Sate Kambing Diganti Skin Care Korea
Hari pertama pembukaan PSBB di Bogor, pada 30 Mei, saya dan istri "merayakan" dengan berkeliling kota. Melihat, bagaimana keramaian mulai mengoyak. Mobil dan motor sudah berdesakan. Gerak motor sudah mirip gerombolan lebah.
Seusai Walikota Bima Arya -- yang oleh pengkritiknya disebut Walikota Kebun Raya dan sekitarnya, merelaksasi PSBB, gemerlap kota berdenyut. Mayoritas kedai, warung, dan restoran pun membuka diri. Bahkan warung nasi kucing pun tak ketinggalan. Ramainya, bikin tak tahan.
Oh ya, oleh pengkritiknya, Kang Bima hanya dibilang sibuk menata kawasan Kebun Raya dan beberapa tempat publik di sekitarnya. Dia memang membuat jogging trak lari dan merevitalisasi taman kota. Tapi, untuk transportasi publik, masih jauh panggang dari api.
Penangganan Covid-19 di Kota Bogor, memang terhitung kuat. Maklum, Kang Bima pernah mengidapnya. Seusai pulang lawatan dari manca.
Saat dia diumumkan jadi penderita, dilanjutkan pelaksanaan PSBB, saya merasakan kondisi berbeda. Kota ini sepi. Mini market mengikuti anjuran jadwal beroperasi. Mulai jam 08.00 malam, semua terasa sepi.
Setelah itu, kesepian membelai. Namun, saat beberapa kali keliling kota, saya menemukan keanehan. Ternyata, hanya di seputaran Istana Bogor, kantor Walikota Bogor, dan pusat kota yang sepi.
Namun, di agak pinggiran, warung juga buka. Aktifitas seperti biasa. Apalagi saat menjelang idul fitri lalu, aktifitas sudah terasa normal saja.
Pernah juga Kang Bima bikin berita, saat Pasar Anyar Bogor di masa pendemi kok malah rame. Saat Kang Bima pakai toa di atas mobil pick up berlogo Satpolpp itu, berteriak agar orang mau pakai masker.
Saya ada di sana. Kebetulan, saya suka main ke pasar. Seminggu dua kali saya pasti belanja juga ngobrol dengan para pedagang langganan. Sebenarnya, selama pendemi, pasar sepi. Menjelang lebaran, pasar mekar. Jadi ramai.
Namun, peristiwa itu jadi perbincangan di media, karena Kang Bima datang bawa wartawan. Sebelumnya, saya sudah berulang mendengar banyak keluh kesah para pedagang. Dagangan menyusut jadi separuh.
Bisa jadi pertaruhan menyelamatkan ekonomi atau nyawa orang, selalu jadi dua mata uang yang butuh perhatian para pemimpin. Itu juga yang dialami para pemilik restaurant, seperti Mas Narto, bos Kedai Laka-Laka. Ada karyawan yang harus terus bekerja, agar pendapatan mereka tetap terjaga.
Oh ya, setelah agak puas berkeliling kota, kami pun memilih menepi. Mampir ke Kedai Sate Laka-laka. Untuk makan sate kambing. Ya, anggap saja merayakan dengan cara berbeda.
Saat sampai di Kedai sate ini, suasana terhitung sepi. Sepanjang penerapan PSBB, dua kedai sate kambing ini resmi tutup. Kini, dia harus beradaptasi dengan peraturan new normal.
Sebagian kursi dan mejanya sudah diangkut keluar. Menyisahkan hanya separuhnya. Agar jarak aman para pengunjung tetap terjaga.
Bila kondisi reguler, meja yg tanggung disediakan enam kursi. Kini tersisa tiga saja. Demikian kalau meja yang kecil, yg pada kondisi reguler ada empat kursi, saat ini hanya dipasang dua kursi.
Tantangannya, kini, ada satu. Memastikan para pengunjung mentaati peraturan. Karena banyak dari mereka lebih suka bergerombol, memilih satu meja bersama.
Itu pula yang kami alami saya makan di sana. Ada tamu yang rombongan, tapi pingin ngumpul di tiga meja. Sehingga kursi yang sudah dijarangkan, kembali dirapatkan ke dalam tiga meja.
"Kalau begini ini, saya agak kagok. Karena ketika ditegur, pasti tidak berkenan," galaunya. Kini, dia memilih, akan memasang tempelan peraturan. Agar secara mandiri pengunjung mau menjaga jarak.
Memang, lain cerita kalau di Singapura. Jika ketahuan duduk rapat di restauran, maka denda uang akan segera menjerat. Semua taat, karena takut kena denda.
Oh ya, olahan kambing di sini enak. Sebenarnya, bahannya lebih tepat disebut domba. Karena dagingnya lebih lembut dan tidak menebar bau prengus.
Istri saya, akhirnya, juga suka makan di sini. Sebelumnya, dia vegetarian. Menghindari makan daging. Namun, karena saya bujuki terus, akhirnya dia suka makan daging kambing.
Setiap saya makan sate, pelan-pelan saya tawarin. Barang satu gigit saja. Laka-Laka, satu tusuk dia suka.
Momen yang membuat dia suka olahan ini, saat kami menunaikan ibadah haji. Kebetulan, chef tempat kami menginap, pintar memasak nasi kebuli. Dia pun terpana, bagaimana dagingnya sangat lembut dan nasinya gurih tiada tara.
Lantas, saat ketemu teman di Jedah, kami diajak kuliner ke beberapa restauran kambing yang enak banget. Khas timur tengah. Akhirnya, dia jatuh cinta dengan olahan kambing ini.
Saya sangat senang. Sehingga kami bisa berdua makan olahan kambing dengan tenang. Pasti tak akan enak, kalau makan sate kambing, gula, atau tongseng sendirian.
Karena istri sudah mau menikmati olahan kambing, gantian dia yang mempengaruhi saya. Agar suka dengan produk Korea. Dari K-pop hingga skin carenya.
Tentu saya menghindar dari urusan K-pop, tapi tak kuasa menolak untuk urusan skin care, alias perawatan kulit wajah. Akhirnya, di masa pendemi ini, istri leluasa untuk mencoba beragam skin care ke saya.
Dari masker, hingga perawatan kulit wajah yang bisa sampai tujuh lapis itu. Mirip lapisan langit saja. "Biar cepat habis, nanti bisa mencoba produk lainnya," cetusnya.
Urusan pesan barang di masa pendemi ini, ternyata bukan soal. Kabarnya, omset bisnis e-commerce naik pesat. Semua bertransaksi dari rumah.
Cuma klak-klik sana sini. Lantas bayar. Tak berapa lama, barang pesenan sudah mampir di rumah.
Jadi, ada satu teriakan yang sering kami dengar saat di rumah. "Pakeeet," teriak pengantar barang. Bila tidak ada pekerjaan, saya pun ke depan mengambilnya.
Tak cuma barang milik kami, ternyata asisten di rumah juga suka pesan dan beli dari platform online. Tiap hari, antara lima sampai sepuluh paket datang.
Apalagi menjelang lebaran kemarin. Frekuensinya naik tinggi. Banyam teman mengirim barang ke kami.
Mayoritas adalah kue kering atau kue. Bahkan, pernah, saking ngawurnya jasa paket menghandle barang, pernah kue hancur sampai di rumah. Mau komplain, merasa kasian dengan pengantar.
Tapi, barang yang lebih banyak datang adalah produk kecantikan. Seperti yang sudah diduga, saya pun jadi korban keefektifan puluhan krim itu. Apakah bagus atau tidak.
Jadi di siang hari, saya harus menggunakan dua lapis produk. Sesekali harus pakai masker. Lantas, di malam hari, bak ahli profesional, dia akan menempuh muka saya.
Dari cairan, krim ganggang, serum anti penuaan, hingga krim pengencang kulit. Kadang saya pakai lima lapis, kadang tiga lapis, kadang tujuh lapis.
Tiap produk ada jadwalnya masing-masing. Hasilnya? "Nih, sekarang kulit mukamu lembut," ujarnya bangga.
Saya gak takut, nanti wajah saya jadi sebersih Dory Haryanto, penabuh kencangnya maestro Didi Kempot.
Memang, hasilnya terlihat nyata. Beberapa kali melakukan video conference, teman saya berujar pendek. "Kok wajahnya kelihatan makin cerah," tanya teman penasaran.
Ah, saya membalasnya sambil senyum. Namun, saya memilih berdiplomasi saja. " Ini karena air wudhu saja," jawab saya tersipu malu.
Ajar Edi, kolomnis Ujar Ajar.
Advertisement