimaksudkan untuk tujuan pendidikan—dan peringatan maulud nabi tanpa harus kehilangan ke-Muhammadiyah-annya. Dan di luar dugaan, ketika beliau dipanggil oleh Allah SWT, keluarganya minta agar beliau dibacakan tahlil. Full 7 hari. Bahkan setelah itu, hingga 40 hari setiap malam Jumat juga diadakan acara tahlilan.
Sungguh indahnya kebersamaan. Pendekatan ilmu bisa menjadikan ukhuwah sebagai sesama muslim terajut dengan erat. (bersambung)
*) Akhamd Zaini, mantan Jurnalis Jawa Pos, kini Jadi khadam pendidikan di IAINU Tuban
Advertisement