Sate Klatak Terakhir Didi Kempot
Hari Minggu lalu, tepat lima hari meninggalnya maestro campur sari Didi Kempot. Banyak yang masih sangat bersedih. Di pemberitaan, istri keduanya, Yan Vellia berziarah lagi ke makam suaminya.
Didi dimakamkan di TPU Desa Majasem, Kec Kendal, Ngawi, Jawa Timur. Karena masih sangat sedih, dia pun sempat mencium dan memeluk foto Didi Kempot yang diletakkan di samping kayu nisan. Namun, Yan Vellia tak sempat mampir ke rumah Putri, istri pertama Didi Kempot.
Yang letaknya sekira 500 meter dari TPU. Padahal, di rumah itu akan digelar pengajian dan doa bersama. Konon, Yan tidak sempat mampir karena juga mempersiapkan pengajian dan doa bersama di rumahnya di Solo.
Saya juga heran, kenapa media sangat tertarik mengulik, kenapa Yan tak mampir ke rumah Putri. Namun, apakah ada hubungan keduanya dengan lagu Pamer Bojo karya Didi? Entahlah.
Yang pasti, kepergian mendadaknya pada 5 Mei di RS Kasih Ibu, Solo menyisakan duka mendalam. Baik bagi istri-istrinya juga keluarganya. Tak ketinggalan para Sobat Ambyar dan Kempoters.
Rumah sakit itu jadi terminal terakhir frontman Kelompok Pengamen Trotoar yang dulu sering mangkal di Slipi, Jakarta. Kembali ke pencipta. Kembali di puncak popularitas ke dua, menjadikan dirinya sosok legenda yang tak tertandingi serta tergantikan.
Selain jutaan pengemarnya, ada seseorang yang juga sangat kehilangan. Namanya, Iwan Maulana. Dia pemilik Warung Sate Klatak Pak AW di Kartosuro, Solo. "Pak Didik, pelanggan setia kami," ungkapnya.
Iwan, lulusan UGM yang asli Boyolali itu, lebih suka menyebutnya Didik. Akhiran K bagi orang Jawa, menegaskan kejawaannya. Akhiran konsonan mati itu, memang terasa lebih pas dalam lidah Jawa.
Iwan dulu bekerja di industri minyak dan gas bumi. Lantas memilih pulang berjualan sate klatak. Istrinya yang juga lulusan UGM, bahu membahu berjualan.
Saat pertama kali mendengar berita mangkatnya Didi, dia mengaku tak percaya. "Hoax mungkin," katanya. Namun, setelah kepastian kabar mendera, hatinya turut ambyar.
Iwan, adalah pengagum berat Didi. Saat kuliah teknik di UGM, saat pertama kali mendengar lagu Stasiun Balapan pada 1999, dia langsung terpincut. Lantas mencari seluruh lagu karya Didi.
Maklum, walau mahasiwa, karena merasa dirinya anak kampung, dia sejiwa. Bahasa Jawa sederhana, membuat rasanya lebih nendang. Gampang dimengerti.
Bisa jadi, Iwan juga terinspirasi dari Didi. Baik pilihan untuk menganti nama, hingga kerja kerasnya menjalani bisnis. Dari pekerja migas yang uangnya banyak, dia memilih mengikuti panggilan hati membuka warung makan.
Itu mengapa, saat dia membuka warung, musik campur sari selalu diperdengarkan. Dan dia memilih lagu-lagu Didi Kempot. Pas, karena lokasi warungnya di Solo, dimana sang maestro itu bertempat tinggal.
Ini pula yang membuat keberuntungannya terjadi. Sekira tahun 2018, Didik dan asistennya pertama kali makan di sini. Saat kakinya masuk ke dalam warung, hatinya langsung bahagia.
Pasalnya, saat itu, dari sound system, mengalir tembang-tembang karya Didi. Dia merasa bak makan di rumah sendiri. "Juga Pak Didik merasa cocok rasanya," cetus Iwan, sambil merendah.
Saat itu, Didi memesan sate klatak sebanyak 20 tusuk. Satu yang selalu diingat Iwan, adalah keramahan sejati. Saat pertama kali datang itu, seluruh karyawannya antre minta foto bersama.
Herannya, Didi melayani semuanya dengan sabar dan senyum. "Nguwongke sekali," katanya. Bahkan, Didi lebih nampak seperti dia jadi penggemar bagi para penggemarnya.
Mulai saat itu, Didi jadi salah satu penggemar setia sate klatak Pak AW. Tak heran, fotonya pun terpampang di dinding warung. Yang unik, menu pesannya selalu sama. 20 tusuk sate klatak.
Mungkin, keluarga Didi adalah pengemar olahan daging kambing. Kakaknya, pelawak kondang Mamiek Prakoso juga menyukainya. Dulu, dia hobi makan tengkleng kambing.
Warung Sate Klatak Pak AW yang terletak di Jalan Adi Sucipto, Colomadu itu memang dekat dengan Hotel Lor In. Di sini, kabarnya, Didi sering kali menginap. "Biasanya, untuk shooting video klipnya," tambah Iwan.
Jadi kalau pengen sate klatak, asistennya Yani tinggal menghubungi Iwan atau istrinya. Lantas, sate akan dikirim ke tempat Didi. Sesekali dia juga pesan sate bumbu atau tengkleng.
Untuk minumannya, Didi sangat menyukai wedang uwuh. Kata uwuh berarti dedaunan sampah. Minuman ini terbuat dari rempah alami. Banyak manfaatnya.
Konon, ramuan ini turun temurun sejak zaman Kerajaan Mataram Islam. Asal mulanya dari kisah Sultan Agung Hanyakrakusuma. Syahdan, dia tengah bersemadi di Bukit Merak Imogiri, Bantul, Jogjakarta. Sedang mencari lokasi untuk pemakaman keluarga.
Oleh abdi dalem, dibuatkan minuman hangat. Namun, saat makin larut, banyak dedaunan sampah tak sengaja terjatuh dan masuk pada minumannya. Namun, Sultan Agung ternyata menyukainya karena merasakan manfaatnya.
Bagi saya, nafas wedang uwuh ini selaras dengan perjalanan karir Didi. Jadi pengamen, bergelantungan di bus kota jurusan Grogol-Blok M, kepanasan, kehujanan hingga tidur di bawah kolong jembatan.
Bisa jadi dianggap sampah oleh orang lain. Menganggu. Tapi dia membuktikan dirinya berguna dan jadi rujukan banyak seniman.
Saya memilih untuk tidak menganalisa syair musiknya. Yang kata sebagian orang, memberikan vibrasi kegalauan, kepahitan hidup. Atau menganalisa cara pakaiannya.
Bagi saya, walau syairnya penuh dengan patah hati, tapi Didi mengajarkan kebalikannya kepada khalayak. Bahwa hidup harus diperjuangkan. Ada kerja keras, ada keseriusan, ngetih istilah orang Jawa.
Dia juga sempat mencoba menyanyi pop. Berduet. Bahkan merelakan menghilangkan trade merknya, dengan memotong rambut panjangnya. Walau perjalanan itu gagal, tapi dia tidak menyerah.
Memang, ada juga sumbangan Mamiek kepada karir musik Didi. Beberapa kali bersitubruk melihat Didi ngamen, dia yakin dengan keseriusannya. Kabarnya, Mamiek sempat mengenalkannya ke Pompi.
Seorang produser musik kenamaan pada medio 80-90-an. Juga ada sentuhan Ari Wibowo, penyanyi tenar. Mamiek membukakan pintu. Tapi, Didi tetap harus berjuang agar karyanya diterima publik.
Berkarya dengan serius tentu keharusan. Didi membuktikan, tak ada jalan pintas kesuksesan. Semua harus diraih dengan kerja keras.
Dia meyakini, hidup juga harus berguna bagi orang lain. Hasil konser amalnya dari rumah, adalah standar yang kini harus dipecahkan para seniman setelahnya. Kalau nilainya di bawah pencapaian Didi, walau Anda seniman tenar, tak layak membusungkan dada.
Besarnya dukungan penggemar, adalah kunci. Itu mengapa, saya tak heran, saat Didi begitu sabar melayani para penggemar. Termasuk saat wajahnya begitu bahagia berfoto satu-satu dengan karyawan Warung Sate Klatak Pak AW. Karena penggemarlah, dia mengada.
Ini, mirip apa yang dilakukan Sir Alex Ferguson. Dia adalah legenda pelatih Klub Sepak Bola Manchester United, Inggris. Sir Alex akan sangat marah kepada para pemainnya, bila mereka melupakan penggemar.
Pernah ada kejadian, dia meluangkan waktu hampir 45 menit hanya untuk memberikan tanda tangan kepada para penggemar. Mereka sudah antre menunggu rombongan MU sebelum masuk bus. Saat mengetahui seluruh pemainnya berdiam di bus, sontak kemarahannya meledak.
"Kalian pikir kalian itu siapa! Merekalah yang membayar gaji kalian dengan datang menonton. Cepat turun dan berikan tanda tangan untuk mereka!'" teriaknya.
Kembali ke urusan Didi, syair lagunya selalu berima. Sehingga, orang akan mudah mengingatnya. Oh ya, saya sangat menyukai sebuah lagunya: Kuncung.
Syairnya sangat lekat dengan kehidupan anak kecil Jawa. Ada keterbatasan. Ada kesusahan. Tapi semua terasa indah karena dinikmati dengan kebahagiaan.
Cilikanku rambutku, dicukur kuncung.
Katokku, soko karung gandum.
Klambiku, warisane mbah kakung.
Sarapanku sambel korek, sego jagung.
Kosokan watu ning kali nyemplung ning kedhung (byur).
Jaman ndisik durung usum sabun (Pabrike rung dibangun).
Andhukku mung cukup, andhuk sarung.
Dolananku montor cilik soko lempung.
Iwan mengaku lupa kapan terakhir Didi memesan sate klatak kegemarannya. Karena saking seringnya. Bahkan, Yani sang asistennya sering kali memesan langsung ke anak buahnya.
Namun, ada satu yang masih diingatnya. Tak jauh dari urusan lagu-lagunya. Karena, saat pertama kali makan di warungnya, Didi berjanji akan memberi CD seluruh lagu ciptaannya. Agar bisa diputar terus di warungnya.
"Pak Didik belum sempat memberikan CD semua lagunya. Tapi tidak apa-apa. Semua karyanya sudah saya simpan di hati," pangkas Iwan dengan sendu.
Ajar Edi, kolomnis Ujar Ajar.
Advertisement