Sang Pelestari Bunga Edelweiss dari Wonokitri Pasuruan
Pagi itu mendung ada di langit Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Hawa dingin dan basah menusuk-nusuk tulang. Suhu berhembus sekitar 23 derajat celcius. Pandangan kabur terhalang kabut tebal.
"Biasanya kalau cerah, kita bisa melihat Bukit Penanjakan dari sini," ujar Ketua Kelompok Tani Hulun Hyang, Teguh Wibowo pada Kamis 25 November 2021.
Teguh Wibowo, laki-laki Suku Tengger dari Desa Wonokitri adalah sang pelestari tanaman endemik bunga Edelweiss. Banyak orang yang menyebut tumbuhan ini sebagai bunga abadi.
Teguh merupakan pribadi yang hangat, periang dan jenaka dengan udeng khas Suku Tengger terikat di batok kepalanya. Awal-mula lelaki berkulit sawo matang tersebut berkebun Bunga Edelweiss terjadi sekitar 2017 lalu.
Saat itu tim penyuluh hutan dari Taman Nasional Bromo-Tengger Semeru (TNBTS) menawari Teguh untuk budidaya Bunga Edelweiss. Ia sepakat, lalu mulai belajar dari proses pembibitan, perawatan hingga bunga sudah mekar.
"Kami diajarkan budidaya Bunga Edelweiss selama satu tahun, kurang lebih. Setelah itu pada 2018, dibentuklah Kelompok Tani Hulun Hyang," katanya.
Melalui Kelompok Tani Hulun Hyang inilah Teguh dan kawan-kawan menyemai bibit Bunga Edelweiss hingga tumbuh subur bermekaran. Berkat kelompok tani tersebut saat ini Wonokitri punya Desa Wisata Edelweiss.
"Secara harfiah Hulun Hyang memiliki makna yakni Hulun itu saya dan Hyang itu Sang Pencipta. Jadi, kami melakukan budidaya Bunga Edelweiss ini adalah bentuk dari pengabdian seorang hamba kepada sang pencipta dengan merawat ciptaannya," ujarnya.
Jumlah anggota Kelompok Tani Hulun Hyang saat ini sebanyak 30 orang. Kelompok inilah yang mengelola Desa Wisata Edelweiss seluas 1.196 meter persegi. Di konsep terbuka dengan alam, asri oleh pemandangan plus view Bukit Penanjakan.
"Di lahan ini ada sekitar 850 batang tanaman Edelweis. Terdiri dari tiga jenis yaitu Anaphalis javanica, Anaphalis viscida, dan Anaphalis longifolia," katanya.
Teguh mengatakan spirit awal budidaya Bunga Edelweiss di Desa Wonokitri ini adalah untuk melestarikan adat dan budaya Suku Tengger. Suku yang mendiami sekitar kaki Gunung Bromo dan Semeru tersebut sering menggunakan Bunga Edelweiss untuk keperluan ritual.
"Bagi masyarakat Tengger, tumbuhan ini tidak hanya bunga, tapi juga untuk ritual. Dipakai untuk sesajen. Contoh untuk Upacara Leliwet, ini harus pakai Bunga Edelweiss, tidak boleh yang lain," ujarnya.
Maka dari itu sebagai upaya konservasi agar masyarakat tidak mengambil Bunga Edelweiss di kawasan taman nasional. Tumbuhan sakral bagi Suku Tengger tersebut bisa dipetik di Desa Wisata Edelweiss.
"Bagi masyarakat Tengger kami membagikan bibit Bunga Edelweiss ini secara gratis agar bisa dibudidayakan di rumahnya masing-masing," katanya.
Warga pun diedukasi terkait budidaya Bunga Edelweiss, mulai dari proses pembibitan, lalu setelah berkembang pemindahan ke media tanam polybag. Memasuki usia empat hingga lima bulan pohon Edelweiss dipindahkan ke media tanam tanah.
"Untuk sampai tahap berbunga itu periode-nya berbeda-beda untuk tiap jenis Edelweiss. Contoh untuk jenis Longifolia itu satu tahun sudah berbunga," ujarnya.
Selain membagikan secara gratis ke warga sekitar, Teguh mengatakan, Kelompok Tani Hulun Hyang juga menebar benih Bunga Edelweiss ke kawasan konservasi TNBTS seperti Bukit Cinta.
"Pada 2020 lalu, kami menebar sebanyak 650 bibit Bunga Edelweiss ke kawasan konservasi. Disebar di Bukit Cinta. Tahun ini kami menargetkan menebar sebanyak dua ribuan bibit," katanya.
Seiring berjalannya waktu, Kelompok Tani Hulun Hyang yang diketuai Teguh, mulai membuka tempat budidaya Bunga Edelweiss sebagai destinasi wisata. Tempat tersebut sudah dibuka untuk kunjungan wisatawan sekitar tujuh bulanan yang lalu.
"Pada Oktober 2021, lalu total kunjungan mencapai 3.320 orang. Rata-rata per bulan kunjungan sebanyak dua ribuan lebih wisatawan. Dengan omzet per bulan mencapai Rp50 juta," ujarnya.
Teguh mengatakan untuk bisa menikmati wisata Bunga Edelweiss, pengunjung hanya merogoh kocek sebesar Rp 10.000 dan sudah mendapatkan kopi gratis.
"Pengunjung yang ke sini tidak hanya sekedar berwisata. Melalui pembelian voucher, mereka sekaligus menjadi pendukung upaya konservasi Bunga Edelweiss," katanya.
Selain itu, pengunjung juga bisa mendapatkan souvenir khas Desa Wisata Edelweiss berupa gantung kunci, buket bunga hingga boneka yang bahannya terbuat dari bunga tersebut.
Sementara itu, Kepala Sub Bagian Data, Evaluasi, Pelaporan, dan Kehumasan BB TNBTS, Sarif Hidayat mengatakan bahwa budidaya Bunga Edelweiss berawal dari adanya kebun bibit induk di Probolinggo.
"Jadi di sekitar Kantor Seksi Konservasi Wilayah 1 Cemorolawang, Probolinggo, ada kebun bibit induk Bunga Edelweiss yang dijadikan percontohan," ujarnya.
Bibit dari kebun induk tersebut ujar Sarif yang kemudian diperkenalkan kepada Kelompok Tani Hulun Hyang di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan untuk bisa dibudidayakan.
"Tujuan untuk menyinergikan kepentingan ritual budaya masyarakat tengger, melestarikan ekologi Bunga Edelweiss TNBTS dan memberikan peluang peningkatan ekonomi masyarakat," katanya.