Saracen dan Sertifikat Pulau D
DALAM beberapa hari terakhir, opini publik dijejali dua isu yang saling berseberangan. Saracen vs Sertifikat Pulau D. Keduanya sekilas tidak saling berhubungan. Namun bila dicermati akan nampak benang merahnya.
Isu Saracen berpusar pada sosok tiga orang yang ditangkap polisi dan disebut sebagai sindikat produser penebar kebencian, hoax. Sementara sertifikat Pulau D berkaitan dengan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Utara kepada salah satu pengembang reklamasi Pantai Utara, Jakarta, PT Kapuk Naga Indah.
Melihat asal muasal dan sumber beritanya, dua isu itu sangat berbeda. Isu Saracen munculnya dari kepolisian dan kemudian menjadi semakin ramai ketika Presiden Jokowi dan para pejabat tinggi negara, minta agar kasus "sindikat penebar kebencian" itu diusut. Beritanya kemudian digoreng oleh para politisi dan buzzer pendukung pemerintah.
Sebaliknya isu seputar sertifikat HGB Pulau D, munculnya di media sosial. Foto sampul dan isi sertifikat tersebut beredar dengan sangat cepat. Media mainstream kemudian ikut meramaikannya. Terbukti info tersebut sahih dan bukan hoax.
Fakta yang terungkap kemudian, membuat kasus ini menjadi sangat menarik. Bau busuk permainan antara penguasa dan pengembang pulau reklamasi masih terus berlanjut. Tampaknya ada yang mencoba adu cepat menyelesaikan status dan kepemilikan pulau reklamasi, dengan waktu pelantikan Gubernur DKI terpilih Anies-Sandi pada bulan Oktober. Semua harus beres sebelum pejabat baru dilantik.
Kasus Saracen dan ramai-ramai terbitnya sertifikat Pulau D salah satu bentuk fenomena perang informasi di era digital. Para pegiat media sosial mencurigai isu Saracen muncul sebagai bagian pengalihan isu, terbitnya sertifikat Pulau D.
Silakan amati group-group pertemanan di medsos, berita, info, meme atau bahkan hoax seputar Pulau D tak kalah ramainya dibandingkan Saracen. Yang membedakan adalah sumber berita atau infonya.
Jika mengambil analogi permainan musik, Saracen adalah sebuah orchestra. Semua terencana dengan baik. Ada partitur, ada seorang dirigen yang mengarahkan para pemainnya, kapan harus nada tinggi dan kapan harus mengambil nada rendah. Ada penonton yang tahu kapan harus bertepuk tangan dan kapan harus diam.
Alur dan irama pemberitaan terbitnya sertifikat Pulau D, ibarat musik Jazz. Lebih bebas merdeka. Tidak ada dirigennya dan mengandalkan improvisasi masing-masing pemain musik. Iramanya bisa sangat seru, menghanyutkan ketika para pemainnya menunjukkan keahliannya dan berimprovisasi dalam jam session.
Melihat akar sejarahnya, genre musik jazz lahir di kalangan para budak kulit hitam di perkebunan kapas New Orleans, AS. Jazz adalah musik pemberontakan, seperti medsos yang kini bisa menjadi simbol perlawanan terhadap media mainstream.
Ketika media mainstream yang kebanyakan dimiliki oleh konglomerasi dan politisi dengan mudah bisa dikontrol pemerintah, maka medsos menjadi media alternatif yang sulit dikontrol. Dengan massifnya penetrasi internet dan kepemilikan smartphone, pengaruh medsos bahkan sudah mengalahkan media konvensional.
Hoax Melahirkan Hoax
Kasus Saracen jadi menarik karena kemudian dikait-kaitkan dengan kelompok penentang Jokowi. Sebuah media yang mendapat akses resmi bisa mewawancarai para tersangka di tahanan Bareskrim Polri, mengutip pimpinan "sindikat" yang mengaku sebagai pendukung Prabowo Subianto.
Gotca! Arahnya cukup jelas kemana bola liar Saracen digulirkan. Apalagi sebelumnya sejumlah nama disebut-sebut berada dalam struktur kepengurusan Saracen. Mereka adalah pengacara senior Egy Sudjana dan Mayjen TNI (Purn) Ampi Tanudjiwa. Eggy dan Ampi sering bersikap kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Keduanya juga dikenal sebagai pendukung Prabowo.
Jadilah media digiring menjadikan kasus Saracen sebagai persoalan personal. Rivalitas antara Jokowi-Prabowo, atau setidaknya antara pendukung Jokowi vs pendukung Prabowo.
Penangkapan kelompok.Saracen yang tadinya kita harapkan bisa menjadi momentum memerangi, bahkan menumpas kebiasaan buruk penyebaran ujaran kebencian, malah melahirkan hoax dan ujaran kebencian baru.
Kasus Saracen sesungguhnya hanya fenomena gunung es adanya perkubuan dan pembelahan yang besar di masyarakat kita. Perkubuan pada Pilpres 2014 dan Pilkada DKI, rupanya hingga kini tak kunjung usai. Pertempuran medsos bahkan kembali menghangat jelang Pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019.
Seperti dikatakan "pimpinan" Saracen, mereka tergerak bertindak ketika ada buzzer yang sudah kelewatan menghina Islam dan Prabowo. Jadi Saracen muncul sebagaimana Hukum Newton Ketiga "aksi dan reaksi". Hoax melahirkan hoax. Ujaran kebencian menghasilkan ujian kebencian baru.
Karena itu kita mendorong polisi tidak hanya menangkap Saracen, tapi juga menangkap kelompok yang menjadi penyebab munculnya Saracen. Polisi juga harus menangkap kelompok-kelompok lain yang merupakan derivat, turunan dari Saracen dan para penentangnya.
Hukum akan dapat tegak dan dihormati, bila penegak hukum bersikap dan bertindak imparsial, tidak memihak. Bila tidak yang terjadi adalah anarki. End
*Hersubeno Arief adalah wartawan senior yang kini menjadi konsultan media dan politik