Sate Ayam Ponorogo Tukri Sobikun H. Suroto Kuliner Paling Legend
Namanya depot sate, tapi tak seperti depot sate biasanya yang ada asap mengebul. Ternyata kebul-kebul asap ada di bagian belakang depot ini. Luasnya depot ini, membuat kebulan asap bakar sate tak mengganggu pembeli yang ada di depan.
Halaman parkir Depot Sate Ayam Ponorogo Tukri Sobikun H. Suroto di Jalan Lawu 1 Nomor 43K, Nologaten, Ponorogo ini terbilang luas. Halaman ini bisa memuat 10 lebih mobil pengunjung. Dalam depot berjajar kursi dan meja yang tertata rapi. Lokasinya di Desa Nologaten Ponorogo.
Pagi itu, halaman depot masih sepi mobil pembeli. Maklum, jam masih menunjukkan pukul 9 pagi. Namun meski halaman parkir masih tampak lengang, ternyata pembelinya datang silih berganti. Mereka tak melulu datang untuk makan di tempat.
"Kita memang buka sejak jam lima pagi. Sengaja buka pagi untuk pembeli yang datang pagi beli untuk oleh-oleh," kata Suroto pemilik depot ini memulai perbincangan.
Generasi Keempat
Suroto pun bercerita, usaha Sate Ponorogo yang saat ini dijalaninya ini sudah memasuki generasi keempat. Generasi pertama sepengetahuan Suroto dimulai dari Mbah Sate.
Mbah Sate ini rumahnya juga di Nologaten, Ponorogo. Kampung ini sejak dulu memang kesohor sebagai Kampung Sate. Awalnya, cuma dikenal sebagai Gang Sate, karena beberapa warganya jadi penjual sate. Tapi kemudian berubah menjadi Kampung Sate sekitar tahun 2009an. Mungkin karena semakin banyak warganya yang jualan sate.
Salah satu warga gang sate yang menekuni jual sate saat itu adalah Mbah Sate. Tak diketahui siapa nama persisnya Mbah Sate. Suroto pun mengenal moyangnya ini sebagai Mbah Sate saja.
Mbah Sate sebelum memulai jual sate di Ponorogo, dia sempat berguru membuat sate di Kedunggalar, Kabupaten Ngawi. Itu terjadi sekitar tahun 1965. Mbah Sate meninggal, usaha sate ini kemudian dilanjutkan oleh Sobikun sekitar tahun 1970an. Sobikun ini adalah adik kandung dari Mbah Sate.
Sobikun memilih berjualan sate di pinggir Jalan Hayam Wuruk Ponorogo. Dengan pikulannya dia memilih keluar gang untuk mengadang pembeli. Dia tak berkeliling, melainkan berdiam dengan pikulannya di Jalan Hayam Wuruk Ponorogo menanti pembeli.
Sobikun kemudian meninggal. Dia meninggalkan lima orang anak. Dari lima orang anak ini, ternyata yang berminat untuk menekuni jual sate hanya saat itu satu orang yaitu Tukri. Tukri pun saat itu masih memikul sate dari Gang Sate ke Jalan Hayam Wuruk.
Ternyata, usaha sate yang dijalankan oleh Tukri ini sukses. Kesuksesan Tukri ini kemudian dilirik oleh saudara-saudara Tukri yang lain. Namun saudara-saudara Tukri ini memilih berjualan sate di luar Gang Sate Ponorogo.
Sekitar 2003 Tukri meninggal dunia. Usaha Sate Ponorogo kemudian dilanjutkan oleh Suroto. Beda dengan Tukri yang berjualan di pinggir jalan Hayam Wuruk, Suroto memilih berjualan di Gang Sate.
"Saat mulai lahannya sekitar 4x5 meter. Tapi kemudian berkembang," kata Suroto.
Proses Pengolahan yang Panjang
Usaha sate di tangan Suroto ini semakin berkembang. Penyebabnya dia punya ciri khas yang dibanding Sate Ponorogo yang lain. Perbedaan itu misalnya dari sisi ukuran daging sate dalam setiap tusukannya. Ukuran daging Sate Ponorogo Tukri Sobikun H. Suroto ini lebih besar dibandingkan dengan sate Ponorogo yang lain.
"Banyak orang bilang Sate Ponorogo Tukri Sobikun H. Suroto adalah sate VIP karena ukurannya yang besar," ujarnya bangga.
Kemudian, yang membedakan lainnya adalah dalam hal pengolahan. Kata Suroto, setiap tusuk sate yang diolahnya melalui proses yang panjang. Dimulai dari pemilihan bahan baku ayam yang harus berkualitas. Jam terbang yang tinggi membuat dia bisa memilih daging ayam yang bagus.
"Patokan daging ayam yang bagus selain harus segar juga tidak mimpes (menyusut) saat dipanggang," ujarnya membocorkan rahasia.
Potongan Ayam Dibedakan
Dari setiap daging ayam itu, Suroto tak mencampurkan semua bagiannya. Ada empat bagian besar daging yang harus dipisahkan dalam pengolahannya. Empat bagian itu adalah dada, paha, kulit dan jeroan. Daging dari masing-masing bagian itu disatukan dalam satu tusukan. Satu tusuk misalnya harus berasal dari bagian dada semua. Tak boleh dicampur dengan bagian lainnya.
"Menurut saya tekstur dan tingkat kematangan masing-masing bagian berbeda. Makanya harus dipisah," ujarnya.
Karena alasan ini pula, dalam memanggangnya pun harus dipisah. Suroto menyebut pegawainya yang bertugas membakar sate pun punya spesialisasinya masing-masing dalam mengolah dan membakar sate. Ada yang terbiasa mengolah sate bagian paha, dada kulit dan jeroan.
Perbedaan lainnya adalah soal bumbu. Sebelum daging dipanggang, ternyata sudah tersentuh bumbu. Ini diklaim berbeda dengan Sate Ponorogo lain yang baru tersentuh bumbu saat dibakar.
"Makanya, tak heran jika sate tetap enak dimakan, meski tak memakai bumbu kacangnya. Satenya sudah ada rasanya," ujar Suroto.
Model pengolahan yang dilakukan Suroto ini kemudian kemudian juga dilakukan oleh penjual sate di Kampung Sate Nologaten, Ponorogo. Asal tahu saja, selain Nologaten, ada kampung lain di Ponorogo yang juga dikenal sebagai sebagai pusatnya sate. Dua kampung sate lain itu adalah Probosuman dan Setono.
"Kalau di Probosuman dan Setono, ukurannya satenya lebih kecil-kecil dibanding di Nologaten ini," kata Suroto.
Dalam sehari, Suroto bisa menghabiskan 80an ekor ayam. Jumlah itu akan bertambah jika weekend atau musim liburan. Setiap porsinya Suroto membanderol dengan harga Rp39 Ribu. Harga ini sebenarnya sepadan dengan porsinya yang memang besar. Satu porsi sebenarnya bisa dikonsumsi untuk dua orang atau bahkan lebih.
Langganan Presiden
Soal rasa, jangan diragukan lagi. "Dimakan tanpa bumbu kacangnya sudah enak. Ada rasanya," kata Ary Cho salah satu penikmat Sate Ponorogo Tukri Sobikun H. Suroto.
Kalau mau dibawa sebagai oleh-oleh juga pantas. Sate Ponorogo Tukri Sobikun H. Suroto menyediakan dua kemasan. Satu kemasan kardus persegi panjang yang mirip kemasan bandeng presto. Kemasan ini biasanya untuk wadah Sate Ponorogo dalam jumlah kecil. Tapi kalau pesen buat oleh-oleh dalam jumlah banyak, biasanya diwadahi dalam besek bambu.
Depot Sate Ayam Ponorogo Tukri Sobikun H. Suroto sudah pernah didatangi oleh dua petinggi negeri ini. Pertama, presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Presiden SBY sudah dua kali berkunjung. Kedua, adalah Presiden Joko Widodo yang sudah kali mampir untuk makan sate Tukri Sobikun H. Suroto ini.