Satu Demi Satu Liga-liga di Eropa Tumbang
Satu demi satu, liga-liga di Eropa menyerah dan tumbang. Pertama Liga Belgia. Kemudian Eredivisie Belanda. Terbaru adalah salah satu dari lima liga top Eropa, Ligue 1 Prancis, pun akhirnya tak tahan.
Satu per satu liga-liga sepak bola di Eropa sudah pada kesimpulan tak bisa terus mempertahankan harapan kompetisi bisa jalan lagi di tengah ketidakpastian akibat pandemi virus corona.
Tak mau mempertaruhkan nyawa manusia dan merusak pencapaian-pencapaian sistem kesehatannya dalam melawan pandemi itu, beberapa liga sepak bola Eropa terpaksa menampik uang besar dari hak siar televisi yang selama ini menjadi penyambung hidup industri sepak bola.
Mereka mengakhiri atau bahkan membatalkan kompetisi musim ini yang sudah dibuat berantakan oleh pandemi.
Adalah Belgia yang mengawali itu semua ketika pada 2 April mereka bilang, "oke, cukup di sini saja". Club Brugge pun dinobatkan sebagai juara kompetisi musim ini.
"Dewan Direksi mempertimbangkan rekomendasi Dr. Van Ranst (Marc Van Ranst, ketua gugus tugas virus corona Belgia) dan pemerintah bahwa sangat tidak mungkin pertandingan bisa dimainkan sebelum 30 Juni," kata otoritas liga Belgia seperti dikutip forbes.com.
80 juta euro (Rp1,29 triliun) dari Telenet yang merupakan pemegang hak siar Jupiler Pro League Belgia pun melayang tak bisa direngkuh liga ini padahal ini adalah suplemen finansial sangat penting bagi klub-klub Belgia.
Kurang dari sebulan kemudian, Standard Liege, salah satu klub elite Belgia yang musim ini menempati urutan kelima dalam klasemen, ambruk masuk gawat darurat karena terancam bangkrut sampai-sampai alumnus-alumnusnya yang kaya raya seperti Marouane Fellaini dan Axel Witsel meminjami dana investasi.
22 hari setelah itu, pada 24 April negara tetangga terdekat Belgia, Belanda, membatalkan kompetisi Eredivisie musim 2019-2020 sehingga Negeri Kincir Angin ini menjadi liga sepak bola Eropa besar pertama yang membatalkan musim kompetisi.
Untuk pertama kalinya juga sejak musim kompetisi 1944-1945, liga elite Belanda yang berisikan 18 tim itu harus berakhir tanpa ada juara liga, tanpa degradasi, tanpa promosi.
"Dalam kondisi seperti ini tak pantas membahas kejuaraan dan tidak ada yang juara," kata Eradivisie seperti dikutip The Guardian.
Sepekan setelah langkah Belanda itu, giliran Prancis yang merupakan salah satu dari tiga negara paling parah diobrak-abrik patogen berbahaya itu, mengambil langkah serupa Belgia.
Pedulikan rekomendasi kesehatan
Paris Saint-Germain dianugerahi gelar juara Ligue 1 yang sampai kompetisi dihentikan Maret lalu memimpin klasemen dengan selisih 12 poin di atas penguntit terdekatnya, Marseille.
Marseille dinyatakan lolos otomatis ke Liga Champions, sedangkan Renne yang menduduki urutan ketiga masuk kualifikasi Liga Champions. Toulouse dan Amiens diputuskan terjengkang ke divisi dua.
Liga Sepak Bola Profesional Prancis (LFP) meratifikasi keputusan itu dalam sebuah pertemuan Kamis pekan ini atau dua hari setelah Perdana Menteri Edouard Philippe menyatakan semua event olah raga dihentikan sampai paling cepat September nanti.
Prancis adalah negara terparah ketiga di Eropa yang sampai tulisan ini disiarkan sudah 24.376 orang direnggut nyawanya oleh COVID-19.
Dua teratas Eropa adalah Spanyol dan Italia, dua negara yang klub-klubnya yang kerap merajai sepak bola Eropa dan dunia. Spanyol menduduki urutan ketiga terparah di dunia setelah Amerika Serikat dan Italia.
Di Spanyol sudah 24.543 orang meninggal dunia, sedangkan di Italia sudah 27.967 nyawa melayang gara-gara patogen kejam itu.
Tepat sepekan sebelum Prancis mengambil keputusan mengejutkan itu, Menteri Olah Raga Italia Vincenzo Spadafora mengisyaratkan kecenderungannya untuk lebih berpihak kepada rekomendasi otoritas kesehatan ketimbang harus melanjutkan musim yang tertunda.
Sekitar tujuh hari setelah itu, Spadafora berkata, "Keputusan yang diambil Prancis itu mungkin mendorong Italia dan negara-negara Eropa lainnya mengikuti garis itu."
Prancis, apalagi Belanda dan Belgia, masih terbilang lebih baik dalam level dampak amukan pandemi ketimbang Italia dan Spanyol. Tetapi Prancis berani memutuskan kompetisi berakhir cukup di sini.
Italia kemungkinan mengikuti Prancis. Tetapi Italia lebih menyerupai Belanda ketimbang Prancis di mana peringkat satu dan dua klasemen divisinya hanya berselsih satu poin. Peringkat satu dan dua di Belanda malah berpoin sama.
Juventus hanya satu poin dari Lazio atau berbeda dengan Paris Saint Germain di Prancis yang unggul bersih 12 poin dari peringkat kedua.
Lebih gawat lagi beberapa klub Italia mengancam akan membawa otoritas liga ke meja hijau jika kompetisi dibatalkan.
Tak mungkin sebelum musim panas
Sementara itu, Bundesliga Jerman yang sebelumnya berkeinginan melanjutkan lagi kompetisi Mei ini di bawah stadion tertutup tanpa penonton, menunda lagi keputusannya.
Agaknya apa yang dilakukan Prancis itu telah mengusik Jerman, sekalipun negeri ini adalah salah satu dari sedikit kisah sukses sebuah negara di Eropa yang berhasil mengendalikan COVID-19, penyakit yang diakibatkan virus corona baru atau SARS-CoV-2.
Sampai kompetisi dihentikan pandemi, Bayern Muenchen berada di puncak klasemen dengan selisih empat poin dari Borussia Dortmund. Tapi Dortmund hanya satu sampai dua poin berselisih dengan dua tim di bawahnya, RB Leipzig dan Borussia Moenchengladbach.
Dari Spanyol, Menteri Kesehatan Salvador Illa menolak memberikan jaminan kompetisi olah raga dilanjutkan sebelum musim panas atau tengah tahun ini.
"Akan tidak bijaksana jika saya memberikan kepastian pandangan," kata Salvador Illa.
Jika Spanyol pun meniru langkah Prancis, situasi sama peliknya dengan Italia terjadi di sini.
Barcelona hanya dua poin di atas Real Madrid, sementara Atletico Madrid mungkin akan meradang jika diputuskan tak masuk Liga Champions musim depan ketika klub ini hanya satu poin di bawah zona Liga Champions atau tiga klub di atasnya.
Bagaimana dengan Inggris? Jauh sebelum ini sudah ada beberapa manajer klub di sana yang meminta kompetisi dibatalkan, sekalipun situasi Inggris lebih mirip Prancis, khususnya dalam soal kenyarispastian siapa juara liga.
Terlalu jahat rasanya membatalkan musim ini di mana Liverpool yang sudah 30 tahun menantikan juara liga lagi memimpin jauh dari klub-klub ini, bahkan terjauh di Eropa termasuk dibandingkan dengan Paris Saint Germain.
Seandainya Prancis dan Belgia menjadi acuan, maka Liverpool layak dinyatakan juara.
Jika Paris Saint Germain saja bisa, mengapa Liverpool tidak? The Reds lebih kompetitif dari PSG dengan selisih 25 poin dari pesaingnya, jauh lebih lebar ketimbang selisih poin PSG dari pesaing-pesaingnya.
Jika skenario Prancis yang diadopsi, maka Liga Premier akan meloloskan Liverpool, Manchester City, Leicester dan Chelsea untuk masuk Liga Champions musim depan.
Tapi itu dengan catatan banding City atas larangan berkompetisi di Eropa dari UEFA diterima oleh Pengadilan Arbitrase Olah Raga. Tapi jika banding City ditolak, maka Liverpool, Leicester, Chelsea dan Manchester United yang masuk Liga Champions.
Merusak segalanya
Masalahnya, Inggris akan kesulitan menentukan siapa yang harus degradasi, kecuali Norwich.
West Ham, Watford, dan Bournemouth yang berpoin sama, bahkan Aston Villa yang menyimpan satu pertandingan lebih banyak, mungkin sangat tak rela didegradasi dalam skenario seperti ini.
Beberapa liga lainnya jalan terus. Portugal mendapatkan lampu hijau dari pemerintahnya untuk meneruskan liga sekalipun waktunya belum dipastikan, sedangkan liga utama Polandia yakin kompetisi lanjut lagi 29 Mei. Demikian juga Denmark, dan sejumlah negara Eropa lainnya.
Skotlandia yang sudah membatalkan semua liga di bawah liga utamanya juga masih berharap musim ini dilanjutkan. Sedangkan Liga Premier Rusia sudah memasang 21 atau 28 Juni sebagai waktu mulainya kembali musim yang dihentikan pandemi COVID-19.
Lanjut atau tidak lanjut kompetisi liga sepak bola profesional Eropa, yang pasti pandemi virus corona telah merusak segalanya.
Tidak hanya dalam perkara jadwal, tetapi juga menguapkan bayangan sejahtera dari miliaran euro yang dihasilkan Eropa dari industri sepak bolanya.
Virus corona baru yang sudah menginfeksi sekitar 3,13 juta manusia dan sudah merenggut 218.000 nyawa manusia di seluruh dunia itu telah mengacaubalaukan seluruh jadwal sepak bola sampai kemudian memaksa Euro 2020 dimundurkan ke 2021. Bahkan, disebut-sebut bisa juga mengancam Piala Dunia 2022 di Qatar, terlebih jika vaksin tak kunjung ditemukan.
Tak heran jika anggota komite eksekutif badan sepak bola Eropa UEFA, Lars-Christer Olsson, mengatakan virus bisa merusak kalender internasional sepak bola dua sampai tiga tahun ke depan.
"Manakala kompetisi-kompetisi digeser satu tahun kemudian dan lalu Piala Dunia Qatar diadakan di tengah musim kompetisi Eropa, maka Anda harus menjejalkan kompetisi-kompetisi domestik dan internasional," kata Olsson.
Menjejalkan atau memeras jadwal itu merupakan pekerjaan rumit, apalagi sepak bola sudah menjadi industri raksasa.
Dan sebagaimana industri lainnya, banyak hal dan pihak yang terkait, tak cuma pemain dan klub.
Namun dunia agaknya mesti membiasakan diri dengan kekacauan ini atau menyikapinya dengan baik demi tatanan yang lebih siap dan lebih baik. (ant/rtr)