Satu Tersangka Genosida Rwanda Ditangkap di Paris
Rwanda mengeluarkan surat penahanan untuk mantan Komandan Intel Rwanda, Aloys Ntiwiragabo yang kini sedang dalam penyelidikan di Prancis atas perannya dalam genosida di Rwanda tahun 1994 lalu.
Penuntut umum Aimable Havugiyaremye kepada reporter mengatakan jika pihak Rwanda 'telah menyelidiki kasus ini, dan bekerja dengan unit Prancis untuk menangani penjahat perang dan pelanggaran hak asasi manusia," katanya, Rabu 26 Agustus 2020.
Prancis membuka membuka penyelidikan atas tindak kejahatan kemanusiaan, setelah tersangka ditemukan di wilayah pinggiran dengan kota Orlens, sekitar 100 kilometer barat daya Paris.
Untuk melacak keberadaan Ntiwiragabo, Paris menyelidiki media massa bernama Mediapart. Ia ditetapkan oleh Pengadilan Kriminal untuk Rwanda (ICTR) sebagai salah satu arsitek dari genosida. Baik ICTR, Interpol, Paris, dan Rwanda aktif mencari Ntiwirigabo dan mengeluarkan surat penangkapan beberapa tahun terakhir.
Keberadaanya terungkap dua bulan setelah tersangka genosida lainnya, Felicien Kabuga, ditangkap di pinggiran Paris. Kabuga yang berhasil lolos dari kejaran sejumlah polisi di beberapa negara selama 25 tahun terakhir, dituduh mendanai genosida.
Kabuga telah meminta agar kasusnya diadili di Paris dengan alasan kesehatan dan mengklaim pengadilan PBB di Afrika akan bias terhadapnya, dan kemungkinan besar akan menyerahkannya pada pengadilan Rwanda.
Sementara, Serge Brammetz, kepala penuntut untuk pengadilan internasional Rwanda atas kasus genosida, tiba di Rwanda pada Selasa, dengan tim penyelidik dan penuntut.
Brammertz akan menghabiskan dua minggu di Rwanda, sedangkan timnya akan tinggal selama satu bulan untuk menyelidiki Kabuga dan mengumpulkan bukti secara umum.
Diketahui, Prancis telah lama menjadi lokasi persembunyian para tersangka kasus genosida. Penyidik Paris memiliki lusinan kasus genosida yang sedang dalam proses, meski sampai saat ini tak ada satu pun tersangka yang diekstradisi ke Rwanda.
Genosida sendiri diawali dengan jatuhnya pesawat yang membawa Presiden Juvenal Habyarimana, dari suku mayoritas Hutu, di Kigali, 6 April 1994. Selanjutnya, sekitar 800 ribu suku Tutsi dan Hutu moderat dibantai selama 100 hari. Genosida yang didalangi oleh pemerintahan Hutu dan aliansi militernya. (Alj)
Advertisement