Sarung, Simbol Budaya Perjuangan Santri
Pada era Presiden Sukarno, Ketua dan pendiri NU Kiai Abdul Wahab Hasbullah selalu hadir setiap 17 Agustusan dalam acara pengibaran Sang Saka Merah Putih di halaman Istana Negara. Sesuai undangan, Mbah Wahab mengenakan jas (pakaian resmi): tetapi pakai sarung, tidak memakai celana panjang seperti undangan lainnya. Alasannya sangat kuat “selama perjuangan dalam masa revolusi beliau memakai sarung”.
Sarung bukanlah monopoli kaum santri pesantren. Para pengikut Muhammadiyah juga banyak yang memakai sarung. Saya pernah beberapa bulan tinggal di Kauman Yogya, tempat lahirnya Muhammadiyah tempat para tokoh seperti KH AR Fachruddin selalu pakai sarung. Tetapi ada bedanya, kalau hadir pada acara kondangan nikah, santri NU lazimnya memakai sarung dan jas, kalau Muhammadiyah pakai sarung plus jas-dasi (simbol modernitas).
Selama masa penjajahan, para ulama NU mengharamkan meniru budaya penjajah sesuai hadits ( من تسبح بقوم فهو منهم ) ; barang siapa meniru perilaku mereka (Belanda) sama dengan mereka. Bukan hanya cara berpakaian, tetapi juga hal lain antara lain tidak boleh mendengarkan siaran radio penjajah. Jadi memakai sarung dijadikan sebagai simbol budaya perjuangan atau perlawanan terhadap penjajah.
Sampai saat ini, semakin banyak acara resmi yang tidak terlalu mempermasalahkan soal sarung plus jas bagi kaum santri. Saya sendiri yang dididik di kalangan pesantren sering memakai sarung. Bahkan, hampir selalu membawa sarung kemanapun pergi yang saya taruh di dalam tas tangan. Gunanya untuk shalat di masjid atau mushalla, karena risi rasanya kalau shalat memakai celana panjang khawatir najis, kecipratan air urine.
Pemicu Perjuangan
Sarungan seringkali menjadi pemicu perjuangan untuk maju di berbagai bidang kehidupan. Sebagai contoh pada pemilu pertama (1971) era Orde Baru, daya joang kawan- kawan PMII bangkit dipicu oleh pernyataan Ketua PNI Hadi Subeno yang menganggap pendukung Partai NU sebagai Golongan “teklek dan sarungan". Kemarahan anak-anak muda, Partai NU menjadikannya berada pada posisi kedua dengan memperoleh 58 kursi DPR, sedangkan PNI hanya memperoleh 24 kursi DPR. Adapun juara pertama Golkar yang memperoleh 260 kursi DPR berkat tekanan keras yang dilakukan oleh pemerintah dan segenap jajarannya.
Kualitas intelektual santri sebenarnya tidak kalah dengan putra kaum priyayi atau kaum terpelajar. Seperti pengalaman saya, pelajaran di pesantren memerlukan daya-upaya yang lebih keras dibanding pelajaran di sekolah umum. Hanya persoalan citra di masyarakat dan orientasi kurikulum madrasah (zaman era saya): yang kurang relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Namun tantangan era masa depan di era globalisasi merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi kaum santri. Sebagai contoh, ketika BIN menangkap teroris Al- Qaeda pemegang pasport Jerman Barat c/q Seam Redza , kami mengalami kesulitan membaca dokumen dalam bahasa Arab tulisan tangan. Persoalannya karena hanya beberapa gelintir santri yang berkhidmat di intelijen, kami lambat membuka dokumen tersebut.
Akhirnya saya merekrut tenaga muda anak karib saya karena anak tersebut sekolah di Arab Saudi sejak di TK sampai tamat universitas, Di samping itu saya juga merekrut alumni universitas di Mesir dan negara Arab lain untuk mengantisipasi ancaman teror, Bahkan, saya juga merekrut santri untuk menjadi taruna di Sekolah Tinggi Intel (STIN). Ketika melakukan inspeksi ke STIN, saya periksa satu persatu kamar taruna. Dengan mudah saya tahu di kamar nomer berapa ke 4 santri itu; biasanya santri tidak pakai kancut, tetapi celana kolor; di sini kuncinya.
Untuk menghadapi terorisme itu pula, BIN pada era A.M. Hendropriono mengajak NU dan Pesantren dalam menghadapi ancaman Al-Qaeda dan pengikutnya di Indonesia. Dengan kerja sama segitiga antara BIN-PBNU-Deplu diselenggarakan ICIS (International Conference of Islamic Schollar) guna menyamakan persepsi masyarakat di negara negara Muslim.
Ke depan Indonesia bisa berperan lebih besar di pentas dunia terutama dalam merespons tekanan Neo-Liberalisme. Kenapa demikian, para intelektual santrilah yang mempunyai modal pengetahuan Keislaman mendalam yang mampu menjelaskan ideologi Pancasila yang mengandung hubungan simbiosis mutualistis antara agama-negara.
Sebaliknya, peradaban Barat Neo-Lib menganggap agama dan negara terpisah, sedangkan Pancasila menganggap bahwa agama dan negara sebagai saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan; agama sebagai nilai moral masyarakat dan menoleransi negara dengan tidak memaksakan syariat Islam menjadi hukum formal. Sebaliknya negara melindungi kegiatan keagamaan rakyatnya.
Penulis Amerika terkenal, Alfred Stephan memperkirakan bahwa Indonesia akan menjadi penggerak demokrasi di dunia Islam, karena Pancasila merupakan ideologi unik. Dengan rumusan “twin toleration", Pancasila merupakan solusi untuk mencegah terjadinya “konflik peradaban” seperti thesis Samuel Huntungton.
Padahal teori toleransi kembar tersebut hasil pemikiran atau ijtihad Imam al-Ghazali, 10 abad yang silam. Demikian wallahu a'lam.
DR KH As'ad Said Ali
Mantan Wakil Kepala BIN, Pengamat sosial politik, Mustasyar PBNU periode 2022-2027. Tinggal di Jakarta.