Sang Sufi yang Diusir, Fakta Ketegangan Kaum Sufi dan Ahli Fiqih
Di kalangan ulama dan kiai pesantren di Indonesia, antara tasawuf dan ilmu fikih menjadi paduan yang harmonis bahkan saling mewarnai dalam laku hidup beribadah. Ulama dan waliyullah seperti KH Abdul Hamid Pasuruan, selain mengajarkan ilmu tasawuf juga dikenal ahli dalam bidang fiqih. Demikian pula Tokoh Tarekat Qadiriyah wa Naqsyandiyah, seperti KH Romly Rejoso (Peterongan Jombang), dikenal juga sebagai pakar ilmu fiqih.
Sehingga di kalangan pesantren di Nusantara, antara fiqih dan tradisi tasawuf (kaum sufi) tidak saling berlawanan. Justru saling mewarnai dalam kehidupan kaum santri.
Tapi, perlu kiranya kita tahun perjalanan sejarah Islam, terkait dunia tasawuf dan pemahaman berbeda di kalangan ahli fiqih. Uraian di bawah ini, menunjukkan pada suatu kurun, pada suatu faset perjalanan sejarah Islam, pernah terjadi ketengan. Ketegangan antara ahli tasawuf dan kaum sufi dengan ahli fiqih, ahli ilmu syariat:
Nasib pahit dialami Syaikh Abul Qasim Abdul Karim Hawazin bin Muhammad al-Qusyairi an-Naisaburi.
Sufi dari abad ke-11 M itu mesti berhadapan dengan para ahli fikih pada masanya. Majelis tasawuf yang didirikannya pun dibubarkan secara paksa oleh amir setempat atas desakan sejumlah fakih.
Sang Sufi yang Diusir
Tidak cukup dengan itu, dirinya diusir dari kota tempat kelahirannya, Naishapur, India.
Bagaimana pun, perlawanan yang kemudian dilakukannya bukan tertuju pada orang-orang tertentu, melainkan ketidaktahuan.
Menurut sufi yang akrab disapa Imam al-Qusyairi ini, kecurigaan dan penghakiman yang tidak adil terhadap kaum salik berpangkal pada kekeliruan dalam memahami dunia tasawuf.
Sebagai contoh, kaum sufi sering kali menggunakan simbol-simbol atau bahasa metaforis untuk menyatakan konsep-konsep, semisal cinta, kerinduan, zuhud, fana, dan baka. Simbolisasi itulah yang kurang atau tidak dapat dipahami secara utuh oleh ahli fikih.
Perbedaan pemahaman lalu mengantarkan mereka pada ketegangan antarkelompok yang sesungguhnya sama-sama mendalami ajaran Islam.
Kalangan fukaha, terutama yang dekat dengan penguasa, bahkan tidak segan-segan untuk mengganjar kaum sufi dengan predikat zindik atau fasik.
Akhirnya, terjadilah kekerasan yang sebenarnya dapat diatasi dengan dialog keilmuan.
Kenyataan demikian disadari benar oleh al-Qusyairi. Karena itu, ia menulis sebuah buku yang berjudul Ar-Risalah.
Tujuannya meluruskan pemahaman tentang hakikat dan prinsip-prinsip tasawuf. Di samping itu, kitab tersebut juga menggambarkan keadaan pelaku yang berada di jalan spiritual itu.
Al-Qusyairi juga menyoroti sikap banyak fukaha pascagenerasi salaf ash-shalih. Mereka dinilainya telah mengabaikan jalan tasawuf dan budi pekerti, padahal kedua hal itulah yang menjadi pijakan para sahabat Nabi Muhammad SAW.
Kalangan tersebut juga dipandangnya cenderung menyibukkan diri pada masalahmasalah hukum yang sebenarnya tidak substansial dalam ajaran Islam.
Oleh karena itu, al-Qusyairi menekankan, berbagai penghakiman yang diserukan kaum fakih anti-tasawuf berangkat dari kekeliruan.
Disiplin tasawuf sesungguhnya tidak keluar walau selangkah semut pun dari dua sumber utama Islam, yaitu Al-Quran dan sunnah.
Karena itu, kaum salik pada prinsipnya juga menapaki jejak Rasulullah SAW. Dengan perkataan lain, mereka berupaya menjadi generasi penerus salaf ash-shalih.
Demikian fakta-fakta sejarah, kenyataan akan adanya ketegangan dan saling bermusuhan antara kaum sufi (dimensi kerohanian terdalam dalam Islam) dan kalangan ahli syariat. Semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bisshowab.