Santap Malam yang Bersahaja Bersama Gus Dur
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dikenal sederhana dalam hidup. Ada kisah ketika santap malam secara bersahaja di rumahnya, disampaikan KH Husein Muhammad.
Saya sering makan di rumah Gus Dur, di Ciganjur Jakarta, maupun di Jl. Paso, pagi, siang atau malam, baik usai mengaji atau tidak. Apabila sarapan pagi atau makan siang, ibu Shinta Nuriyah hanya menemani saya dan teman-teman yang ikut ngaji bersama saya di rumah itu. Ibu tak pernah ikut makan bersama, karena beliau puasa tiap hari dan itu dilakoninya selama bertahun-tahun, sejak masih mondok di Jombang dan berkenalan dengan suami tercintanya itu.
Lauk-pauknya tak ada yang istimewa. Begitu sederhana; tempe, tahu, sambal, lalap, sayur bening atau lodeh, atau rawon atau soto Lamongan, rujak cingur, pecel, telor, daging kering, cumi-cumi dan kerupuk. Cuci mulutnya pisang, jeruk, es cendol, atau es campur. Begitulah isi meja makan di rumah itu, begitu bersahaja, tak ada kemewahan, tak ada yang istimewa, dan tak ada yang berlebih-lebihan.
Bukan hanya di rumah ini menu seperti itu, tetapi juga ketika di istana, selama dua tahun. Saya beberapa kali makan di sana. Saya sama sekali tak bisa membandingkan dengan menu makanan para pembesar atau para pejabat tinggi yang lain di rumah mereka, di Menteng atau di Cikeas, atau di tempat lain, tempat mereka tinggal, karena tak pernah makan di sana, karena orang kecil, konon, dilarang masuk. He he...
Ada satu malam yang tak akan pernah saya lupakan. Itu adalah ketika saya, usai mengaji dari siang sampai sore di rumah Gus Dur. Saya tiba-tiba diajak makan malam bersama Gus Dur dan keluarganya di rumah itu. Saya amat senang karena beliau ada di rumah dan berkumpul bersama keluarganya, apalagi mengajak makan bersamanya.
Saya amat jarang menyaksikan pemandangan seperti ini, ya seperti malam itu. Di meja makan itu saya adalah satu-satunya "liyan", “orang asing” di keluarga itu. Di samping Gus Dur dan Ibu Shinta Nuriah adalah empat orang anaknya. Mbak Alissa, mbak Yenni, mbak Nita dan mbak Inay. Menu makanan yang dihidangkan tetap saja tak terlalu istimewa, sederhana saja, seperti yang sudah disebut di atas.
Saya duduk berhadapan dengan Gus Dur yang duduk di samping isterinya, Ibu Shinta Nuriyah. Di sebelah kanan dan kiri saya adalah anak-anaknya. Dari tempat duduk itu saya melihat dengan amat jelas bagaimana dan dengan apa Gus Dur makan. Manakala nasi di atas piring diletakkan di depannya, ia meraba-raba. Saya tidak melihat dia meminta diambilkan. Dan ketika lauk pauk ditaroh di atasnya, saya melihat beliau membiarkannya saja. Ia tak bertanya apa-apa, tak menampik/menolak lauk apa yang diberikan kepadanya.
Beliau menerima saja, lalu mengunyah pelan-pelan sambil menikmatinya. Sepertinya tak ada makanan yang tak disukainya. Saya kira ibu dan anak-anaknya telah tahu dengan persis apa kesukaan suami dan ayahnya itu. Manakala nasi habis dan ditambahi anaknya, beliau diam saja dan melahapnya. Tapi manakala telah cukup, beliau bilang cukup.
Usai makan yang “penuh berkah” itu, dengan tetap berada di depan meja, Gus Dur mulai melemparkan cerita-cerita unik dan humor-humor baru yang membuat semuanya tergelak-gelak. Lemparan humor Gus Dur disambut dengan humor-humor dari yang lainnya: dari Alissa, Yenni, Nita dan Ina, dengan humor-humor yang tak kalah lucu dan sanggup meledakkan tawa riuh rendah yang tak habis-habis. Dan perut saya tiba-tiba tak lagi penuh, menjadi kosong, seperti lapar lagi, karena terguncang-guncang yang tak pernah mau berhenti.
Saya sendiri tak punya bahan apa-apa untuk bisa membuat orang bergembira, terbahak-bahak atau terkekeh-kekeh, seperti mereka yang "lucu-lucu" itu. He he he...
Sayang sekali, saya bukan orang yang bisa menyimpan cerita atau lelucon itu dalam otak saya, hingga semuanya jadi lupa, tak bisa diingat lagi. Akan tetapi saya membaca di buku-buku tentang “Humor Gus Dur” atau di buku lain yang sejenis dan di berbagai media. Dan saya menemukan sebagian cerita-cerita lucu yang menyegarkan di meja makan itu.
*) Cerita ini dikutip lagi dari buku karya KH Husein Muhammad, "Sang Zahid. Mengarungi Sufisme Gus Dur" atau "Samudera Kezuhudan Gus Dur".
Al-Fatihah untuk Gus Dur.