Satu per Satu Ulama Wafat, Musibah tak Tergantikan
Wafatnya ulama adalah musibah bagi sekalian alam. Serupa atap yang bocor, tetapi tidak bisa ditambal dengan apapun. Akhirnya, atap itu pun akan selalu bocor. Hanya bisa digantikan dengan atap baru. Serupa ulama yang wafat, hanya bisa digantikan dengan kelahiran ulama baru.
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ, وَنَجْمٌ طُمِسَ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya daripada meninggalnya satu orang ulama (HR Imam al-Thabrani rahimahullah)
Hadits tersebut termuat dalam Kitab Mujam al-Kabir dan Imam al-Baihaqi rahimahullah dalam kitab Syu’ab al-Iman dari Sahabat Nabi Uwaimir bin Amir bin Mâlik bin Zaid bin Qais bin Umayyah bin Amir bin Adi bin Ka`b bin Khazraj bin al-Harits bin Khazraj atau Abu Darda' Al-Anshori Radhiyallahu Anhu.
Dalam Kitab Tan-qih Al-Qaul, karya Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani Asy-Syafi'i rahimahullah (1813 Tanara Banten - 1897 M Jannatul Mualla Mekkah), yang merupakan Syarah Kitab Lubabul Hadits karya Al-Imam Al-Hafidz Jalaluddin Abdurrahman bin Kamaluddin Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin Jalaluddin al-Misri as-Suyuthi asy-Syafi'i al-Asy'ari atau Imam Jalaluddin As-Suyuthi rahimahullah (1445 - 1505 M Kairo, Mesir), menuliskan sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Saw):
وقال عليه الصلاة والسلام: {مَنْ لَمْ يَحْزَنْ لِمَوْتِ العَالِمِ، فَهُوَ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ مُنَافِقٌ} قالها ثلاث مرات
"Barangsiapa yang tidak sedih dengan kematian ulama maka dia adalah munafik, munafik, munafik. Sampai 3 kali Nabi mengatakan Munafik".
Menangislah, karena meninggalnya seorang ulama adalah sebuah perkara yang besar di sisi Allah subhanahu wa ta'ala (Swt). Sebuah perkara yang akan mendatangkan konsekuensi bagi kita yang ditinggalkan jika kita ternyata bukan orang-orang yang senantisa mendengar petuah mereka. Menangislah jika kita ternyata selama ini belum ada rasa cinta di hati kita kepada para ulama.
Al-Quran secara implisit mengisyaratkan wafatnya ulama sebagai sebuah penyebab kehancuran dunia, yaitu firman Allah subhanahu wa ta'ala yang berbunyi:
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الأرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللَّهُ يَحْكُمُ لا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah, lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?.” (QS Al-Ra’d: 41).
Menurut beberapa ahli tafsir seperti Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu dan Ulama tabi'in senior Imam Mujahid bin Jabir rahimahullah (645–722 M), santrinya Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah dan Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, ayat ini berkaitan dengan kehancuran bumi (kharab ad-dunya). Sedangkan kehancuran bumi dalam ayat ini adalah dgn meninggalnya para ulama (Kitab Tafsir Ibnu Katsir 4/472)
Kita bisa memahami korelasinya. Ketika ulama meninggal, kebodohan mudah tersebar. Terlebih ketika orang bodoh angkat bicara masalah agama. Sehingga pelanggaran agama akan semakin mudah tersebar dan meraja lela. Bumi kehilangan ruh kebaikannya.
Umat manusia dapat hidup bersama para ulama adalah sebagian nikmat yang agung selama di dunia. Semasa ulama hidup, kita dapat mencari ilmu kepada mereka, memetik hikmah, mengambil keteladanan dan sebagainya. Sebaliknya, ketika ulama wafat, maka hilanglah semua nikmat itu.
Hal inilah yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Saw):
خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ ” ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ
“Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi! Sahabat bertanya: Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Perginya ilmu adalah dgn perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama).” (HR Imam Ad-Darimi, Imam At-Thabrani rahimahullah dari Abu Umamah Al-Bahili radliyallahu anhu).
Meskipun telah banyak kiai atau ulama yang telah wafat, dan wafatnya kiai atau ulama adalah sebuah musibah dalam agama, maka harapan kita adalah lahirnya kembali ulama yang meneruskan perjuangannya. Aamiin
Harapan ini sebagaimana yang dikutip oleh Imam Al-Ghazali rahimahullah (wafat 1111 M) dari Khalifah Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah:
إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه
“Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya” (Kitab Ihya Ulumiddin I/15).
Demikian catatan UG Zaydan, dalam Estetika Spiritualitas.
Advertisement