Sapto Anggoro Tinggalkan Tirto.Id
Sapto Anggoro, CEO media siber Tirto.Id membuat kejutan. Dia mundur dari media yang didirikannya tahun 2016, sekaligus melepas kepemilikan sahamnya pada PT Tirta Adi Surya, pengelola Tirto.Id.
Alumni Stikosa AWS Surabaya yang lahir 55 tahun lalu di Jombang ini memiliki jam terbang tinggi sebagai jurnalis, mula-mula di harian Surabaya Post, kemudian harian Berita Buana, Republika, kemudian Detik.com.
Saat di Detik.com yang antara lain didirikan oleh Budiono Darsono, seniornya saat di Surabaya Post dan Berita Buana, inilah Sapto memperdalam dan mengembangkan pengetahuannya tentang IT dan marketing digital, yang kelak secara masif ternyata mampu mengalahkan media berbasis kertas.
Tahun 2011 Sapto keluar dari Detik.com, kemudian ikut mendirikan Merdeka.com. Tahun 2016, ayah dari dua anak ini resign dari Merdeka.com, kemudian mendirikan Tirto.Id. Tapi sejak 1 Mei 2021, namanya tidak ada lagi di jajaran pengelola Tirto.Id.
Sapto kini tercatat sebagai Ketua Badan Pertimbangan dan Pengawas AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) Pusat, sambil tetap menjaga perusahaan yang didirikannya tahun 2009 dan bergerak di bidang monitoring media yaitu PT Binocular, yang memiliki lebih dari 120 karyawan.
Berikut hasil wawancara M. Anis dari Ngopibareng.Id dengan Atmaji Sapto Anggoro, Kamis malam.
Bagaimana perkembangan Tirto.ID, media siber yang Anda kelola?
Baik-baik saja ya, meski banyak WFH tapi kinerja masih OK hanya laporan utama tidak sesering dahulu. Sekarang sudah ada tim baru yang mengelolanya.
Usia Tirto.Id kalau tidak salah hampir lima tahun, bagaimana gagasan awal Anda mendirikannya?
Ya, 3 Agustus nanti tepat lima tahun, dari usia peluncurannya. Meski tentu saja kalau dari kerja-kerja jurnalistiknya sudah sejak awal tahun 2016 dimulai dari blog wordpress, lalu dipindah atau parsing ke web resmi.
Tirto.Id termasuk media yang berpengaruh, kalau boleh tahu, apa kuncinya?
Oh ya, terima kasih. Ya karena sejak awal ide fundamentalnya ingin membuat media yang kredibel, dengan penelitian yang presisi, dengan analisa, dan konklusi yang tajam. Dengan demikian media tidak hanya sebagai informasi, tapi kami kuatkan dengan data sekunder hasil riset sehingga bisa memberikan insight baru bagi pembacanya. Meski tidak selalu tepat tapi memberi wawasan, insight, dan menciptakan diskursus itu menurut kami penting dalam upaya menumbuhkembangkan literasi.
Untuk membuat Tirto.Id sesuai dengan konsep yang direncanakan, apakah ada strategi khusus misalnya menyangkut rekruitmen SDM?
Ya, karena Tirto adalah produk intelektual, bukan pabrikan, hal yang utama adalah mencari SDM yang pas. Kami idenya ingin membuat media yang dalam, banyak data, memberikan insight, tapi tetap layak dan enak dibaca.
Maka untuk itu kami harus merekrut researcher yang andal, leadernya dulu master Taiwan dan PhD Belanda. Kami sangat terbantu dengan mereka.
Dengan kontribusi dan dedikasi mereka inilah Tirto bisa menjadi media pertama di Indonesia yang mendapatkan badge atau sertifikat International Fact Checking Network atau IFCN sebagai pengakuan atas akurasi informasi yang kami sampaikan. Berkat IFCN kami dipercaya sebagai konten supplier anti hoax untuk Facebook.
Apakah hanya tim riset saja yang penting? Apa tidak ada kesulitan menterjemahkan hasil riset ke dalam berita atau artikel?
Pertanyaan menarik. Nah, ketika data hasil riset dituangkan ke dalam cerita, kami perlu membangun konten yang enak dibaca. Memang selama ini media ekonomi kurang merakyat karena data-datanya ruwet. Hanya orang sekolah keuangan atau bisnis saja yang paham. Tapi pendekatan kami beda. Agar pesannya sampai dan muda dicerna, kami mencari sastrawan=sastrawan essai yang mumpuni, kita rekrut satu orang yang piawai lalu dia kita beri hak membuat tim penulis yang bisa menjalankan narrative journalism. Banyak sastrawan esai Jogja bergabung bersama kita. Dan selain itu banyak lulusan sejarah maka jangan heran kalau kami wadahi produk mozaik yang sering dipakai guru-guru mengajar di SMP-SMA terlihat dari email -email yang masuk senagai ucapan terima kasih, dukungan, dan masukan. Bahkan juga ada koreksi, wajar, bahkan makin menguatkan kualitas isi kami.
Tapi kami masih kesulitan dengan tulisan panjang, apa ada yang mau baca? Dalam menyelesaikan itulah kami mencari solusi untuk membuat infografik. Dan leader infografik bukan orang desain, tapi orang komunikasi dan penulis esai. Yang waktu melamar maunya jadi redaksi, tapi setelah wawancara memiliki kompetensi grafis, maka saya tantang dengan membuat infografik yang berbeda (bukan data grafis model statistik), akhirnya mau dan ide-idenya beyond.
Setelah enam bulan, banyak yang ingin bergabung dengan kita, meski semula susah mengajak orang apalagi yang pengalaman malah meremehkan dan menggurui. Tim SDM champion ada beberapa akhirnya mempengaruhi anggota lainnya, maka menjadi sistemis sehingga terintegrasi. Perdebatan diskusi meski santai serius tapi kalau lemah iman dalam hal ide, bisa tak kuat dan bisa mengundurkan diri. Ide dan eksekusi menjadi catatan penting dalam tim tirto sehingga hasilnya bisa dilihat seperti itu. Jadi SDM yang pas itu kunci.
Saya bermaksud konfirmasi saja, dengar-dengar Anda sekarang mundur dari Tirto.Id. Sudah mundur atau hendak mundur?
Hahhaa. Iya, saya mundur bersama teman-teman co founder sejak pertengahan April, kami bertiga. Kebetulan kami masing-masing saya CEO dan Pemred, Teguh sebagai direktur konten dan Nursamsi sebagai CTO. Kami mundur pertengahan April sebagai pemegang saham, dan mundur sebagai manajemen akhir April setelah komposisi pemegang saham baru melakukan RUPS dan menerima pengunduran diri kami.
Kalau boleh tahu, apa alasannya?
Alasannya tidak tunggal ya. Soal bisnis tentunya ya. Konsep saya waktu itu biar gak murahan, kami baru mencari iklan setahun setelah launching, betul setelah setahun iklan masuk berdatangan, dan gak lama sudah menanjak, tiba-tiba pandemi menghajar. Pendapatan langsung tinggal 20 persen, kelimpungan, sejurus kemudian para agensi mengirim surat bahwa mereka yang sudah terlanjur kontrak ada yang membatalkan dan sebagian besar menunda pembayaran sampai jangka waktu yang tak ditentukan.
Karena model bisnis utamanya iklan maka ketergantungan pada agensi iklan tinggi sementara agensi iklan kena paling dalam saat pandemi, bisa dilihat dari banyak hasil riset. Untuk memenuhi operasional, meski sudah dikurang-kurangi, tetap tak cukup dan setiap bulan nombok terus gak kira-kira. Mencari investor dari VC maupun angel investor susah minta ampun. Ya akhirnya utang-utang, mulai dari model anjak piutang dengan menggadaikan kontrak, mengorbankan remunerasi manajemen, sampai mengorbankan delusi saham.
Apalagi harga perusahaan makin menurun karena memang susah peminat, dan media pada saat ini di Indonesia belum meyakinkan investor. Karena kesulitan-kesulitan itu dan khawatir saham makin habis karena delusi dan murah valuasi ya, lebih baik mundur.
Mundur dengan menjual saham? Berapa persen kepemilikan saham Anda di Tirto.ID?
Ya. Kita jual. Sampai akhir kami bertiga sudah bukan majority lagi.
Bisa dijelaskan komposisi kepemilikan saham pada Tirto.ID?
Mohon maaf, tidak bisa ya, karena sejak awal berubah-ubah sampai sebelum kami keluar. Yang pasti kami bukan majority.
Siapa pembeli saham Anda?
Sebuah Venture Capital yang sedang berkembang. Saya bersyukur di masa sulit masih ada yang mau bersusah-payah untuk masuk di bisnis media online. Tapi setelah pandemi tentu situasinya akan berubah ke arah yang lebih baik.
Tirto.Id adalah salah satu media yang dipercaya dan berpengaruh. Anda tidak menyesal, meninggalkan media yang Anda rintis itu kini telah mencapai posisi tersebut?
Tidak mudah menjawab ini. Benar juga pertanyaan Anda, ini berat. Kami butuh waktu lama untuk memutuskan. Akhir tahun lalu sudah saya sampaikan untuk mundur, tapi ditolak majority. Lalu kami coba lagi Maret lalu, melalui serangkaian rapat akhirnya diterima. Bahkan ada pembeli yang masuk lalu sedia ambil saham kami. Kebetulan.
Yang membuat kami rela justru karena pada tiga bulan terakhir kondisi kontrak-kontrak bisnis dengan perusahaan menunjukkan ke arah positif bila dinett-Off dengan biaya operasional. Setelah positif rasanya kami bisa meninggalkan dalam keadaan kapal baik-baik saja. Bahwa nakhodanya terpaksa harus ganti, itu risiko. Yang penting kapal terus berlayar.
Berapa jumlah karyawan Tirto.Id saat ini?
Sekitar 100.
Bagaimana dengan para karyawan selepas Anda meninggalkan Tirto.Id?
Tidak ada masalah, di bawah kepemilikan saham perusahaan baru dan tetap bersama pemilik lama, tidak ada persoalan serius. Saya sudah meeting untuk itu tiga kali di Jakarta dan Jogja. Untuk diketahui, sebagian awak kami ada di Jogja. Beberapa leader juga ketemu dengan kami dan banyak yang sudah disampaikan dan akan tetap mereka jaga ruh Tirto yang selama ini mereka perjuangkan. Tirto bukan hanya saya, tapi sudah menjadi kesatuan ruh seluruh kru. Saya hanya komandan di depan saja untuk membackup kawan-kawan.
Pengalaman jurnalistik Anda sejak tahun 80an luar biasa, dari Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Detik.com, Merdeka.Com, dan terakhir Tirto.Id. Dengan meninggalkan Tirto.Id, apakah Anda sama sekali meninggalkan dunia jurnalistik?
Tentu tidak. Ya memang jurnalistik atau kewartawanan dulu saya yakini, adalah profesi yang mengasyikkan, menjadi banyak tahu karena dituntut untuk menggali sesuatu dan harus tahu lebih dulu atau lebih baik sebelum menginformasikan ke pihak lain. Makanya saya kuliah di jurnalistik di Surabaya sebelum ilmu komunikasi berkembang marak seperti sekarang. Selain Tirto saya juga ada bisnis yang tak jauh dari dokumen, dengan kerja riset media, jadi masih di sekitar itu.
Apakah Anda akan membuat media baru? Bisa dijelaskan?
Ya ini sebenarnya lebih sebagai ekstensi atau pelebaran produk dari usaha big data media analisis yang kami sudah jalankan sejak 2010, jadi membuat peta informasi yang kami sebut sebagai Newsmap.id yang nanti akan mengagregasi konten-konten kualitas bersama partner-partner, sementara di dalamnya ada yang kita produksi dengan laporan yang dibungkus dalam Deduktif.com sebagai model konten prediction yang konklusif hasil dari mapping data sebelumnya sehingga mendekati presisi.
Ya ini upaya, tawaran lain buat publik, dan nanti konten-konten itu juga dikerjasamakan dengan jaringan TV monitor yang tersebar di berbagai tempat. Ini juga bagian menggali model bisnis baru media. Saya kira kita harus selalu menggali potensi-potensi pengembangan jurnalistik dan juga pengembangan model bisnis sehingga media akan semakin kuat dan menjadikannya independen.
Advertisement