Sarapan Pagi Perbaikan Gizi, Gus Dur di Mata Aktivis HMI Yogja
Suatu hari di tahun 1981, penyunting buku Pergolakan Pemikiran Islam Catatan Harian Ahmad Wahib, Djohan Effendi (Sekretaris Negara era Presiden Abdurrahman Wahid), mencari Lukman Hakiem, seorang aktivis mahasiswa di Yogjakarta, ke Sekretariat Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta di Jl. Dagen No. 16. Di HMI Cabang Yogya, saat itu ia sebagai salah satu ketua di bawah Ketua Umum Zulkifli Halim.
Karena Lukman Hakiem tidak tinggal di Dagen, tentu saja Mas Djohan tidak ketemu dengannya. Dan Djohan menitip pesan agar Lukman Hakiem menemuinya di Hotel Garuda. "Saya sedang ada seminar di sana," kata Djohan dalam pesan tertulisnya.
Malamnya, seorang diri Lukman Hakiem meluncur ke Hotel Garuda. Ia bertemu Djohan seraya diajaknya menikmati santap malam yang --buat ukuran aktivis zaman itu-- cukup mewah.
Ketika sedang ngobrol sambil bersantap, dari kejauhan tampak seseorang yang wajahnya dikenalinya melalui foto yang menyertai tulisan dan pendapatnya di berbagai media massa. Tulisan dan pendapat tokoh ini nyaris tidak pernah terlewatkan olehnya.
"Anda tahu orang itu?" tanya Djohan.
Gus Dur saat Katib Aam PBNU
"Itu 'kan Abdurrahman Wahid," jawab Lukman Hakiem, mengenai sosok yang saat itu menjabat Katib Aam Syuriah PBNU.
"Bagus sekali kalau Anda undang Mas Durahman ke Dagen. Nanti saya kenalkan," kata Djohan Effendi.
Djohan pun memanggil Mas Durahman (seingatnya pada masa itu belum populer panggilan Gus Dur. Lukman Hakiem sendiri menyapanya Cak Rahman) dan mengenalkannya. "Ini Lukman Hakiem dari HMI Yogya, mau undang Sampean diskusi."
Gus Dur menyambut baik tawaran itu, dan bersepakat diskusi dilaksanakan di Dagen 16 keesokan harinya pukul 10.00 WIB.
Maka, malam itu Lukman Hakiem dan teman-teman yang tersisa di Dagen bekerja keras menyiapkan surat undangan dan menyebarkannya.
Malam itu, mereka berkeliling Yogya mengantarkan undangan ke para akvitis Kelompok Cipayung dan Generasi Muda Islam (Gemuis), selain tentu ke para pengurus HMI.
Masih Berkaos Oblong
Sesuai kesepakatan, keesokan paginya sekitar pukul 09 Lukman Hakiem, menjemput Gus Dur di Guest House UGM, Bulaksumur.
Ketika tiba di kamarnya, ternyata Gus Dur belum siap. Dia masih bersarung dan berkaos oblong. "Waduh, saya keasyikan baca buku ini," ujar Gus Dur sambil menunjukkan buku tebal berbahasa Inggris.
"Begini saja," sambung Gus Dur, "Sampean belum sarapan toh?"
Lantaran gengsi, Lukman Hakiem pun menjawab: "Sudah Cak."
Gus Dur tertawa terkekeh-kekeh, "mana ada aktivis jam segini sudah makan. Sudah, Sampeyan makan dulu di restoran, bilang saya yang bayar, saya mau mandi."
Tidak lama sesudah Lukman Hakiem selesai memperbaiki gizi, Gus Dur datang. Mereka pun berangkat menuju Dagen, di bilangan Malioboro, Yogjakarta.
Lukman Hakiem pun minta maaf kepada Gus Dur karena menjemputnya cuma menggunakan motor bebek. "Sampeyan ini. Adanya bebek, ya bebek saja. Nggak perlu minta maaf."
Sepanjang perjalanan mereka ngobrol berbagai hal, termasuk perihal Pondok Pesantren Ciganjur yang selalu menjadi predikatnya jika menulis. "Pesantren apa? Itu bisa-bisanya koran saja," ujar Gus Dur enteng.
Gus Dur juga menumpahkan kejengkelannya terhadap rektor sebuah perguruan tinggi negeri. "Sampeyan lihat. Saya akan buktikan, saya bisa lebih besar dari dia dan perguruan tingginya," kata Gus Dur.
Sampai di Dagen, para aktivis mahasiswa itu kaget. Ruang pertemuan yang memang tidak terlalu besar, penuh sesak oleh peminat diskusi, bahkan melimpah sampai keluar.
Lukman Hakiem panggil Gus Dur ternyata luar biasa besar. Bayangkan, dengan acara yang disiapkan sangat mendadak, peserta diskusi melimpah ruah.
Koran Yogja Gempar
Tak lagi teringat soal tema diskusi pagi itu. Yang pasti, keesokan harinya tiga koran Yogya: Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, dan Berita Nasional; mewartakan diskusi para aktivis mahasiswa dengan Katib Aam Syuriah PBNU, H. Abdurrahman Wahid.
Sejak peristiwa itu, beberapa kali para aktivis Yogya menghadiri diskusi ketika Gus Dur sebagai salah seorang nara sumber yang selalu membikin cair suasana.
Beberapa kali mereka saksikan, sesudah memaparkan pandangannya, Gus Dur tertidur sampai terdengar dengkur halusnya. Yang luar biasa, ketika diminta memberi tanggapan balik, dia bisa menjawab satu per satu.
Bertemu di Ciganjur
Lama tidak bertemu, pada 2004, bersama Endin A.J. Soefihara, Lukman Hakiem, menemani Wakil Presiden Hamzah Haz bertemu Gus Dur di Ciganjur.
Ketika bersalaman Lukman Hakiem, berkata: "Gus, saya Lukman Hakiem yang dulu menjemput Sampeyan di Bulaksumur...." Belum selesai ia bicara, Gus Dur menyergah: "Diskusi di HMI itu ya. Gayeng diskusinya tuh. Anda di mana sekarang?"
Lukman Hakiem kaget, peristiwa puluhan tahun yang lalu, masih diingat oleh Gus Dur.
Meskipun Lukman Hakiem, tidak selalu sependapat dengan Gus Dur, ia mengenang Gus Dur sebagai pemimpin yang bersahaja, egaliter, dan sejak muda sudah memiliki daya panggil.
Suatu hari di Salatiga, seusai menghadiri diskusi di Universitas Satya Wacana -- Lukman Hakiem dan Asmar Oemar Saleh hadir sebagai pendengar yang budiman atas rekomendasi Dr. Arif Budiman-- bekas Ketua Dewan Mahasiswa ITB, Heri Akhmadi berkata kepada kami: "Cak Rahman bakal jadi pemimpin besar."
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu.
Demikian kisah Lukman Hakiem, dalam mengenang KH Abdurrahman Wahid, yang wafat pengujung Desember 2010.