Santri itu Mengikuti Perjuangan Kiai, Ini Alasannya
Kiai Ma’ruf Amin menjelaskan, santri tidak hanya orang yang berada di pondok pesantren dan bisa mengaji kitab atau ahli agama. Namun, santri adalah orang-orang yang ikut kiai dan setuju dengan pemikiran serta turut dalam perjuangan kaum santri.
“Santri adalah orang-orang yang ikut kiai, apakah dia belajar di pesantren atau tidak, tapi ikut kegiatan kiai, manut pada kiai, itu dianggap sebagai santri walaupun dia tidak bisa baca kitab, tapi dia mengikuti perjuangan para santri,” tutur Musytasar PBNU, yang hadir dalam Istighotsah Kubro di Gelora Delta Sidoarjo, Minggu 28 Oktober 2018.
Dari sisi keberadaan, menurut Kiai Ma’ruf, santri ada yang tinggal di pondok di pesantren, ada pula yang sesekali ke pesantren atau disebut santri kalong, ada juga santri yang sekali-kali saja datang bertemu kiai dan santri.
“Pokoknya, santri itu ikut kiailah. Karena itu dia mencakup hampir semua lapisan masyarakat,” lanjut Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat itu.
“Santri adalah orang-orang yang ikut kiai, apakah dia belajar di pesantren atau tidak, tapi ikut kegiatan kiai, manut pada kiai, itu dianggap sebagai santri walaupun dia tidak bisa baca kitab, tapi dia mengikuti perjuangan para santri,” tutur KH Ma'ruf Amin.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan, santri adalah umat yang menerima ajaran-ajaran Islam dari para kiai. Para kiai itu belajar Islam dari guru-gurunya yang terhubung sampai Rasulullah SAW.
Para santri, lanjut Kiai Said, menerima Islam dan menyebarkannya dengan pendekatan budaya yang berakhlakul karimah, bergaul dengan sesama dengan baik. Santri juga menghormati budaya, bahkan menjadikannya sebagai infrastruktur agama, kecuali budaya yang bertentangan ajaran Islam seperti seks bebas atau minum-minuman keras.
“Santri itu jelas, adalah orang-orang yang menindaklanjuti dakwah dengan budaya seperti yang dilakukan Wali Songo. Dakwah seperti itu yang jelas ampuh, efektif,” tegas kiai yang pernah nyantri di Kempek, Lirboyo, dan Krapyak itu.
Dakwah dengan cara seperti itu terbukti di dalam sejarah berhasil mengislamkan Nusantara tanpa kekerasan dan pertumpahan darah. Bahkan raja-raja Nusantara itu menjadi Islam.
“Kita saksikan sekarang, dakwah yang manfaat, dakwah yang lestari, masuk sampai dalam hati, adalah dakwah yang dilakukan secara budaya, bukan dengan teror dan menakut-nakuti.
"Islam diajarkan dengan menakut-nakuti tidak akan masuk ke dalam hati. Imannya hanya pengakuan bibir belaka sehingga menjadikan potensi munafik, tapi kalau berdakwah dengan budaya, iman masuk ke dalam hati, sehingga akan menjadi mukmin kholis (ikhlas),” pungkasnya. (adi)