Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan: Tangis Duka dan Kecewa Tiada Akhir
Setahun sudah Tragedi Kanjuruhan berlalu. Peristiwa kelam sepakbola Indonesia yang terjadi pada 1 Oktober 2022, lalu, masih menyisakan duka, dan kecewa di antara kerabat 135 korban meninggal. Tangis rindu kepada anak bertumpuk dengan sedihnya pasrah dan kecewa, lantaran rasa tak mendapat keadilan.
Foto Mitha Maulidia terbingkai rapi di dalam pigura ruang tamu sebuah rumah sederhana di gang kecil Jalan Ternate, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Perempuan berusia 26 tahun ini adalah salah satu korban jiwa Tragedi Kanjuruhan. Satu tahun yang lalu.
Sejak kepergian putrinya, Siti Mardiah atau Kholifah melihat dunia tidak lagi sama. Ibu berusia 68 tahun itu menjalani kehidupan hanya setengah hati. “Saya seperti orang linglung banyak lupanya. Makan juga tidak kayak dulu,” ujarnya pada Minggu 1 September 2023.
Dulu semenjak ada mendiang, Kholifah selalu masak setiap hari. Saban pagi, ibu dengan tiga anak itu menyiapkan makanan untuk bekal almarhumah berangkat kerja.
“Masak setiap hari. Sekarang tidak. Makan seadanya saja,” katanya.
Mitha adalah anak perempuan satu-satunya di dalam keluarga. 25 tahun Kholifah menimang anak perempuannya, hingga maut menjemput di Kanjuruhan, 1 Oktober 2022.
Mendiang memiliki dua orang saudara laki-laki, masing-masing sebagai kakak dan adik. “Dia anak satu-satunya perempuan. Kalau ke mana-mana saya selalu sama anak perempuan. Kalau cerita ke anak perempuan,” ujarnya.
Tampak kesedihan mendalam di wajah Kholifah. Seolah masa setahun, baru saja terjadi kemarin. Sering kata-katanya terhenti ketika bicara. Berganti dengan isak tangis, napas yang berat. Air mata jatuh membasahi kerudungnya. “Kalau ditanya sakit ya sakit,” katanya lirih.
Rindu pada anak perempuannya tak pernah surut. Selepas salat Dhuha dan Ashar, ia selalu menyempatkan ziarah makam. Setiap hari. Sampai satu tahun Tragedi Kanjuruhan ini. Melepas rindu dengan mendiang anaknya. “Saya berdoa agar diampuni dosanya, dilapangkan kuburnya, dibebaskan dari siksa kubur,” ujarnya.
Sudah satu tahun Tragedi Kanjuruhan berlalu, Kholifah sudah tidak berharap apapun lagi. Apalagi soal keadilan. Seluruh proses hukum yang sudah berjalan, baginya hanya seremonial saja. “Saya tidak berharap sama sekali kepada pemerintah karena tidak mungkin ada keadilan,” katanya.
Kholifah tidak ingin kecewa lagi. Baginya, mengharap keadilan bagaikan pucuk merindukan bulan. Hal yang mustahil terwujud. Meski dia yakin, putrinya tewas karena asap gas air mata.
“Jenazah anak saya itu matanya merah, dari mulutnya mengeluarkan busa. Di situ polisi masih mengelak jika penyebabnya adalah gas air mata,” katanya. Kholifah menarik napas dalam, melepaskannya dengan berat. Sambil mengusap air mata.
Di sisi lain, kakak kandung korban, Andi Kurniawan tetap kukuh memperjuangkan keadilan atas kematian adik perempuannya. Lelaki berusia 32 tahun itu, ikut rombongan keluarga korban ke Jakarta beberapa hari yang lalu. “Kami ke Bareskrim, Menkopolhukam, Dubes Amerika Serikat, Komnas HAM dan KPAI,” katanya.
Ada sebanyak 29 orang keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan yang berangkat ke Jakarta, termasuk Andi. Rombongan menginap tiga hari lamanya di ibu kota untuk mendorong usut tuntas Tragedi Kanjuruhan.
“Saat di Komnas HAM kami menagih janji pada November 2022, lalu. Terkait pengawalan kasus yang dijanjikan. Tapi sampai saat ini belum terealisasi. Kami ingin Tragedi Kanjuruhan ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat,” ujarnya.
Inti permintaan dari keluarga korban Tragedi Kanjuruhan adalah, dilakukannya penyelidikan terkait penggunaan gas air mata yang menelan sebanyak 135 korban jiwa. “Selama ini penembakan gas air mata belum tersentuh sama sekali. Kami akan terus berjuang sampai keadilan bisa kami dapatkan,” katanya.