Satu Tahun Jokowi-Ma’ruf Amin, YLBHI Serahkan Rapor Merah
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memberikan nilai merah pada satu tahun masa pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin, setelah resmi dilantik pada 20 Oktober tahun lalu. Ada tujuh fakta buruknya pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, mulai dari revisi UU KPK, pengabaian pelanggaran HAM, pembungkaman kebebasan berekspresi, revisi UU Minerba, revisi UU Mahkamah Konstitusi, maraknya konflik agrarian, dan disahkannya UU Cipta Kerja.
Dalam siaran persnya, YLBHI mengawali penilaiannya dengan bertumpu pada salah satu misi Jokowi saat mencalonkan di periode kedua. Yaitu, menegakkan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
Misi tersebut dibagi menjadi beberapa poin yaitu: melanjutkan penataan regulasi; melanjutkan reformasi sistem dan proses penegakan hukum; pencegahan dan pemberantasan korupsi; penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM; dan mengembangkan budaya sadar hukum.
“Setelah satu tahun berlalu, realisasi misi Jokowi-Ma’ruf jauh panggang dari api. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam satu tahun terakhir justru memperlemah penegakan hukum dan hak asasi manusia,” kaya YLBHI dalam keterangan tertulisnya, Selasa 20 Oktober 2020.
Sejumlah fakta yang disebutkan YLBHI antara lain:
1. Menyetujui dan Menandantangani Revisi UU KPK
Sebelumnya, YLBHI dalam catatan 100 hari Jokowi-Ma’ruf menyatakan bahwa revisi Undang-undang KPK 2019 memperlemah KPK seperti adanya Dewan Pengawas, adanya ketentuan SP3 untuk perkara yang tidak selesai disidik dalam waktu satu tahun dan pegawai KPK diubah statusnya menjadi Aparatur Sipil Negara.
“Satu persatu indikasi tersebut terbukti, pada bulan Juli lalu, PP 41 tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN disahkan. Selain itu integritas pimpinan KPK perlu dipertanyakan” kata YLBHI merujuk pada pelanggaran kode etik Ketua KPK, Firli Bahuri dengan menggunakan helikopter saat berkunjung ke Baturaja, Sumatera Selatan. Dewan Pengawas KPK hanya memberikan teguran tertulis kepada Ketua KPK.
2. Menyetujui dan Menandatangani Revisi UU Minerba
Direvisinya UU Minerba menguntungkan kelompok pengusaha tambang dan sebaliknya ancaman besar bagi lingkungan hidup dan hidup masyarakat. Hal ini terlihat dari salah satu pasal yaitu pasal 169 A terkait perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan. Maka, pemegang KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 kali perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masing-masing paling lama selama 10 tahun.
3. Menyetujui dan Menandatangani Revisi UU Mahkamah Konstitusi
Revisi UU MK disahkan DPR RI menjadi UU. DPR memaksakan revisi UU ini meski tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020. “Tetapi, meski YLBHI bersama Koalisi meminta Presiden Joko Widodo menolak revisi ini, presiden malah terus menyetujui dan menandatangani revisi ini” tulis siaran pers itu.
4. Mengusulkan dibuatnya Omnibus Law UU Cipta Kerja
5. Konflik Agraria dan Lingkungan Hidup Marak
Pada periode Januari hingga Agustus 2020 meletus 79 kasus konflik agraria dan lingkungan hidup yang di dalamnya juga terdapat kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat. Kasus sengketa lahan Masyarakat Adat Pubabu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, sampai sekarang masih berlangsung. Kriminalisasi juga terjadi pada ketua masyarakat adat Kinipan di Kalimantan Tengah, Effendi Buhing karena perlawanannya terhadap perampasan tanah adat Kinipan. Kriminalisasi juga terjadi pada tiga petani Soppeng, Sulawesi Selatan yang ditahan karena menebang pohon di kebunnya yang diklaim oleh pemerintah sebagai kawasan hutan.
Sementara itu ancaman terhadap aktivis lingkungan terjadi pada aktivis WALHI Zenzi Suhadi yang digeledah rumahnya dengan tuduhan menyimpan narkoba dan tiga aktivis WALHI Kaltim yang dituduh positif Covid-19.
6. Membungkam Kebebasan Berpendapat
Dalam laporan tanda-tanda otoritarianisme pemerintah tahun 2019, YLBHI mencatat ada 28 indikator yang menguatkan hal itu dengan tiga pola yang mengindikasikan bangkitnya otoritarianisme di Indonesia, yakni, pertama, adanya upaya penghambatan kebebasan sipil berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi dan berkeyakinan.
Kedua, mengabaikan hukum yang berlaku baik konstitusi, TAP MPR maupun peraturan perundang-undangan. Ketiga, memiliki watak yang represif, yang mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman.
Tanda-tanda tersebut dapat dilihat dari Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020 mengatakan bahwa Polri juga harus mengalihkan isu unjuk rasa anti-Omnibus Law untuk mencegah penularan masif Covid-19.
Hal ini bertentangan hak menyampaikan pendapat dan Perkapolri No. 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Dalam Surat Telegram tersebut, Kapolri memerintahkan pula adanya polisi siber untuk menyisir pernyataan-pernyataan yang mencoba membangun narasi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Terlihat polisi sudah menjadi alat kekuasaan/pemerintah padahal Konstitusi menyatakan polisi adalah alat negara.
Kekerasan terhadap massa aksi juga terus terjadi. Berdasarkan data kepolisian per 13 Oktober 2020 tercatat 5.198 peserta aksi yang ditangkap polisi. Selain penangkapan terhadap massa aksi, polisi juga melakukan kekerasan terhadap wartawan yang meliput demonstrasi di berbagai kota. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 28 wartawan di 38 kota yang mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak Omnibus Law.
Pada periode sebelumnya LBH-YLBHI mencatat 6.128 orang mengalami pelanggaran HAM saat menyampaikan pendapat di muka umum, ditambah penangkapan 21 orang buruh yang berdemonstrasi pada 16 Agustus 2019. Selama Januari-September 2020, YLBHI-LBH juga mencatat 24 kasus penyiksaan di 9 provinsi di Indonesia.
Tanda-tanda pemerintahan yang otoriter beriringan dengan kebijakan pemerintah yang mengembalikan dwi fungsi aparat pertahanan-keamanan. Ini akan bertentangan dengan TAP MPR VI/2000 yang sudah mencabut dwi fungsi ABRI. Pemerintah Jokowi justru melibatkan TNI dan Polri dalam struktur pemerintahan.
7. Mengabaikan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu
Menurut catatan LBH-YLBHI tentang 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, Jokowi-Ma’ruf tidak menjadikan HAM hal penting yang harus mewarnai seluruh kebijakannya. Hal ini terlihat dari tidak adanya kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
Dalam catatan Komnas HAM, masih ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang sampai sekarang belum memiliki kepastian hukum. Dalam catatan yang sama, Komnas HAM menyebutkan hanya tiga kasus yang ditindak lanjuti oleh Jaksa Agung sampai tingkat pengadilan HAM. Tiga kasus tersebut adalah peristiwa Timor-Timor, Tanjung Priok dan Abepura.
Alih-alih menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut, Pemerintah kini masih tetap mengirim militer ke Papua. Dugaan pelanggaran HAM di Papua justru ditutupi oleh Indonesia dengan tidak adanya keterbukaan informasi kepada publik.
Kasus terbaru adalah ditembaknya Pendeta Yeremia Zanambani, Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Hitadipa di Intan Jaya, 19 September 2020. Pihak TNI menuding OPM sebagai pelaku penembakan, sementara pihak OPM menganggap bahwa penembakan dilakukan oleh TNI.
Tidak terbukanya akses untuk mencari fakta tentang apa yang sebenarnya terjadi di Papua, membuat informasi yang tersebar di publik menjadi simpang siur.
“Maka, tepat satu tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, YLBHI menyatakan; memperingatkan pemerintah bahwa Indonesia adalah negara hukum dan pemerintahan terikat pada konstitusi; mendesak pemerintah mencabut kebijakan yang tidak sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia, dan mendesak pemerintah menghormati hukum dan hak asasi manusia dan melindungi warga negaranya,” tutup pernyataan tersebut.
Advertisement